Ponsel itu sudah berada di genggaman Eric sedari tadi. Layarnya menampilkan ruang pesan dengan nama Elias Yoon yang masih kosong. Jelas, mereka tidak pernah berkirim pesan sebelumnya. Nomor Elias pun baru didapatkan dari grup global perusahaan mereka yang hanya berisi progres kerja dan informasi terbaru yang penting untuk disebarkan. Kini laki-laki berahang tegas itu sedang menimbang-nimbang untuk mengirimi Elias pesan permintaan maaf atas sikap kurang ajarnya. Demi apapun, Eric tidak bermaksud melecehkannya. Memang benar laki-laki itu senang menyudutkan Elias, berkata kasar kepadanya, hanya saja melakukan sesuatu yang fatal seperti semalam benar-benar di luar kendalinya.
Mabuk bukan alasan yang bisa Eric gunakan untuk membela diri dan menjadikan tindakannya dapat dibenarkan. Dia tau persis alkohol tidak berpengaruh separah itu kepadanya. Ada hal lain yang memancing naluri hewani di dalam diri Eric sehingga dia lupa menggunakan akal sehat. Bukan tipikal alpha yang penuh kehati-hatian seperti Eric biasanya.
Meskipun tak dapat dipungkiri, kegiatan itu meninggalkan kesan yang cukup mengganggu pikirannya. Fragmen kejadian berkali-kali mengacaukan pikiran Eric — membuatnya terus terjaga sejak kembali dari restoran. Dia terus terbayang wajah Elias yang pasrah di bawah kendalinya. Erangan menyerempet desahan yang terdengar setiap kali penisnya menekan dinding mulut laki-laki itu. Begitu pula rasa hangat yang Eric rasakan bersamaan dengan nikmat yang sulit dijelaskan. Apalagi ketika dia mendapatkan pelepasan, kakinya seperti tidak menapak di tanah. Tanpa Eric sadari, dia menikmatinya dan mulai mendambakan kesempatan yang sama di lain waktu. Perasaan itulah yang membuatnya semakin merasa bersalah.
Tapi, dari mana dan bagaimana dia harus memulai? Apakah dengan menanyakan kabarnya? Bukankah kesannya jadi tidak tau malu?
Menyusahkan sekali.
Jujur, Eric sangat membenci berkirim pesan. Dia orang yang kaku sehingga sulit untuk memulai. Terlebih lagi yang akan dikiriminya pesan kali ini bukan seseorang yang dia sukai. Namun, sebagai manusia yang memiliki tata krama, sudah seharusnya dia bertanggung jawab atas kelakuan buruknya kepada Elias. Hanya saja, gengsinya masih mendominasi. Jadi, mari coba cara lain.
Dia mencari sebaris nama di panggilan terakhir dan mulai menelepon. Tak lama, suara di seberangnya menyapa dengan malas. Sepertinya Eric baru saja mengganggu waktu tidurnya.
"Tidak bisakah kau membiarkanku beristirahat di hari liburku, Eric?"
"Aku minta maaf, Isaac, tapi ini mendesak."
Terdengar helaan napas Isaac. "Berapa skala mendesak yang kau maksud sampai membuatmu nekat meneleponku pagi-pagi begini?"
Eric menggigit bibirnya, mendadak ragu atas keputusannya untuk bertanya kepada Isaac. Sepupunya itu berjiwa ingin tau yang besar. Dia pasti akan curiga.
"Kalau kau tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan, aku akan menutup teleponnya," Isaac menguap lebar, menjeda kalimatnya. "aku masih mengantuk sekali, bajingan."
"Tunggu, tunggu!" sergah Eric. Dia menghela napas untuk membangkitkan keberanian diri. "Itu, kau tau ... hmm ... bawahanmu sudah bekerja keras sekali ... aku baru menyadarinya ketika minum-minum semalam aku kurang memberi mereka apresiasi yang pantas ... hmm kebetulan aku baru saja melihat iklan dari sebuah toko roti yang banyak direkomendasikan di sosial media. Katanya, kau tau, akan ada potongan harga jika membeli dalam jumlah banyak. Hmm ... jadi, aku berniat membelikan untuk mereka sebagai ucapan terima kasih dan permintaan maaf .... Begitulah ...."
Di seberang telepon, Isaac dengan wajah mengantuknya sedang mengerutkan dahi, menunggu ujung dari arah pembicaraan Eric. Jelas karyawan di divisi Isaac sudah bekerja keras demi memenuhi ekspektasi direktur mereka yang perfeksionis itu. Sudah sepatutnya Eric berterima kasih dna meminta maaf karena sikapnya banyak merepotkan. Namun, memberi hadiah secara tiba-tiba bukan sifat Eric sama sekali. Agak aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love We Hope Exist | Paid Jeongjae Fiction
FanficThe urge to love bxb fiction! not relate to face claim real life mature enemies to lovers aboverse mpreg