Tiga hari berlalu, beruntungnya hingga hari ini Alana dan Raline tidak pernah bertemu, berpapasan mungkin pernah, tapi mereka tidak pernah bertatapan, mungkin, sama sekali. Alana fokus dengan liburannya, dia mengambil banyak gambar dan video untuk kebutuhannya. Tiba-tiba sebuah pesan masuk di ponsel Alana.
"Besok kamu kosong gak? Aku ingin ngajak kamu ikut aku pergi beli-beli. Bisa?" Nathan mengirimkan pesan untuknya.
"Nathan? Buat apa dia ngajak aku," sahut batin Alana.
Alana menunjukkan pesan itu pada teman-temannya. "Tolak aja. Dia harusnya bisa pergi sama Raline," kata Emily. Tak lama pesan baru muncul dari Nathan.
"Raline sudah ku ajak, tapi dia ada acara sendiri dengan teman-temannya."
"Dia bilang gini lagi. Gimana?"
"Yaudah, iyain saja. Mungkin dia bingung nyari oleh-oleh," kata Isa.
"Yaudah," kata Alana.
"Hati-hati," kata Ruby."Bisa tapi setelah aku nganter Emily dan Ryan ya," Alana membalasnya.
"Oke, jam 4 sore ya, bisa?" Nathan membalasnya.
"Boleh. Kita ketemuan di lapangan persimpangan itu aja ya, biar gak macet." Alana menutupnya.***
Esok pun tiba. Alana, Ruby dan Isa mengantar Emily pergi ke bandara siang hari, jarak vila mereka cukup jauh jadi mereka harus pergi dari jauh-jauh sebelumnya.
Di bandara, Emily dan Ryan berpamitan. "Jaga diri ya. Jangan macem-macem lagi," kata Emily pada Alana. Alana memeluk Emily dengan erat. Mereka akan berpisah lagi, entah kapan akan bertemu lagi. "Guys jaga dia ya," pesan Emily untuk Ruby dan Isa.
"Tentu!"
Akhirnya Emily pergi. Ruby dan Isa mengantar Alana ke lapangan itu. Ruby dan Isa punya acara lain, sebelum mereka pulang besok siang. "Jangan malam-malam pulangnya. Kalau ada apa-apa telepon ya," kata Isa. Alana turun menunggu Nathan dibawah mendung yang cukup tebal dan gelap.
"Ah jangan hujan dulu," kata Alana.
Sementara Nathan, beberapa jam sebelumnya di vilanya. Raline memintanya untuk menemaninya di vila bersama membereskan beberapa barang bawaannya. Nathan dengan senang hati membantunya hingga tanpa terasa dia melupakan janjinya dengan Alana.
Alana sudah menunggunya sekitar 15 menit. Dia mengirimkan pesan lagi, namun Nathan tak meresponnya. Ponsel Nathan tergeletak di tempat tidurnya. Dia tak mendengarnya. Alana mulai tak sabar karena sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Dia berkali-kali menelponnya namun tak ada responnya hingga rintik hujan mulai perlahan turun.
"Ah dia kemana sih!" Alana mulai geram. Dia berusaha menelepon lagi, kali ini Nathan meresponnya. "Halo, kamu di mana? Disini mulai hujan. Jadi gak?" Alana menahan emosinya.
.....
Alana menutup teleponnya dengan perasaan kecewa. Dia tak percaya dengan apa yang sudah ia dengar barusan, tangannya melemas dengan hujan yang semakin deras, hingga tanpa ia sadari seseorang yang sedang jalan dan terdengar sedang menelepon, melewatinya lalu menabrak tubuhnya. Ponsel keduanya pun jatuh secara bersamaan. Alana membungkuk meminta maaf, dia buru-buru pergi lalu mengambil ponselnya, mencari tempat teduh.
Alana ingin sekali menangis, dengan perasaan kecewanya. "Kenapa ini lebih sakit dari aku putus dengan Eric." Alana akhirnya berteduh setelah dia berlari 2km ke tempat halte. Dia merenung seorang diri di tempat halte, dengan deras dan dinginnya hujan di Hawaii untuk pertama kali di musim panas.
"Siapapun itu, nanti... kapanpun... kamu adalah orang pertama yang harus aku temui dulu!" Ucapan Nathan menggema dalam benak Alana.
"Jangan bohong. Suatu hari nanti kita akan ketemu pasangan kita masing-masing. Jangan janji seperti itu, kalau kamu gak menepatinya. Gimana kalau hati kita terluka,"
Alana pada akhirnya menangis. "Kenapa sih aku harus ketemu sama dia. Kenapa sih Alana!!!" Dia begitu kesal dengannya keputusan yang mengiyakan ajakan Nathan.
"Harusnya kamu tahu, dia lagi sama Raline!" Dia terus menyalahkan dirinya.
"Ah...Nathan ya?" Alana mengingat jawaban di telepon tadi. Sebenarnya, Raline lah yang menjawab panggilan terakhirnya. "Dia sibuk, sepertinya dia lupa ngasih tau kamu, kalau dia gak bisa hari ini." Raline langsung mematikan panggilan itu.
"Ah bodoh sekali kamu!" Alana terus menyalahkan dirinya. Dia menangis sejadi-jadinya, tanpa ada seorang pun disisinya. Tak lama ponselnya berdering, tak biasa. Dia menghapus air matanya, "ini siapa?" Dia mengangkatnya.
"Uhmmm... sorry tapi sepertinya ponsel kita tertukar," sahut penelepon itu.
Alana terkejut, "Hah?" Dia mengeceknya dan memang benar tertukar. "Kamu di mana?" Dia butuh ponselnya kembali tapi hujan masih deras.
"Mmm aku di cafe dekat lapangan itu. Kamu jalan terus saja, terus belok kiri, terus jalan lagi, nanti ada cafe Shinjin. Aku di situ. Ponselmu aman. Aku tunggu di sini,"
"Oke." Alana melemas.
Alana menghela napasnya tak terasa hujannya berhenti. Dia tak ada tenaga berjalan menuju cafe itu. Hari semakin gelap. Dia berdiam diri di halte hampir satu jam. Dia jalan dengan pelan, dengan udara dingin dan baju yang basah. Dia ingin segera pulang.
Tak terasa dia tiba di cafe itu, cafenya tersembunyi dan ternyata cukup besar. Minimalis dengan permainan lampu yang semakin terlihat kesan mewahnya. Dia masuk dengan rambut dan bajunya yang basah.
"Ah dingin," katanya. Dia mencari sosok yang dikatakan di telepon tadi. "Aku memakai jaket hitam..." Alana mulai bergumam dengan emosinya lagi, "memangnya yang pakai jaket hitam hanya dia," kata batinnya. Dia terkejut karena memang semuanya tidak ada yang mengenakan baju hitam selain dirinya dan orang itu.
"Oh itu dia," katanya. Orang itu membelakangi Alana. Dia pun menghampirinya dan berdiri tepat di belakangnya. Dia menepuknya.
"Permisi," kata Alana.
Orang itu berbalik dan bola matanya membesar, dia terkejut. Dia lantas berdiri melihat Alana. Dia berbalik menghadapnya.
"Alana..." keduanya terdiam.
Kedua bola mata mereka bertemu. "Kenapa dia diam saja?" kata batin Alana. "Apa ada yang salah denganku hari ini?"
Tak lama orang itu tersadar. "Oh ini ponselmu," orang itu memberikannya pada Alana. Lalu Alana mengeluarkan ponsel milik orang itu.
"Maaf ini agak basah," kata Alana.
"Tidak apa-apa...," kata orang itu.
"...mmm aku Jay!" Lelaki itu memperkenalkan diri. Dia membuka tangannya untuk berjabat tangannya.
"Alana," Alana tersenyum.
"Aku tahu," kata Jay.,,
"Dia siapa?" Rupanya Jay dan Alana satu kampus dan satu angkatan yang sama. Jay pertama kali bertemu dengan Alana lagi saat Alana menjadi panitia di penerimaan mahasiswa baru. Jay terpana dengan sosok Alana.
"Oh...dia Alana dari jurusan desain."
Sayangnya, Jay beda jurusan dengan Alana. Dia berada di jurusan arsitek. Di Hawaii, dia sekaligus kerja dan liburan. Dia bertemu dengan rekan bisnisnya.
Sejak hari itu memang Alana dan Jay tidak pernah bertemu lagi. Jay sibuk dengan kuliahnya dan kerja paruh waktunya, dia akan mewarisi bisnis ayahnya sebagian seorang arsitektur terkenal di sana. Jadi, Jay mulai diajak bertemu klien bahkan saat liburan pun.
,,
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilac Bourbon
Teen FictionAlana Reeve Anderson Nathan Ellington Jay Jake Kelley Raline (Nathan's friend) Calvin Harry Anderson (Alana's brother) Sarah (Nathan's friend) Mila (Nathan's friend) Eric (Alana's ex) Darrell (Alana's close friend) Lucy (Nathan's ex) Emily (Alana's...