1⁴ - Luka Re

63 13 0
                                    

[ReSera (1⁴) - Luka Re]

Kepulangan keduanya disambut hangat Ateu Vera. Anak sulungnya yang tinggi semampai kemudian menutup pintu rumah dan berkata lirih pada Re untuk segera beristirahat. Tampak wajah berbeda dari anak adiknya itu, pikir Ateu Vera. Tak lupa Sera mengamit telapak tangan ibunya, bermaksud menyalami. Kemudian sang ibu berkata lirih, seraya matanya tidak lepas dari Re yang sedang menaruh sepatu di rak dekat pintu gudang,

"Kenapa dia? Mukanya murung begitu." Tampak wajah Sera mengernyit dan mengikuti arah pandang ibunya, perempuan yang tingginya jauh kecil dari tubuhnya itu kian terlihat tidak berwarna setelah pembicaraan tadi.

"Dia kecapean," tampak matanya nanar melihat pergerakan Re, sedikit hatinya mencelos karena cara pandang Re yang begitu kolot. Re seakan tidak peduli dan bersikeras tidak mencoba memahami keadaan hatinya. Re yang selalu menutup hati dan tidak mau percaya. Apapun di kepala Sera kini, Re begitu egois.

"Kalian bertengkar ya?" Ateu Vera melengos kemudian tanpa menunggu jawaban Sera, wanita itu menghampiri Re kemudian memeluk Re hangat. Menyalurkan kekuatan yang bahkan Ateu Vera pun tidak tahu tentang hal yang membuat mereka bertentangan. Tentang perasaan yang membuat mereka begitu terlihat bersinggungan.

"Ra, kata bapak kamu nggak usah ke kedai. Katanya biar ibu saja,"

Semula wajahnya menunduk, menyantap perlahan masakan ibu yang masih panas. Namun hal itu membuatnya terkejut, mengapa bapak tidak memintanya yang ke kedai? Bukankah setiap minggu bila ia pulang dari asrama Sera yang selalu membantu bapak?

"Kenapa?"

Ditatapnya sang ibu mengintimidasi, kerut di dahinya tampak, dan hal itu tidak disukai Re. Re yang menatap Sera dengan kekecewaan membuat hatinya meringis. Ia kembali mengingat ucapan laki-laki tinggi itu tadi siang.

"Kenapa? Kenapa harus aku?"

Re menaruh kedua telapak tangannya di bawah meja, mengamitnya untuk menyalurkan kegugupan. Selama ini Re hanya menganggap laki-laki ini sebagai sepupu tertua, tidak lebih dari itu. Tidak pernah ada perasaan asing yang menggerogoti dirinya, merusak pikirannya hingga bisa mencintai bagian dari keluarganya sendiri? Astaga!

"Kenapa kamu nanya begitu?" Sera menatap lurus mata Re, seperti mencari segala pernyataan absurd di kepala perempuan ini. Pemikiran kolot yang mengusik di sana.

"Kok malah balik nanya sih Ra?" Re memelan, suaranya terdengar pasrah, ia memulai kejelasan ini dengan lelah. Sera menangkap respon Re yang membuatnya tercenung. Mengapa pula Sera harus bertanya, mempertanyakan maksud Re yang tidak paham, bukankah yang membuat keadaan mereka ambang ini karena Sera? Karena perasaannya yang semena-mena?

"Oke, maafkan aku." Sera mengalah, "Aku perlahan akan jelasin dan aku perlahan akan menanyakan sesuatu untuk memperjelas pernyataanku, boleh?"

Re menangguk, kini di kepalanya mulai kondusif. Pekerja di otaknya mulai terbuka dan berharap bisa menerima.

"Gimana kamu melihatku?"

"Maksudnya? Bisa pertanyaan simple Ra?"

"Kamu lihat aku bagaimana? Sebagai laki-laki bukan sepupumu."

"Aku ..." Re diam, ia mencoba menjawab dengan benar. Walau pada kenyataannya ini bukan perihal pertanyaan benar dan salah. Tergambar seperti situasi ketika diberikan kuiz dadakan dari dosen, kepala Re kembali pening.

"Gimana?" Sera sedikit mendesak, membuat Re berpikir bahwa laki-laki ini bukan manusia yang memiliki kesabaran, bukan manusia yang sempurna seperti kata orang lain bilang, bukan seperti Sera dulu yang dia kenal hanya sebagai seorang sepupu.

"Nggak gimana-gimana, biasa aja. Aku nggak pernah menganggap kamu lebih, apalagi dengan sikapmu yang begitu."

"Kamu tidak mau mencoba kah? Membuka perasaan itu, setidaknya membenarkan perasaan aku?"

Sera seperti tidak sabar, ia terlalu tergesa-gesa membuat Re tidak habis pikir dan menjadi bimbang. Re seakan meragukan pernyataan yang dia buat sendiri, seperti sebuah kesalahpahaman yang Re utarakan, padahal dia sudah berkata dari lubuk hatinya paling dalam.

"Bagaimana aku mau menerimanya Sera? Aku tidak bisa memaksakan diriku untuk mengerti perasaan kamu, dan apa? Menikah? Diusia muda?" Re berkata lirih, ia tidak mau terkesan emosi, ia lelah. Kekalutan di pikirannya ia coba redam dengan validasi yang dirasa benar oleh pikirannya.

"Pagi tadi kamu sudah membuatku dilema Ra, kamu tahu aku bukan perempuan yang mudah jatuh cinta. Bahkan interaksimu dan aku saja bukan keakraban, kita sering bertengkar. Perihal menikah, bukankah kamu tahu, aku tidak pernah mau menikah, aku benci menikah Sera! Aku takut, di hatiku nggak ada yang bisa isi, aku sudah tutup perasaan apapun." Re tercenung, kini dia meluapkan apa yang sudah lama ia pendam, apa yang menjadi kekhawatirannya, apa yang ia tutupi, hingga Raihan, ayah, dan ibu tidak tahu.

"Tadi pagi kamu bilang ingin menyembuhkan hatiku, tidak Ra. Kamu tidak bisa," air matanya luruh, perlahan membasahi kedua tangan yang diamitnya.

"Bagaimana dengan aku yang dari dulu berusaha menyembuhkan dan berdamai dengan keadaan di hidupku? Akupun tidak bisa. Apalagi kamu!"

Sera diam. Dia hanya bisa merasakan pilu dan kekukuhan dirinya sendiri.

✓ 1 chapters left soon.

Me, you and the pastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang