Jana memayunkan bibirnya, matanya menunjukkan sorot kesedihan. Di depannya ada rumah besar yang saat ini menjadi tempatnya tinggal. Tetapi di rumah ini Jana tidak menemukan kehangatan seperti di kehidupannya dulu.
Dengan langkah lesu gadis dengan tas di punggungnya itu masuk ke dalam rumah yang terlihat sangat sepi. Rumah besar tetapi begitu suram, Jana sendiri sampai merinding membayangkan jika tiba-tiba ada hantu yang ke luar dari salah satu ruangan.
"Ih aku mikirin apa, sih!" Jana berlari memasuki kamarnya tergesa. Nyatanya dia terjebak pikirannya sendiri, dia menjadi takut karena rumah ini benar-benar sepi.
"Memangnya yang kerja di sini pada ke mana ya?" tanyanya heran.
Saat menjadi Aina rumahnya begitu ramai. Para pekerja di rumahnya pasti selalu berlalu lalang sekadar mengecek keberadaan Aina, atau ada ibunya yang selalu sibuk di rumah.
"Jadi kangen mama," gumamnya sedih.
"Mama lagi apa ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Biasanya orang pertama yang Aina lihat saat pulang sekolah adalah mamanya. Ah, Jana benar-benar merindukan momen itu.
Jana menghela napas kasar. Rasanya dia ingin menangis saat ini juga. Siapa yang tidak kaget saat tiba-tiba terbangun di tempat asing dengan orang-orang tidak menyukai Jana.
"Jana, seberapa berat hidup kamu waktu itu," gumam Jana.
Menjadi Jana beberapa hari saja sangat melelahkan, apa lagi Jana yang asli yang sudah menjalankan kehidupan selama bertahun-tahun. Lalu yang membuat Jana penasaran adalah, ke mana jiwa Jana yang asli pergi.
***
Jana tertawa lepas saat melihat film kartun di televisi yang menampilkan kartun favoritnya, apa lagi jika bukan Tom and Jerry. Jana memasukkan camilan ke dalam mulutnya dengan mata terus fokus pada televisi.
"Jerry nakal banget sih!" serunya kesal.
Tanpa Jana sadari sejak tadi Enzo sudah pulang dan melihat tingkah Jana heran. Apa lagi melihat ruang televisi yang sudah berantakan dengan beberapa bungkus snack berserakan.
"Jana!" Jana yang sedang asik tertawa seketika menghentikan tawanya. Dia terkejut melihat Enzo sudah berdiri tak jauh darinya dengan wajah tak bersahabat.
Cepat-cepat Jana mematikan televisi dan menyembunyikan bungkus snacknya di bawah bantal, walau sebenarnya percuma saja Enzo sudah melihat semuanya.
"Jadi ini tingkah lo? Makin enggak tau diri, mentang-mentang semua orang pergi lo bisa seenaknya gini?!" Jana menundukkan kepala merasa bersalah.
"Maaf," cicitnya pelan.
Enzo mengernyit heran melihat balasan dan tingkah Jana. Kenapa gadis itu terlihat seperti seorang anak kecil yang ketahuan melakukan suatu hal oleh orang tuanya.
"Beresin, jangan nyampah!" Enzo memilih pergi dari pada berlama-lama bersama Jana. Apa lagi dengan tingkah aneh Jana, hal itu membuat Enzo merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya.
Jana langsung memunguti bungkus-bungkus snack dan membereskan bantal kursi. Matanya berkaca-kaca, merasa kesal karena baru saja dimarahi Enzo.
"Selama ini enggak ada tuh yang marahin aku, emangnya dia siapa!" Gerutu Jana pelan. Jana masih sayang dengan nyawa, jangan sampai Enzo kembali mengamuk mendengar ucapannya barusan.
"Cepetan!"
"Iya!" balas Jana berteriak.
Di lantai dua Enzo melihat tingkah Jana, melihat Jana yang sedang mengentakkan kaki melampiaskan kekesalannya. Jangan kira Enzo tidak tau Jana menggerutu sebal karenanya.
"Manusia aneh," ejek Enzo.
Setelah semuanya selesai Jana langsung masuk ke dalam kamar. Dia merasa di luar sudah tidak aman, pasti Enzo tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang. Jana menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang, menerawang jauh tentang kehidupannya sebagai Jana.
"Apa aku bakal kuat, ya?" ucapnya.
Kakak yang membencinya, ayah yang tidak peduli, ibu tiri yang selalu bersikap kasar, dan tidak memiliki teman. Sungguh sudah lengkap bukan penderitaannya.
"Tapi apa alasan semua orang benci dengan Jana ya?" Jana memperhatikan dirinya. Tidak ada yang salah.
"Tapi bukannya di sekolah Jana cukup terkenal, aku harus cari tau!" tekatnya.
Tidak mungkin tidak ada alasan mengapa sampai semua orang tidak menyukainya. Lagi pula sebenarnya sampai saat ini dia belum menemukan, apakah Jana benar-benar tidak memiliki satu pun teman. Tetapi jika dilihat-lihat dari tatapan teman sekolahnya, sepertinya Jana ini bukan siswa baik-baik.
"Ribet banget sih jadi dia!" Jana menggulingkan tubuhnya kesal. Memukul guling melampiaskan kekesalannya.
"Kayaknya mati lebih baik dari pada hidup sebagai Jana yang buat kepala aku mau pecah!" teriak Jana kesal.
Untungnya kamar ini kedap suara, jika tidak orang-orang akan mengira dia tidak waras, walau memang benar adanya. Sepertinya sebentar lagi dia akan gila jika lama-lama hidup sebagai Jana.
"Siapa pun tolong aku!" ucapnya dramatis.
Jana jadi kepikiran, kira-kira film kantun yang tadi dia tonton apakah sudah habis ya?
"Tom and Jerry aku!" ucapnya penuh kesedihan.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Dua Jiwa
Fiksi IlmiahSatu kata dalam hidup Aina, sempurna. Gadis yang dianugerahi wajah cantik, keluarga yang menyayanginya, kekayaan, dan kehidupan sempurna lainnya. Sayangnya umur gadis itu tidaklah panjang karena menjadi target musuh ayahnya sendiri. Bukannya mati d...