03. Koper Kosong

675 80 5
                                    

Apa kabar, Natha?”
_________________

Satu pohon yang berdiri kokoh di depan sana masih merindukan rindangnya dedaunan yang meneduhkan. Meski terlihat sudah kehilangan nyawanya, pohon dengan ranting hitam itu seakan tak tergoyahkan oleh angin yang terus menerjang. Kokoh sekaligus menyedihkan, percis seperti Natha.

Dengan jaket parka berwarna hitam, ditambah dengan balutan sweater rajut yang begitu tebal, Natha menembus hujan salju di bawah langit putih yang begitu membekukan kulit dan tulang. Langkahnya bersahutan dengan suara kendaraan masih berlalu lalang di jalanan licin tanpa penghujung. Tepat di bawah lampu jalan yang masih berwarna hijau, Natha menghentikan langkahnya, menunggu kapan lampu itu akan berubah warna dan mengizinkannya untuk kembali melangkah. Wajah yang memerah karena kedinginan itu mulai terlihat saat dia mengangkat kepalanya.

Natha menatap butiran salju yang terus berdatangan dari langit. Setiap butir yang menyentuh telapak tangannya membentuk petal kristal yang begitu indah bagaikan sebuah mahkota, tapi dalam hitungan detik keindahan itu kembali pergi dan hilang dari genggaman tangannya.

Tatapan Natha perlahan kembali menurun, menatap jejak kakinya sendiri yang memaku langkahnya untuk tidak beranjak sedikit pun. Ternyata, tak ada hal di dunia ini yang bisa Natha miliki selamanya, semuanya akan datang, lalu pergi. Entah siapa yang datang dan pergi, semuanya akan berakhir dengan ditinggalkan atau meninggalkan.

Hari ini adalah satu hari terakhir Natha menginjakkan kakinya di dunia yang telah lama mengurungnya selama 5 tahun, dunia yang masih terasa asing dengan harapan yang belum terwujud. Besok Natha akan meninggalkan Toronto. Dia pandangi segalanya dengan tatapan sayu, sampai akhirnya tatapannya kembali berlabuh pada pohon tanpa daun di depan sana. Suatu hari nanti, mungkin itu yang akan dia rindukan.

Sambil menutup matanya, Natha menghela napasnya begitu dalam. Hatinya terus menggumamkan sebuah keyakinan bahwa meski besar kemungkinan untuk Natha berjumpa dengannya lagi, bahkan saat tatapan mereka bertemu sekali pun, Natha yakin hatinya akan tetap baik-baik saja.

“Ayo kita bertemu lagi.”

Bukan untuk meminta kembali atau memulai semuanya dari awal, tapi agar Natha semakin yakin dengan jalan berbeda yang telah dia pilih.

° ° °

Edith mengerutkan kening saat menerima selembar kertas dari Nadhila. Riuh badai di luar sana seketika memekakkan rungu. Denting jam dinding seakan menghitung mundur tatapan Nadhila pada Edith yang masih menunggu sebuah jawaban.

Kakak pacar Kak Natha?

Hanya satu pertanyaan yang Nadhila tulisan dalam kertas kuning bergaris tipis itu. Di bawah sorot lampu rumah berwarna kuning, suasana dalam bangunan kecil itu terasa jauh lebih hangat, tapi tidak dengan tatapan Nadhila. Sorot manik hitam gadis cantik itu bagaikan hamparan salju di luar sana, kosong dan beku.

Edith tersenyum tipis. Bibir tipisnya mulai bergerak, mengecapkan setiap suku kata yang ingin dia sampaikan pada Nadhila. “Te ... man,” katanya.

We’re just friends, Nadhila.”

Nadhila tersenyum kecil sambil mengangguk. Dia kembali melipat pakaian demi pakaian, kemudian memasukkannya ke dalam koper besar. Tangan kurusnya begitu telaten melipat setiap pakaian itu. Nadhila sempat terkejut saat Natha membawa seorang perempuan bernama Edith pulang ke rumah. Dua orang itu asyik berbincang saat Nadhila larut menulis catatannya di dalam kamar.

Siapa perempuan itu dan kenapa Natha membawanya ke rumah?

Namun, labirin pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya semakin tak menemukan jawaban saat Natha memperkenalkan Edith pada Nadila.

Apa kabar, Natha?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang