1¹ - Tukang marah

196 15 0
                                    

[ReSera (1¹) - Tukang marah]

Kak Sera tetiba mengirim pesan padaku. Di jam 20.47 malam ini, figur penuh aura negatif dan responsifnya yang minim membuat aku tidak menyukainya. Wajahnya yang kaku, banyaknya ditekuk lamat-lamat, perangainya yang pasif. Apapun yang terlihat darinya hanya membuatku tidak nyaman. Membuatku enggan untuk menyapa duluan.

Dek, kata ibuku besok kerumah.
20.47

Aku membacanya dengan hati penuh kekecewaan, pasalnya esok di jam 9 pagi aku berencana untuk menghadiri event bedah buku di Gramedia kota, dan menghabiskan me time yang sudah aku tunggu-tunggu sejak lama.

Jam 9 aku jemput.
20.48

Astaga, jam 9 pula?! Tidak biasanya Ateu Vira memintaku untuk datang ke rumahnya di pagi hari. Kalau aku ingat-ingat, seperti di hari libur yang lalu beliau selalu memintaku datang untuk menemaninya : entah dengan menemaninya tidur, bereksperimen masakan, atau menonton drama, yang pasti aku menjadi seseorang bayaran untuk tidak meninggalkannya sendirian saat Kak Sera dan Om Hanif ke kedai.

Jam 11 saja, aku nggak bisa jam segitu.
20.49

Aku ketik kalimat itu hingga dengan sepenuh hati aku tekan tombol hijau di samping kanan, berharap pesan itu tidak langsung dibaca, dan benar saja ... Centang dua biru itu tidak tampak, kini waktu onlinenya redup digubah dengan untaian angka. Dia sudah offline.

Kak Sera adalah saudara sepupuku, dia anak dari kakak ayahku yaitu Ateu Vira. Usianya selisih 2 tahun denganku, dan dia masih berkuliah semester 5, di tempat yang sama sepertiku menimba ilmu. Aku Re, adik tingkatnya yang baru memasuki masa perkuliahan dengan harapan tanpa gangguan dari pihak internal.

Ya, keluarga.

Bunda seringkali menitipkanku pada Kak Sera, yang kerap kali bertingkah seperti anak baik, seperti pangeran, seperti malaikat, seperti pemuda yang alim. Tentu, itu semua adalah kenyataan. Pahatan depan dan dalamnya sama, dia benar-benar keturunan bangsawan. Sebab otak dan tingkahnya tidak seperti laki-laki kebanyakan.

Aku dibuat termenung sejenak di kala wajah itu fokus memakan kue yang kubuat tempo hari, saat aku pulang dikarenakan hari libur tahun baru. Aku diminta menginap di rumahnya, untuk bereksperimen kue yang bahan-bahannya sudah disiapkan Ateu Vira jauh-jauh hari.

Ia sesekali tersenyum, lalu menanggapi sopan hilir mudik percakapan tetua di samping kanan kirinya. Tidak lama dari itu mulutnya yang terlihat manis, berujar memuji hasil jerih payahku. Hah ... Pembohong, aku tahu rupa manusia sejenisnya. Penjilat kelas kakap!

"Kenapa?"

Dia bertanya dengan suaranya yang dingin. Sial, saat aku merasa malam ini akan aman, dengan segala persiapan tidur dan tugas-tugas kampus yang sudah kuselesaikan, laki-laki itu menelepon tanpa salam dan permohonan maaf. Setidaknya, ia bisa berujar, "Maaf aku ganggu," atau, "Terima kasih sudah angkat malam-malam teleponnya, ..." Tidak!!! Jangan banyak berharap sopan santun darinya Re. Dia bukan manusia!

Kepadamu dia tidak akan beramah tamah. Lihat saja!

"Aku sibuk besok, tolong bilang pada ateu aku akan datang di jam 11 lebih." Kucoba menahan emosiku, yang kepulannya sudah berambisi mengepul ke penjuru ruangan.

"Tadi bilangnya jam 11."

Suaranya yang datar itu bicara dengan kalimat padat yang menusuk.

"Iya jam 11, kamu bisa jemput jam 11."

"Tumben sibuk," alih-alih aku meredam amarah, semakin percakapan ini berlanjut malah membuatku ingin menghardiknya begitu saja. Astaga laki-laki ini!

"Sejak kapan kamu memperhatikan hah? Aku sibuk atau nggak bukan urusanmu tuh."

"Itu urusanku juga bocil."

"Hei, bicara yang benar dong. Ingat ya kita cuman beda 2 tahun, aku bukan anak kecil seperti adikmu itu?!"

"Tapi badanmu kecil, lihat di cermin. Atau kamu perlu aku belikan cermin yang besar?" Kak Sera mengubah intonasi bicaranya, tidak datar namun menjadi menyebalkan. Tingkat menyebalkan ini sudah berada di fase klimaks.

"Astaga, sudahlah. Bicara denganmu itu gak berguna sama sekali SERA!" Aku menekankan satu kata diujung ucapanku, sehingga sampai ucapanku bergema 5 detik tidak ada respon sama sekali darinya. Yang aku pikir ia mungkin marah.

"Bicara apa kamu bocil?!" Kak Sera berteriak, lalu aku seperti mendengar suara pintu yang dibuka dan tertutup kencang. Gemuruh hidungnya memekakkan telingaku, lalu derap kakinya begitu dalam dan terdengar hingga ia seperti sedang menyalakan sepeda motor.

"Awas bocil, diam disitu dan lihat apa yang akan aku lakukan?!"

4 chapters left soon.

Me, you and the pastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang