Wanikano - II

3 1 0
                                    

Gerimis mulai turun dengan lembut, membasahi jalanan yang telah ramai oleh langkah-langkah kaki dan hiruk-pikuk aktivitas sehari-hari. Tengah malam telah tiba, dan seluruh tempat telah meredup. Jendela-jendela kota kumuh ini tertutup rapat, dan hanya cahaya samar dari lampu-lampu tepi jalan yang menyinari setiap sudut gelap.

Di tengah sepinya kota yang terkesan telah ditinggalkan, ada satu-satunya tempat yang masih hidup: tavern. Cahaya kuning keemasan menerangi pintu masuk, dan suara gemerincing gelas dan tawa riang memecah keheningan malam. Di dalam tavern, sekelompok orang masih menikmati sisa-sisa kehidupan malam, berusaha melupakan kepenatan mereka.

Haru, yang telah menunggu dalam kesepiannya di pojokan, merasakan kelelahan merayap ke seluruh tubuhnya. Meski badannya lesu dan kaku, tekadnya untuk menunggu pergerakan Kenji tetap kuat. Sementara itu, di tengah keramaian di tavern, Kenji menjadi pusat perhatian. Adu panco yang terus berlangsung membuatnya menjadi tokoh yang memikat banyak perhatian. Kemenangan Kenji yang berkali-kali membuatnya semakin dihormati, dan ia tak menyadari bahwa di sudut yang teduh, mata Haru terus memperhatikannya dengan penuh konsentrasi.

Kenji, setelah memenangkan adu panco berulang kali, merayakan kemenangannya dengan minuman keras. Gelas-gelas berisi sake bertumpuk di depannya, dan ia menuangkan minuman itu ke dalam cangkirnya dengan sembrono. Wajahnya yang semula gagah dan penuh semangat kini mulai mencerminkan efek mabuk berat.

Tak lama setelah merayakan kemenangan dengan minuman keras, Kenji merasakan seorang yang berbisik di telinganya. Meskipun mabuk berat, instingnya yang waspada langsung terpicu. Matanya yang sayu tiba-tiba memfokuskan diri pada sosok yang memberinya bisikan itu. Meskipun suara itu lembut, instruksi yang diterimanya membuatnya langsung patuh, dan seketika ia meninggalkan meja dan bergerak menuju pintu keluar.

Kejanggalan terasa di udara, dan Haru yang masih memperhatikan dari kejauhan mencium aroma ketidakberesan. Inilah saat yang dinantikan Haru. Dengan langkah yang ringan dan hati-hati, Haru menyusuri langkah Kenji menuju pintu keluar tavern.

Efek gerimis memberikan sentuhan misterius pada malam yang gelap gulita, dengan kabut tebal melingkupi sekitar, membuat tempat itu tampak semakin suram karena kurangnya pencahayaan. Haru, menyadari bahwa situasi semakin serius, mengambil keputusan untuk mempersiapkan diri. Dengan gerakan lincah, ia ini membuka jubahnya, memperlihatkan armor tipis dan enteng yang berwarna biru cyan, memberikan kesan samar-samar di dalam kegelapan.

Di punggungnya, kain terbang melapisi senapan flintlock, senjata langka yang menjadi pilihan Haru. Flintlock ini menjadi andalannya untuk mengeliminasi lawan dengan satu kali tembakan, dalam situasi yang selalu mengunggulinya. Pada pinggangnya, tersemat wakizashi, senjata pendek yang dirancang untuk memberikan fleksibilitas dan kelincahan dalam pertarungan jarak dekat.

Wakizashi, meskipun lebih pendek daripada katana, memiliki kelebihan dalam kelincahan dan kemudahan penggunaan dalam ruang terbatas. Haru membawa kedua senjata ini tidak hanya untuk melengkapi keberadaannya dan siap menghadapi segala situasi, tetapi juga untuk mencapai fleksibilitas maksimal dalam menjalankan tugasnya, baik itu dalam situasi pemburuan yang tak terduga atau dalam pertarungan yang membutuhkan ketangkasan dan kecepatan.

Sambil mempersiapkan diri, Haru bermonolog tentang penantian panjangnya hari ini. Ia merenungkan arti di balik setiap tindakan dan pilihan yang telah diambilnya. Hari ini, penantian itu tampaknya mencapai puncaknya, dan kegelapan malam menjadi panggung bagi pertemuan yang mungkin akan mengubah jalannya kisahnya.

Ketika Haru menyadari bahwa keberadaan Kenji tidak dapat dipastikan, ia langsung beralih ke mode kewaspadaan yang maksimal. Dengan hati yang berdegup kencang, Haru bergerak dengan lincah dan bersembunyi di balik tong kayu yang tergeletak di sekitarnya, berusaha untuk tidak menonjolkan diri di titik yang mudah terlihat. Kabut tebal dan gelap gulita yang disebabkan oleh gerimis malam menambah kesan berhantu pada suasana sekitar.

Mengamati sekelilingnya dengan cermat, Haru menyadari bahwa atmosfer telah berubah drastis dari sebelumnya. Keheningan yang mencekam, diperkuat oleh ketidakhadiran siapa pun di luar sana yang luas. Langkah-langkahnya yang hati-hati melibatkan setiap indera yang dimilikinya, mencoba mengidentifikasi setiap perubahan kecil di sekitarnya.

"Apa yang sebenarnya kulakukan di sini..?" gumam Haru pada dirinya sendiri, suaranya tersapu oleh gemuruh hujan yang semakin deras.

Jantung Haru berdegup semakin kencang, dan keringat mengalir di wajahnya seiring dengan tetesan hujan yang semakin deras. Tiba-tiba, dalam aliran pikirannya, muncul sekilas memori kelam—sebuah pembantaian mengerikan yang ditujukan kepada desanya. Dalam kilas yang singkat, terbayang gambaran ketakutan, suara teriakan, dan bayangan yang meresap di dalam ingatannya.

"Apa dengan menemuinya akan membuahkan sebuah hasil?" gumam Haru, suaranya hampir terlupakan di tengah sorotan hujan yang semakin intens. Keraguan itu kembali menyergapnya, menghantui setiap langkahnya.

Haru merasa tubuhnya lemas, dan kakinya terasa melemah di tengah jalan yang tergenang air hujan. Ketakutan yang mengepungnya membuatnya merasa terjatuh ke dalam jurang kegelapan masa lalu yang kelam. Namun, di saat-saat terendahnya, ambisinya yang berkobar tiba-tiba memancar, membangkitkan semangat yang terpendam.

"Tidak.. Aku sudah sejauh ini..."

Kebangkitan dari dirinya mulai tumbuh, meskipun perlahan dan tidak terlalu berdampak secara fisik, tetapi cukup untuk memaksa dirinya untuk terus bergerak. Haru merasakan kekuatan yang tumbuh di dalam dirinya, itu adalah sebuah harapan, harapan kecil yang masih ada dalam dirinya.

Haru bergegas ke arah motel di bawah hujan lebat, dihadapkan pada pandangan yang semakin terbatas oleh gerimis malam. Dengan perasaan waspada, tangannya menggapai Wakizashi di pinggang kanannya, siap untuk menghadapi apapun yang mungkin menghalangi jalannya. Saat langkahnya semakin mendekat ke depan, perasaan dugaannya semakin menguat, dan ia menyadari keberadaan sosok yang kurang terlihat di depannya.

Itu bukanlah manusia biasa. Sosok yang kabur oleh hujan dan kabut adalah sejenis Yōkai, ras parasit otentik yang menyelimuti Fujisawa. Mereka menyerupai manusia, tetapi kehilangan akal sehat dan lebih mirip hewan buas dalam perilakunya. Keberadaan mereka di kota ini adalah ancaman bagi siapa pun yang berani melangkah di malam yang gelap.

Makhluk itu mendekati Haru dengan gerakan yang mengintimidasi, langkah-langkahnya yang ganas menciptakan suara hujan yang semakin berat menjadi latar belakang yang mencekam. Sebaliknya, Haru berusaha untuk menebak-nebak gerakan abnormalnya. 

Meskipun cahaya dari lampu-lampu jalan yang redup memperumit penglihatannya, instingnya yang tajam membuatnya bisa merasakan keberadaan ancaman yang mendekat. Adrenaline mengalir deras dalam tubuh Haru, menciptakan kegugupan dan ketegangan di udara yang terus berat. Wakizashi di tangannya bersiap untuk beraksi, dan matanya yang penuh dengan ketajaman dan keberanian menantang makhluk itu.

Ini layaknya seperti scene fastest gun in the west, siapakah yang akan menghunuskan taringnya terlebih dahulu maka dialah yang menang. Suara hujan deras membatasi jangkauan indra keduanya padahal jaraknya sangat dekat, lebih dekat dari yang Haru perkirakan dan saat Haru menyadarinya mereka sudah terlalu dekat. Yōkai itu dengan kepintaran bertarungnya langsung mengigit tangan kiri Haru, hanya untuk dihindari oleh Haru dengan gerakan yang sangat cepat. 

Dengan posisi yang efektif, Haru memanfaatkan keagresifan Yōkai dengan teknik judo, menepisnya sedikit dan dalam sekejap, penebasan pedangnya menyapu ke atas, memenggal kepala Yōkai dengan kejam, menyudahi pertarungan yang mematikan tersebut. Hujan deras semakin mengaburkan jejak-jejak kengerian malam itu, dan Haru melangkah maju dengan sebuah tujuan yang yakin.

Fujiland ChroniclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang