06. Pohon tanpa Dendam

817 72 14
                                    

“Apa kabar, Natha?”
_________________

Pohon tak pernah menyalahkan parang yang telah memotong rantingnya. Pohon juga tidak menunggu kata maaf dari angin yang telah mengugurkan daunnya. Karena pohon tahu, menyalahkan parang dan menaruh dendam pada angin takkan membuatnya sembuh.

Luka akan tetap menjadi luka. Yang telah pergi juga takkan pernah kembali. Bersama maaf atau tidak, dengan dendam atau tidak, ranting yang dipotong tetap harus sembuh dan melahirkan daun baru yang jauh lebih indah.

Natha mengawali pagi harinya dengan senyuman. Pria itu berdiri di depan gulungan kertas tebal yang semalaman penuh dia gambar membentuk sebuah bangunan yang kokoh. Setiap garisnya membentuk pondasi kuat antara perhitungan dan perencanaan.

Rumah berlantai dua yang akan ditinggali oleh keluarga kecil yang baru menikah, itu adalah gambaran awam dari gambar buatan Natha. Melalui perusahaan pengelola jasa arsitek, Natha membuat rancangan bangunan sesuai dengan projek yang dia terima. Meski tidak sebesar saat freelance dulu, setidaknya Natha memiliki pendapatan tetap setiap bulannya tanpa harus bersusah payah mencari relasi atau klien sendiri.

Setelah lebih dari lima tahun kariernya sebagai arsitek di Indonesia vakum, Natha memang kewalahan untuk merintis kembali namanya di kalangan klien atau perusahaan-perusahan yang membutuhkan desain bangunan. Makanya, Natha memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan penyedia jasa arsitek.

Belum genap satu pekan Natha bekerja dan desain rumah itu adalah proyek pertamanya. Tadi malam rancangannya sempat ditolak, makanya Natha tak yakin gambarnya kali ini akan mendapat kesempatan. Dia menarik napasnya begitu dalam, meyakini bahwa bukan hanya gambar, tapi cepat atau lambat ranting patah miliknya juga akan sembuh.

Kalau tidak hari ini, mungkin besok atau mungkin kapan pun itu.

Dengan kemeja putih yang dipadukan dengan celana jeans panjang berwarna biru yang memarkan kaki jenjangnya, Natha berjalan ke area pantry. Di sana, sudah terhidang dua potong roti berisi selai cokelat dengan segelas susu dan semangkuk sereal.

Natha yakin, Nadhila pasti sengaja bangun lebih dulu untuk menyiapkan sarapan. Entah di mana gadis itu sekarang. Biasanya dia akan menunggu Natha untuk sarapan bersama.

Baru saja Natha akan melangkah, kedatangan Nadhila membuat Natha tertegun. Gadis itu sudah rapi dengan blouse putih tulang dengan bawahan rok selutut berwarna krem. Rambut panjangnya diikat tinggi memamerkan lehernya yang putih dan kurus. Senyumannya tak kalah dengan senyuman Natha pagi ini.

"Mau ke mana?" tanya Natha.

Meski samar terdengar, Natha masih mengerti apa yang Nadhila ucapkan. Gadis cantik itu berkata, "Bu Desi. Aku mau ke sana."

Seakan telah tumbuh daun yang baru, hari ini jauh lebih berbeda. Lembaran baru sudah siap mereka isi dengan skenario yang jauh lebih indah dari sebelumnya. Entah tokoh seperti apa yang akan mereka temui nantinya, semua kisah pasti memiliki akhir.

Pohon yang mati atau pohon yang kokoh. Natha dan Nadhila tak mau lagi berencana, apalagi membuat skenario. Keduanya hanya akan berjalan pada jalan di depan mereka saat ini. Ujung jalan seperti apa yang akan mereka temui, biarlah menjadi misteri.

Hiruk-pikuk perkotaan di pagi hari, jalanan macet dengan berbagai macam klakson kendaraan yang memekakan telinga. Asap kendaraan dengan mesra mencumbu setiap figur yang berjalan kaki di trotoar jalan.

Setelah mengantar Nadhila ke halte terdekat, Natha menyusuri pinggiran bahu jalan untuk sampai pada pangkalan ojek online di bawah flyover. Manik cokelat Natha tak henti mencocokkan flat motor yang sesuai dengan pesannya di ponsel.

"Natha!"

Bapak-bapak berjaket hijau tak jauh dari Natha berdiri, melambaikan tangannya. Natha berjalan cepat ke sana. Pria itu tersenyum sambil mengangguk samar.

"Pak Rusli?"

"Iya. Ke daerah Senayan ya, Mas?"

Natha mengangguk sambil menerima helm dari pria paruh baya itu. "Iya, Pacific Place."

Sepanjang jalan, Natha tak henti mengabsen setiap hal yang dia lewati, mulai dari gedung-gedung tinggi hingga beberapa taman yang sudah dialihfungsikan. Ternyata, Edith benar. Banyak hal yang telah berubah.

Edith?

Tak tahu pada siapa hati Natha bertanya. Dia pandangi layar ponselnya diam-diam. Jika dihitung, sudah satu pekan Edith tak memberi kabar. Biasanya, tak luput satu hari pun Edith mengirim pesan untuk sekedar menanyakan kabar Natha atau bertanya bagaimana cuaca hari ini.

Natha bukan menutup mata pada Edith, tapi apa pun yang Natha perjuangkan selalu berakhir dengan kegagalan. Cepat atau lambat, Natha yakin Edith juga akan menemukan tokoh lain untuk ceritanya, sama seperti Naza yang memilih Alby sebagai pemeran utama dalam kisahnya.

"Udah sampai, Mas."

Suara pria yang duduk di depannya mengalihkan perhatian Natha. Berjalan dengan pikiran yang berkelana ternyata mampu mempersingkat waktu.

Natha segera turun dari kendaraan beroda dua itu dan memulai harinya dengan gulungan kertas yang semoga hari ini tidak mendapat penolakan.

Semoga saja.

Di tempat lain, tepat di kamarnya, Edith tengah sibuk mempersiapkan thesis-nya. Perempuan itu tengah menyusun perencanaan untuk tahap pre-defense thesis di mana dia harus dengan mandiri menyiapkan tempat dan menentukan jadwal agar semua committee bisa hadir. Belum lagi, dia juga harus melakukan pendaftaran ke bagian sekretariat. Jangankan untuk memegang ponsel, untuk sekedar mengisi perut pun tak ada waktu rasanya.

Makanya, seminggu ini Edith jarang mengurus dirinya sendiri atau bergaul dengan orang-orang demi mempersiapkan segalanya dengan matang, termasuk hari ini dia sibuk menyiapkan draft thesis yang diharapkan tidak banyak perubahan nantinya. Harapannya, tiga bulan ke depan dia bisa segera final defense.

"Ngejar apa sih, Dith?"

Sarah yang sebetulnya hanya menyaksikan Edith jadi ikut pusing dan pening. Dia tak habis pikir dengan Edith yang begitu terburu-buru ingin menyelesaikan thesis-nya.

"Kemarin, Pak Ikbal bilang kalau aku bisa defense thesis pertengahan semester ini, ada kesempatan untuk ditempatkan di Indonesia."

Sarah ikut membantu Edith merapikan lembaran kertas di atas kasur. Dia duduk sambil menatap temannya yang begitu serius. "Dith, yakin kamu bakal balik ke Indonesia?"

Edith mengangguk. Tatapannya langsung tertuju pada koper putih di samping tempat tidur. "Iya, Sarah."

Sarah manatap koper yang sama, koper kosong milik Natha yang masih Edith jaga.

"Dith, kalau dia beneran nunggu, selama apa pun, dia pasti akan nunggu. Kalau pun enggak, gak perlu berjuang sejauh ini."

Sorot mata Edith perlahan meredup. Entah siapa yang sebenarnya tengah mengejar pelangi, tapi jika tanpa Natha rasanya Edith tak bisa.

"Masih banyak laki-laki di dunia ini, Edith!"

"Memang banyak, tapi bukan Natha."

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

Agak cukup muda sih, tapi ini adalah Natha waktu nyari ojol di bawah flyover, hihi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Agak cukup muda sih, tapi ini adalah Natha waktu nyari ojol di bawah flyover, hihi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Apa kabar, Natha?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang