1² - Calon mantu, katanya

112 13 0
                                    

[ReSera (1²) - Calon mantu, katanya]

Ayah memergoki seorang laki-laki yang keluyuran malam-malam dengan sepeda motornya. Katanya kecepatannya seperti pembalap racing yang kadang tayang di TV Channel 7 saat sore hari, bapak-bapak yang meronda mengejarnya dan berteriak.

"Woi, ada maling!!!"

Begitu teriak Pak Hasan—ketua bagian ronda malam Sabtu ini, aku yang mendengarnya begitu memperhatikan lamat-lamat. Banyaknya cerita dari ayah selalu berakhir dengan gelak tawa, maka dari itu aku sedang menunggu plot twistnya.

"Karena bapak-bapak kewalahan, dan gerbang perumahan nggak ditutup satpam karena ketiduran, alhasil kami kejar. Lebih tepatnya ayah sendiri yang kejar dia sambil teriak maling." Pria setengah baya itu meraih kue kering di dalam toples kaca, lalu memasukkan ke dalam mulut kemudian mengunyahnya perlahan-lahan, membuat aku dan Raihan menunggu.

"Terus yah?" Raihan berujar tidak sabar, kemudian dia melirikku bergantian sambil mencebik, "Makan dulu teh kripiknya, kunyah, nanti lembek lagi di mulut."

"Iya iya."

"Nah, abis itu," ayah menepuk pahanya, wajahnya yang semula menatap kami seksama, menjadi terperangah dan sedikit terperanjat, tubuh gempalnya hampir membuat meja kayu ini terguncang rubuh.

"Itu pelakunya!" Jarinya menunjuk seseorang yang baru sampai, aku yang mengikuti arah jarinya, dengan sigap mempersiapkan siapa yang dimaksud ayah dan segera membolakan mata.

Lelaki itu ternyata,

"Kak Sera?!" Seru Raihan kencang. Kini tatapanku beralih ke remaja tanggung yang hobinya baca komik manga yang dijual 15.000 di toko barang bekas belakang kedai.

Raihan terlalu riweh, kalau kata orang Sunda bilang.

"Ngapain gibahin aku pagi-pagi gini?" Dia mengambil kursi plastik yang semula berada di ujung pilar, mendekat menujuku. Wajahnya yang seperti aspal panas terkena air hujan, juga terdengar hidungnya yang kerap kali seperti berusaha menghirup kencang, rupanya kejadian semalam membuatnya menjadi pasien dadakan.

Pagi ini di jam 7 pagi setiap aku pulang seminggu sekali ke rumah dari asrama, setelah kami membersihkan rumah tanpa sosok ibu sembari memutar lagu nostalgia kesenangan ayah, merupakan bentuk mengawali hari yang apik sekaligus ciamik. Ayah yang selera humornya karismatik, ditambah Raihan remaja labil emosional membuatku merasa hangat dan semakin bersyukur.

Kata ayah, setiap pagi kita harus diawali baik, perkara diakhiri dengan hal yang dirasa kurang baik tetap harus disyukuri dan dinikmati. Raihan menambahkan, karena hidup cuman sekali. Tidak perlu banyak bergaya, katanya.

Di setiap Sabtu ibu selalu pergi bersama teman-temannya dari subuh buta mengikuti senam entah ke daerah yang dekat rumah atau luar Bandung. Maka dari itu, relasi wanita tua itu sangat luas. Saking luasnya membuatku hanya dapat tersenyum simpul dan mengaduh.

Terkadang ibu menjodohi-jodohiku dengan anak laki-laki kenalannya. Yang rata-rata usianya itu melebihi standarku dalam memilih pasangan, yaitu 3 tahun. Maksimal 3 tahun. Titik.

"Kak Sera, maling apa semalam?" Raihan menatap nanar lelaki tinggi di depannya, sepersekian detik ayah memukul bahunya, dia mengaduh kesekitan, "Jangan nuduh macam-macam kamu Han, pamali!" Ayah berkata tegas.

Tidak tega melihat anak dari kakaknya di fitnah sembarang, kemudian ayah melanjutkan ucapannya, "Ayah kan belum selesai cerita," alibi ayah, sudah basi, menurutku begitu. Hobinya yang setengah-setengah kalau bicara memang selalu membuat kami yang mendengar terkadang salah kaprah, sering kalinya membuat kami jadi seperti saksi mata menjelma pelaku.

"Lagian ayah nunjuk Kak Sera sambil bilang itu pelakunya, aku kan bicara sesuai ucapan ayah aja." Kini bergantian Raihan yang labil itu merajuk, sikapnya sebelas dua belas dengan makhluk di sampingku ini.

"Eh tetep aja ayah kan belum selesai cerita," ayah sepertinya ingin membuat satu-satunya anak laki-lakinya marah, selalu begitu, mereka bertengkar yang tampak lucu di mataku.

"Sudah," aku melerai, "Jadi gimana yah kelanjutannya?" Aku berkata antusias, tidak menggubris tatapan menyengat dari laki-laki menyebalkan di sampingku.

"Ya gak gimana-gimana dek, gitu aja sih."

"Ayah mulai deh ..." Aku membolakan mata, cerita ke-15 nya di tiga bulan terakhir ini tidak selesai begitu saja, tuman.

"Maksud ayah ya pelakunya nggak ada, adanya calon mantu buat ayah." Ayah berlalu begitu saja ke dalam rumah, membuat kami bertiga saling tatap, perlahan-lahan mencerna ucapannya.

"Calon mantu?" Raihan tidak bergeming, jemarinya mengelus jenggot tipis yang tumbuh di dagunya, lalu matanya memicing menatapku dan Kak Sera bergantian.

Dia berdiri, terperanjat dengan sengaja. Lalu wajahnya seperti bermekaran, "Ibu, Teh Re mau nikah!!!"

3 chapters left soon.

Me, you and the pastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang