01. Mengejar Pelangi

1.8K 167 24
                                    

“Kamu takkan menemukan cinta yang sama dua kali, bahkan dari orang yang sama sekali pun.”

° ° °

“Apa kabar, Natha?”_________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Apa kabar, Natha?”
_________________

Berdiri di palung dunia yang asing, Natha kembali mengarang skenario palsu yang ingin dia banggakan pada semua orang. Senyuman manis di balik hati yang tega mengiris semua janji. Tawa kecil di ujung jiwa yang dirundung gelisah. Juga, tatapan hangat dari raga yang masih memenjarakan hati yang membiru.

Tepat 1.831 hari telah Natha lalui untuk membasuh air matanya. Namun, entah akan berakhir di angka berapa rasa sakit itu akan mereda. Lirih hati dalam kesunyian. Luka yang terus melintasi waktu. Setiap goresannya telah menjadi kawan untuk Natha. Bersama potongan kenangan yang tak mungkin dimiliki kembali, Natha terkadang ingin memutar waktu, saat senyuman itu dia miliki, saat tawa itu penuh dengan suka cita, dan saat tatapan itu masih dia puja.

“Natha!”

Natha menoleh. Layaknya menggapai ujung pelangi yang semakin menjauh saat dikejar, bukan wajah itu yang Natha nanti dalam hatinya. Perempuan berwajah ayu bernama Edith, rambut cokelat di atas bahu yang dipadukan dengan kulit putih yang terkesan pucat karena kedinginan, bukan figur itu yang Natha rindukan.

Lalu siapa?

“Maaf, aku lama.” Sambil mengeratkan pelukan pada coats cokelat tebal yang membalut tubuhnya, Edith melambaikan tangan, lalu berlari kecil mendekati Natha yang masih terpaku di tempat yang sama.

Semakin dekat Edith melangkah, semakin jauh rasanya hati Natha tertinggal. Pria itu menunduk, kemudian kembali memamerkan senyumannya. Dia tatap sekeliling taman sejak tadi dia pijaki. “Aku juga baru datang,” katanya.

Menyusuri di jalanan licin selepas badai tadi malam, Natha dan Edith jalan beriringan menyusuri trotoar yang masih dipenuhi putihnya salju. Kepulan asap tipis dari napas yang merindukan kehangatan pun menghiasi obrolan kecil mereka.

“Ada restoran Asia yang baru dibuka dekat kampus, mau ke sana?”

Natha menoleh, melirik sekilas wajah Edith dari samping. Harusnya, tak ada alasan bagi Natha untuk tidak menyukai Edith, perempuan manis itu adalah mahasiswi magister yang rela meninggalkan Indonesia demi mengejar cita-citanya di Canada, gadis mandiri yang penuh semangat. Sudah lebih dari satu tahun Edith menemani hari-hari Natha di sini. Namun, keramahan itu masih terasa asing untuk Natha miliki.

“Katanya, ada menu Indonesia juga.” Edith balas menatap wajah Natha sekilas. Dia tersenyum sambil mengangkat ponsel dalam genggamannya. “Dan, yang paling terpenting, harganya murah. Di sini ada pricelist-nya.”

Natha tak bisa menolak senyuman Edith. Dalam hati yang dilema sekalipun, Natha ingin melangkah maju bersama harapan indah, lalu meninggalkan semua luka yang terus berpekik dalam jeriju masa lalu. Namun, sudah habis harapan itu dia berikan pada seseorang, sekarang ke mana Natha harus mencari hati yang sudi memeluk jiwa tanpa cinta.

“Karena ramah di kantong mahasiswa, jadi hari ini aku yang traktir.”

Natha kembali tersenyum karena ucapan Edhit. “Ayo!”

Tak lama langkah mereka sampai di sebuah kedai kecil yang benar-benar menjajakan masakan Asia Tenggara. Memang didominasi makanan Malaysia, tapi di sana ada sate dan pisang goreng. Tak banyak yang mereka pesan. Karena tak seperti di negeri sendiri, rasa makanan itu cukup asing.

“Tapi, pisang gorengnya cukup enak, ya. Apalagi dingin-dingin begini, campur cokelat panas,” jelas Edith sambil melahap potongan terakhir dari makanannya.

Natha mengangguk. “Tapi lebih enak sama teh manis anget, ‘kan?”

“Iya, sih.” Edith kembali tersenyum, tapi perlahan memudar saat Natha memalingkan pandangannya. Perempuan itu menunduk, menanti kapan tatapan hangat Natha akan dia miliki, menunggu kapan hati Natha bisa dia raih, dan berharap genggaman tangan Natha akan dia rasakan.

Jika Natha terus mengejar ujung pelangi, Edith masih bersusah payah menimba air dengan ember yang bocor. Seperti itulah Edith mencintai Natha, melelahkan tapi tetap sia-sia. Entah sedalam apa kekecewaan yang Natha miliki hingga tak ada hati yang tersisa untuk orang lain.

“Gimana Indonesia?” tanya Natha.

“Waktu kemarin aku pulang, di sana musim hujan, tapi banyak yang berubah,” jelas Edith.

Natha mengulum senyuman kecil. Segalanya memang telah berubah, tapi tidak dengan hatinya. Masih ada nama yang sama di sana, masih ada harapan yang sama di sana, dan ... masih ada luka yang sama di sana. 

“Udah selesai makannya? Kalau udah, kita lanjut cari buku.” Natha melirik piring Edith yang sudah kosong. “Eh, mau nyari buku, ‘kan?” tanyanya.

Edith mengangguk. Dia tersenyum dan langsung memanggil pramusaji untuk meminta bill. Perempuan itu tersenyum canggung melihat nominal yang mereka habiskan untuk makan satu porsi sate, satu piring nasi goreng telor, dua potong pisang goreng dan dua cangkir cokelat hangat.

Natha tersenyum. Dia ambil selembar kertas itu. “Aku yang traktir,” katanya. 

Ini salah satu yang Edith suka dari Natha. Dari jiwa tanpa cinta sekali pun, pria itu selalu menunjukkan kasih sayangnya pada semua orang tanpa pamrih. Natha mungkin tidak mengizinkan orang lain menyentuh hatinya, tapi dia tetap Natha yang selalu Edith kagumi sejak pertemuan pertama mereka dalam acara sukarelawan di tengah kota Toronto, Natha yang selalu menyentuh hati orang lain di dengan perangainya.

“Janji, besok aku yang traktir,” sahut Edith.

“jangan dipikirkan.”

Kembali menyusuri trotoar jalan yang kini jauh lebih ramai dari sebelumnya, juga bersama udara yang mulai menghangat, langkah Natha dan Edith kini tertuju pada perpustakaan kota di samping kampus.

Tadi malam, Edith meminta bantuan Natha untuk mencari buku referensi, bekal tesisnya nanti. Sebagai mahasiswi beasiswa, Edith tak melupakan tugasnya untuk segera lulus dengan nilai terbaik.

“Kuliah kamu emang berapa tahun lagi?” tanya Natha.

“Kalau aku bisa cepet dan tepat waktu, tahun depan harusnya selesai. Tapi, karena aku ada ikatan dinas di sini, tetap harus kerja di sini setelah lulus. Jadi, sama aja, gak bisa pulang.”

Sambil memungut kaleng minuman yang menghalangi jalannya, Natha menghentikan langkahnya, mencari tempat sampah. “Makanya kemarin kamu pulang ke Indonesia meski beberapa hari?” tanyanya.

“Iya, karena mungkin gak tau kapan bisa pulang lagi,” jelas Edith dengan terus mengiringi langkah Natha.

Langkah itu kembali berlanjut setelah membuang kaleng minuman itu ke tempat sampah. Natha manggut-manggut setelah mendengar penjelasan Edith.

“Edhit, aku mau pulang ke Indonesia.”

Edith langsung bergeming. Di terpaku, menatap punggung Natha yang terus menjauh di depan sana. Sampai akhirnya, Natha menoleh. Senyuman pria itu mampu membuat Edith kembali melangkahkan kakinya. Dia berjalan cepat agar mampu menyamakan irama langkahnya dengan Natha.

“Nadhila gak bisa tinggal di sini,” sambung Natha.

Edhit masih bergeming. Maniknya tetap tertuju pada matik cokelat Natha yang begitu teduh memandang jauh ke depan sana. “Nadhila?” tanyanya.

“Nana, bocah kecil yang aku bawa ke sini. Sekarang, dia sudah jadi gadis remaja dan aku mulai sadar, ternyata tempat ini tidak cocok untuk Nadhila yang sempurna.” Sorot mata Natha menurun, netranya tengah merekam wajah sendu Nadhila yang selalu mengingatkannya pada wajah seseorang.

“Kapan?” tanya Edhit.

“Pekan ini,” pungkas Natha.

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

Apa kabar, Natha?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang