I: DARIAN

7 4 0
                                    

Enam tahun kemudian.

Angin berembus menguarkan aroma khas tanah yang dihasilkan saat hujan—atau yang orang-orang sebut petrichor. Jalanan basah belum sepenuhnya kering akibat hujan tadi sore. Aku tengah duduk di salah satu teras kafe sambil mengamati hiruk pikuk Jakarta. Gemerlap lampu bertaburan menerangi kota. Orang-orang berlalu-lalang, sebagian hanya duduk, sebagian makan dengan lahap, sebagian berbincang-bincang sambil sesekali menyelipkan tawa.

Aku melirik jam tanganku. Tujuh seperempat. Aku tengah menunggu seseorang. Ia sudah terlambat lima belas menit. Kebiasaan. Aku hendak meneleponnya ketika orang yang aku tunggu itu tiba-tiba muncul. Terakhir kali aku bertemu dengannya itu seminggu lalu saat makan malam keluarga ketika rambutnya masih berwarna biru terang, sekarang ia mengecatnya lagi dengan warna merah gelap. Ia memang suka bereksperimen dengan rambutnya itu dengan berbagai warna, terutama ketika ia sedang patah hati karena laki-laki.

"Rambut baru lagi?"

Ia memutar bola mata. "Bosan."

Aku mendecak. "Sangat Melissa."

"Udah nunggu lama?"

"Tahu sendirilah."

"Maaf. Macet banget tadi." Ia beralasan.

"Lagi pula sejak kapan seorang Melissa bisa tepat waktu?" cibirku.

Ia tertawa. "You know me so well. Ya udah, lain kali kalau ketemu aku lagi, jangan tepat waktu."

Aku bersedekap. "I'm not that type of person."

"Oh, Darian dan kedisiplinannya terhadap waktu." Melissa mendengus. "Whatever! Aku minta ketemuan karena aku butuh kakak buat—"

"Oh, jadi minta ketemuan cuma karena butuh doang nih? Bukan karena kangen?" potongku.

"Pengacara tuh nggak boleh main potong pembicaraan tahu!" gerutunya.

"Arsitek nggak usah sok tahu!" Aku menaikkan sebelah alis. "Sekarang kasus apa yang harus kakak tangani?"

"Kasusku! Temanku ngadain pameran lukisan kelimanya lusa nanti. Kali ini dia ngundang aku. Aku butuh kakak jadi partner aku."

Aku hampir tersedak oleh tawaku sendiri. "Nggak salah minta kakak jadi pendamping?"

Ia memutar bola matanya lagi. "Menurut kakak?"

"Kayak nggak ada orang lain lagi."

"Emang nggak ada! Eh, jangan ketawa gitu. Kakak lupa aku baru putus? Ayolah kak, kasihanilah adikmu ini. Aku nggak mau kelihatan sad girl di pameran itu." Ia memohon dengan cara yang tidak mungkin bisa aku tolak.

Aku pura-pura mempertimbangkan sejenak, hanya untuk membuatnya jengkel. "Kasih tahu aja kapan waktunya."

Nah, gitu dong!" Cengiran lebar menghiasi wajahnya. "Sebagai tanda terima kasih, pilih menu apa pun yang kakak suka, aku yang traktir!"

Aku menyeringai. "Oh, dengan senang hati."

***

Aku dan Melissa berjalan memasuki galeri seni yang didominasi warna putih. pusat perhatian. Di dalam orang-orang sudah memenuhi galeri, mengamati berbagai lukisan yang terpajang di dinding.

Aku mengedarkan pandangan sekilas. Dilihat dari berbagai objek lukisannya yang nyata, tetapi tidak mungkin terjadi di dunia nyata—dalam artian seperti di dalam dunia fantasi atau khayalan, aku menyimpulkan bahwa lukisan-lukisan yang terpajang di sini adalah lukisan dengan aliran surealisme. Jika kau ingin tahu kenapa aku bisa tahu soal ini, itu karena seseorang pernah menjelaskannya padaku di masa lalu.

Until the Next SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang