Usai

548 56 4
                                    

Setiap orang memiliki kisah sebelum sekarang. Yang aku maksudkan adalah masa lalu. Aku memilikinya. Tidak semua dari mereka buruk atau baik. Aku kira dengan memutuskan menutup buku berarti semua memang selesai. Tapi kenyataan kadang lebih rumit dari itu.

Aku masih membawa kisah dari masa itu. Sebuah masa di waktu-waktu lalu yang tentu aja aku sudah tidak hidup di dalamnya. Masa di mana aku masih berbagi kisah dengannya. Ya, dengan dia yang tak lagi sama.

Aku masih ingat hari-hari yang kami lalui saat itu, duduk di bawah pohon maple saat musim semi, menyapu dedaunan kering di musim berikutnya, atau menyeduh coklat hangat di dekat perapian menjelang akhir tahun.

Hanya melakukan hal-hal remeh sebenarnya, tapi siapa sangka kalau hal-hal remeh adalah yang paling berkesan. Maksudku, seberapa remehnya itu tetap aku tidak bisa kembali bukan?

Dulu, kami jarang berdebat. Hubungan kami tergolong menyenangkan, sedikit argumen dariku tidak membuatnya balik menyerang. Kebanyakan dia terdiam mendengarkanku mengeluh atau mengomel. Setelah itu dia akan memberikanku waktu merenung dan membuktikan bahwa aku tidak selalu benar. Kami akan berbaikan tanpa adu mulut yang melelahkan.

Aku merasa di sempurna, hubungan kami sempurna. Itu jelas lebih dari cukup untuk bisa kumiliki. Tapi kabar lainnya adalah kami memiliki tenggat waktu yang jelas tidak kami tau. Well, tak seorangpun tau.

Ada saatnya aku memiliki dan adapula saatnya aku merelakan. Begitulah yang dikatakan ibuku ketika untuk pertama kalinya dia membuatku menangis hebat. Mungkin itu adalah musim panas 8 tahun lalu, ketika dia yang kupuja membuatku kecewa.

Aku menyesal telah membahas tentang masa depan kami begitu jauh, tanpa kami tau bahwa masa depan itu tidak pernah ada. Apa yang kami rangkai tidak pernah terjadi.

Aku menangis histeris saat itu. Sungguh aku kecewa dia tidak berhasil berjuang melawan penyakitnya. Aku kecewa pada Tuhan yang mengambil lengkapku, bertanya-tanya apa kesalahan yang kulakukan hingga mendapatkan hukuman seberat ini? Karma apa yang kujalani untuk kesalahanku di masa lalu?

Sayangnya, yang bisa kulakukan saat itu adalah menangis dan menangis. Hingga akhirnya aku sadar Tuhan masih sangat menyayangiku. Dia berikan malaikat lain yang lebih dari mampu untuk menyibak suramku.

"Mama.. sudah selesai?"

Aku menoleh ke sumber suara. Seorang gadis berusia 5 tahun dengan senyum ceria mendekatiku. Dialah malaikat itu. Putriku Uchiha Sarada.

Aku tersenyum manis sambil menyambutnya ke pelukanku. "Ya, mau menebar bunganya?"

"Ya, Mama." balasnya sambil meraih bunga-bunga segar yang ada di genggamanku.

Kami menaburkan bunga itu ke pusara dengan khidmat ketika suara lain mengintrupsi kegiatan kami.

"Maaf aku terlambat. Oh kalian sudah selesai?"

Napasnya terengah-engah dan rambutnya berantakan. Jelas sekali bahwa ia habis berlari.

"Ya, kami baru saja memutuskan makan siang tanpa dirimu." Aku berusaha membuat suaraku terdengar seketus yang kuinginkan. Jujur saja dengan gayanya yang seperti ini tidak bisa membuatku lebih terpesona lagi.

Tapi perasaan kesal harus lebih mendominasi, tidak peduli seberapa menawannya suamiku dengan kondisi yang acak-acakan.

Sarada menatapku heran, tentu ia bingung karena aku tidak menjelaskan bagian tentang makan siang berdua tanpa papanya.

"Well, Sakura.. klienku tadi memang sedikit merepotkan. Tapi aku janji ini akan menjadi terakhir kalinya."

"Aku terlampau sering mendengar itu Sasuke." balasku, dengan kekesalan yang telah sirna sepenuhnya. Mendengar kata maaf darinya sudah membuatku merasa lebih baik.

Ia meringis dan meraih Sarada ke gendongannya. "Love you." katanya sambil mengecup kening putri kecilku.

"Love you more, Papa." balas Sarada sambil terkikik. Tidak ada yang tau seberapa membahagiakannya pemandangan satu ini. Kehilanganku tergantikan oleh sesuatu yang lain.

"Sudah berpamitan?" tanyanya lagi.

Sarada lalu menoleh ke arah puasara sambil mencondongkan tubuhnya, "Sampai jumpa uncle. Kami akan berkunjung lagi, ummmn minggu depan."

Kami berjalan meninggalkan Greeny Hills--sebuah pemakaman di jantung kota Crowyl yang padat.

"Alright Pumpkin, apa yang sedang ingin kau makan?" tanya Sasuke pada Sarada.

"Sebenarnya hanya sesuatu yang mudah, Papa."

Sasuke melirikku sambil mengharapkan jawaban. Aku mengedikan bahu karena jujur saja Sarada sering memiliki jawaban yang tidak bisa kuprediksi.

"Dan sesuatu yang mudah itu..." pancing Sasuke lagi.

"Es krim strawberry dengan parutan keju dan buah cherry di atasnya."

Sasuke terkekeh, "Well, I'm so sorry Pumpkin, kurasa itu tidak akan pernah menjadi mudah sebelum kau beranjak dewasa." Sasuke melirikku sekali lagi.

"Oh, aku sudah 5 tahun. Mama please.. ini akan jadi yang terakhir kalinya." Jelas sekali Sarada menirukan kalimat Papanya.

Aku menghela napas bosan, "Baiklah, terakhir kali." tandasku.

"Ya, Mama. Setidaknya untuk hari ini." sambarnya tak mau kalah.

Aku pura-pura mendelik kesal dan Sarada tertawa puas. Tawanya menular hingga akhirnya kami tertawa bersama.
.
.
.
🌹

"Titi, hari ini aku usai Titi😅😅"

Sasusaku's Love Story (Oneshoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang