4

9 2 0
                                    

Aku mulai dari buku-buku bestseller di rak paling depan, tapi tak menemukan apapun yang menarik. Lalu beralih semakin ke dalam. Meski sudah sering kemari, aku tak habis pikir mengapa Freddie tidak berminat mendekor ulang toko ini?

Percayalah, aku tak pernah keberatan dengan apapun desain toko buku ini asal buku-bukunya selalu lebih lengkap dari toko lain di kota ini, mengingat buku yang mulai tergantikan oleh e-book.

Toko milik ayah Ian ini benar-benar kuno. Sangat kontras dengan tempat di mana ia berada—di tengah kota meteropolitan yang sangat modern.

Suasananya di dalamnya temaram karena pencayahayaan yang minim. Kadang aku merasa berada di perpustakan kerajaan pada abad pertengahan. LLK—Luas Lengkap Klasik—tiga kata yang cukup menggambarkan kondisinya.

Terus memikirkan itu membuat kakiku melangkah sampai di sudut ruangan luas ini. Aku terus memindai setiap raknya sambil berharap bisa menemukan sesuatu yang bagus.

Aku menemukannya. Bukan lembaran kertas yang tersusun menjadi buku atau apapun yang bisa kubeli di sini, tapi manusia. Dia berambut hitam pekat. Menatap buku yang digenggam dengan kaus berwarna senada dengan suasana di sini—gelap—dan kontras dengan warna kulitnya yang terlihat seolah menyala.

Dia seperti lampu atau kunang-kunang yang membawa terang dalam kegelapan. Tatapan matanya dapat meneduhkan atau menghancurkan—tergantung dari sisi mana menilainya. Bahaya yang mengundang kaum hawa. Jenis kesempurnaan yang tak bisa diabaikan.

Tunggu, kurasa aku menggambarkannya terlalu dramatis?

"Verona!"

Seseorang mengalihkan perhatianku karena suara yang menyebut namaku keras, sebagi respon spontan, tubuhku memutar ke sumber suara—berpaling dari si tampan.

"Wow Sebuah kejutan lain untuk hari ini, tidak biasanya kau datang hari Sabtu."

Ian adalah manusia paling ceria yang pernah kutemui. Sanguine popular satu ini benar-benar mampu mengheningkan dunia tanpa kehadirannya.

"Ian!" sapaku, "like father like son, Ayahmu juga bilang begitu." Si blonde itu memamerkan cengiran kudanya yang khas. Membuatku tak bisa untuk tak balas tersenyum.

"Jadi, kau membantu ayahmu hari ini? Memutuskan jadi anak berbakti eh?"

"Sebenarnya tidak," Dia menodongkan keranjang penuh buku. "Ibuku akan mengamuk jika hari ini aku tidak kemari."

"Bibi Adelenie memang terbaik! Sampaikan salamku untuknya." Jawabku semangat.

"Hey sejak kapan kalian bersekutu?" Ian mendengus, "Walaupun begitu akan kusampaikan. Aku terlalu baik untuk menjadi jahat." Narsisnya.

Aku terkekeh, "Oh ya mau di kemanakan buku-buku itu?"

"Diletakkan di keranjang depan, buku-buku ini terbitan lama. Kau bisa mencari sisanya di situ." Ia menunjuk ke rak dibelakangku, "tenang, ada harga khusus untuk terbitan lama. Harga miring." Jelasnya sambil mengerlingkan mata sebelum pergi. Lagi-lagi aku tertawa karena tingkahnya.

Kalau aku tidak cukup sadar diri, kupastikan telah berani untuk menyukai Ian. Dengan segala keramahan dan tingkahnya yang unik, cowok itu tipikal pria yang mudah dicintai.

Aku berbalik kembali fokus untuk mencari buku yang bagus. Pilihanku jatuh pada buku lawas karangan Jane Green dengan cover berwarna biru. Kubaca singkat sipnosisnya pada belakang buku yang mengisahkan kehidupan menyedihkan seorang perempuan Inggris karena memiliki penampilan yang mengerikan—menurut sang tokoh. Aku merasa tersentil karena kisahnya mirip denganku.

"Buku yang bagus, aku pernah membacanya." Aku terkesiap ketika suara bariton mengalun begitu rendah ke pendengaranku. Badanku memutar cepat ke sumber suara dan lebih terkejut lagi menghadap sosok yang mengajakku bicara.

Lose You To Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang