III: DARIAN

3 4 0
                                    

"Kenapa kamu nggak kasih tahu kakak tentang Kjersti lebih awal?" tanyaku pada Melissa ketika di mobil.

"Itulah yang harusnya aku tanyain. Kenapa kakak nggak kasih tahu tentang Helene lebih awal? Kalau aku tahu, aku pasti bakalan kasih tahu kakak tentang Helene. Kalau aku aja nggak tahu kalian saling kenal, gimana aku bisa kasih tahu kakak tentang dia?" kata Melissa.

Melissa benar. Itu tidak masuk akal. Lagi pula bertemu Kjersti lebih awal atau pun sekarang tidaklah penting lagi karena yang terpenting, aku sudah bertemu dengannya lagi dalam dengan keadaan yang luar biasa.

"Kakak suka Helene? Dulu?" tanya Melissa tepat di saat lampu jalan berubah merah.

Aku melirik ke arahnya. Tidak ada gunanya menyembunyikannya dari Melissa. Ia selalu bisa menebakku. Aku pun mengangguk.

"Aku nggak akan kaget kalau pun kakak masih punya perasaan sama Helene sampai saat ini."

Aku menaikkan alis. "Kenapa kamu bisa mikir kayak gitu?"

"The way you look at her, Kak. Your eyes speaks a lot."

Aku tidak menyadarinya jika itu memang terjadi. Namun, lampu jalan berubah hijau, aku kembali melajukan mobil dan mengantarkan Melissa ke apartemennya.

Aku menepikan mobilku di depan sebuah rumah berlantai dua yang didominasi warna putih setelah mengantarkan Melissa pulang ke apartemennya. Aku turun dari mobil dan menghampiri pintu. Aku menghela napas sejenak—aku tidak tahu kenapa aku terus melakukan ini, padahal aku sudah sering datang ke sini—sebelum mengetuknya. Mungkin aku hanya bersikap waspada tentang kemungkinan siapa yang akan membukakan pintu. 

Benar saja. Laki-laki itulah yang membukakan pintu.

Raphael.

Laki-laki yang lebih dipilih mantan istriku dibandingkan aku.

Rahangku mengeras. Abigail tidak seharusnya mengundang Raphael ke sini ketika Avery berada di rumahnya. Entah perlu berapa kali aku harus memberitahunya. Aku akan memberinya peringatan lagi nanti.

"Papa!" panggil seorang anak perempuan berambut ikal, menghampiriku. Avery memang mewarisi rambut Abigail, namun matanya yang berbentuk almon dan hidungnya yang mancung mirip sepertiku.

Kini perhatianku teralihkan sepenuhnya pada Avery. Keberadaan Raphael seolah lenyap seketika. Belakangan, aku menyadari bahwa ia kembali masuk ke dalam begitu aku menggendong Avery dan mencium pipi tembamnya.

"Papa lama banget jemput akunya." Gerutu Avery.

"Maaf, tadi papa antar Tante Melissa dulu. Dia sakit perut." Jelasku.

"Ya udah, yuk pulang!" ajak Avery tidak sabar.

Abigail tiba-tiba muncul dari dalam dan menghampiri kami. Rambut ikalnya disanggul ke atas. Ia sudah memakai satu set piama tidur satin polos berwarna biru. Hal itu membuatku bertanya-tanya apa yang akan ia dan Raphael lakukan setelah aku dan Avery pergi. Namun, aku segera menegaskan diriku sendiri bahwa itu bukan urusanku.   

"Darian," sapa Abigail.

Aku tahu apa pun yang terjadi di antara aku dan Abigail atau meskipun aku membenci perbuatan Abigail, aku akan tetap menganggapnya sebagai teman—meski terkadang ia menunjukkan sikap permusuhan padaku dan tak seterbuka dulu.

Abigail adalah teman kuliahku. Aku bisa mengatakan bahwa Abigail adalah teman yang baik, jenis teman yang akan ada saat kau susah maupun senang, jenis teman yang rela melakukan apa pun demi membantumu. Mungkin dari awal, hubungan kami hanya ditakdirkan sebatas itu. Cinta tidak bekerja di antara kami.

Until the Next SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang