04. Ketidaktahuan

537 70 5
                                    

"Apa kabar, Natha?"
_________________

"Jangan dibuka tapi."

Itu pesan yang Natha berikan setelah meninggalkan satu koper kecil untuk Edith. Ucapan itu sudah berlalu hampir dua bulan dan Edhit tetap memegang permintaan itu. Dia hanya meletakkannya di pojok kamar asrama tanpa berniat membukanya sama sekali. Namun, satu hal yang Edith yakini sekarang, setidaknya Natha memiliki alasan untuk menunggunya.

"Aku gak babis pikir, Dith! Kamu mau cabut beasiswa dan balik ke Indonesia?"

Ketenangan di perpustakaan seketika pecah saat Sarah membuka mulutnya. Namun, tak ada satu kata pun yang membalasnya, hanya suara lembaran kertas yang Edith balik di sana. Perempuan berambut pendek itu begitu tenang, membaca kata demi kata dalam buku tebal di tangannya, sebuah novel romansa kerajaan yang dibumbui dengan fantasi.

"Edith, setidaknya lulus dulu."

Sebagai teman seperjuangan, Sarah mengerti susahnya perjuangan mereka sampai di sini. Dengan berbagai macam persaingan dan persyaratan, tak sedikit yang mereka korbankan, mulai dari tenaga, waktu hingga materi.

Pengorbanan itu akan sia-sia jika mereka menyerah di tengah jalan. Bahkan, ini bukan tengah jalan, hanya satu langkah lagi untuk mereka lulus, lalu menyandang gelar magister dan mengabdi di negara ini sebagai delegasi Indonesia.

"Tenang, Sarah. Itu rencana kalau aku gagal."

"Gagal?"

Edhit mengangguk. Tatapannya akhirnya teralih. Dari deretan kata yang tercetak dalam novel romansa itu, kini Edith menatap Sarah, teman yang mungkin lebih cocok disebut penasihat kehidupan Edith.

"Targetku tahun ini lulus dan mengajukan penempatan di Indonesia."

Sarah menatap selidik wajah Edith. "Bukannya kamu orang yang sama yang tahun lalu bersikeras agar ditempatkan di Toronto setelah lulus?"

"Aku mau pulang ke Indonesia."

Sarah tak mengatakan apa-apa lagi. Setelah keheningan panjang yang menggema dalam ruangan penuh dengan buku-buku itu. Edith kembali melanjutkan kisah penuh kebohongan dalam buku di tangannya.

"Ada yang nunggu aku, Sarah."

Menunggu koper kosong, Edith menambahkan tanpa harus dia ucapkan. Dia buka kembali lembaran buku di tangannya dan sesekali membenarkan posisi kacamatanya yang kerap turun karena posisi kepalanya yang menunduk sempurna.

"Pak Natha itu?" tanya Sarah memastikan.

Sama seperti Edith, Sarah mengenal Natha sebagai pria yang selalu berdiri di setiap acara kemanusiaan, mulai dari acara pendidikan, santunan, hingga orasi yang baru-baru ini menggaungkan keadilan untuk Palestina.

Tanggal 9 Oktober, pertama kali Sarah bertemu dengan Natha. Pria itu begitu vokal mengibarkan bendera Palestina di depan kedutaan Israel bersama Edith yang berdiri di sampingnya. Sejak saat itu, Sarah tahu Edith tengah menimba air dengan ember yang pecah. Edith menaruh hati pada Natha, tapi tidak dengan Natha. Pria itu menutup hatinya begitu rapat.

"Segala sesuatu itu harus ada pengorbanan, bukan?"

Sarah tak bisa menyangkal ucapan Edith, tapi berkorban untuk hal yang sia-sia hanya meninggalkan rasa lelah. "Jangan terlalu berharap pada orang yang tidak memberikan harapan, Edith."

"Aku tau. Tapi, itu artinya Natha juga tidak memberikan harapan pada orang lain."

Sarah tertawa kecil. "Kalau dia nggak memberikan harapan ke kamu ... berarti udah ada orang lain di hatinya."

Apa kabar, Natha?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang