“Apa kabar, Natha?”
_________________Satu demi satu pakaian itu masuk ke dalam koper besar berwarna hitam. Sebagian lainnya masuk dalam koper berbeda yang jauh lebih besar. Nadhila duduk di lantai dengan telaten melipat semua pakaian yang akan dibawanya. Gadis cantik bermata almon itu tak henti menguap sambil memeriksa jam dinding di atas kepalanya. Hampir jam 11 malam.
Belum pulang juga, batinnya bergumam.
Setelah selesai dengan urusan kopernya, Nadhila berjalan ke area pantry, memeriksa kembali makanan yang sudah ditata rapi di atas meja makan yang mungil. Tak banyak sebetulnya, hanya dua mangkuk caldo verde, sup kentang yang dihaluskan dengan toping kale dan dimasak bersama minyak zaitun, garam, merica, serta bawang. Di sampingnya, juga ada dua gelas jus jeruk yang terlihat menyegarkan.
Asing bila makan sendirian, Nadhila memilih untuk menyimpan makan itu dalam lemari es agar nanti masih bisa dinikmati bersama-sama. Gadis itu kembali melangkah ke area tengah yang begitu sunyi dan dingin. Dia mematikan beberapa lampu pijar, lalu duduk di sofa, menunggu pintu rumah akan terbuka.
Di bawah sinar lampu rumah yang temaram, Nadhila menghitung ulang saat pertama kali dia dibawa ke bangunan mungil ini. Saat itu usianya baru 10 tahun, dia tak tahu untuk apa dan karena apa dibawa ke tempat ini. Bocah kecil yang polos kala itu hanya berpikir hal-hal menyenangkan di tempat baru, memimpikan harapan-harapan baru di sini.
“Sekarang, kita akan tinggal di sini, terus kita obati telinga Nana supaya sembuh,” begitu perkataan Natha 5 tahun lalu. Nadhila masih ingat betapa hangat dan lembutnya suara Natha hari itu. Senyuman dan tatapan Natha masih jelas dalam ingatan Nadhila hingga sekarang.
Tanpa sadar, hati yang sepi membuat Nadhila berkelana dalam lamunan. Jemarinya bergerak, menyusuri bekas luka di lengannya yang begitu panjang. Tak pernah dia sangka, suara hangat itu menjadi suara terakhir yang bisa dia dengar.
Sekarang, jangankan suara Natha, bahkan Nadhila tak mampu mendengar detak jantungnya sendiri.
Dalam dunia yang selalu berisik, hari-hari Nadhila hanya dipenuhi oleh wajah Natha. Tak banyak yang dia dengar dari wajah Natha, hanya kepedihan yang dibalut oleh senyuman dan tawa palsu.
Saat semua orang tertidur, saat itulah Natha menjadi dirinya sendiri. Pria itu akan duduk di depan meja kerjanya, menatap sebuah foto yang dia sembunyikan di dalam laci. Tak sedikit tangisan yang Nadhila lihat setiap malam. Namun, keesokan harinya, Natha akan kembali hidup layaknya manusia sempurna yang penuh kebahagiaan.
Sekarang, Natha akan kembali membawa Nadhila bersama harapan baru yang dia janjikan. Entahlah, harapan baru atau harapan lama yang dia rindukan. Natha hanya bilang, “Kita akan pulang ke Indonesia. Di sana, Nadhila pasti banyak ketemu orang baik.”
Nadhila menghela napasnya. Dia bersandar pada bantalan sofa hingga akhirnya tertidur pulas dengan posisi duduk sambil memeluk lututnya sendiri.
Tak berselang lama, pintu rumah terbuka. Natha pulang dengan butiran salju yang masih menempel di jaketnya. Tatapan pria itu langsung tertuju pada Nadhila yang tidur meringkuk di atas sofa.
“Kebiasaan, tidur di sini. Mana pake baju pendek.” Natha bergumam sambil membuka jaketnya. Pria itu lantas mengangkat tubuh kecil Nadhila, memindahkannya ke kamar.
Figur kurus yang tertidur di sana menghipnotis Natha. Wajah Nadhila begitu mirip dengan seseorang, senyuman canggung dan tawa kecilnya begitu sama persis. Tanpa sadar, Natha larut memandangi wajah Nadhila. Tangannya perlahan bergerak, mengusap wajah cantik itu. Dia singkirkan helaian rambut Nadhila yang menghalangi wajahnya. Sampai akhirnya, Natha kembali melihat bekas luka di pelipis gadis itu.
Pikiran Natha dibawa pada kejadian beberapa pekan lalu. Hari itu, Nadhila pulang dengan luka di sekujur tubuhnya. Namun, gadis cantik itu tak menangis sama sekali, bahkan dia tak mengatakan apa pun. Dia hanya masuk ke kamar, mengobati sendiri lukanya tanpa bergeming sedikit pun.
Sampai akhirnya, Natha menemukan sebuah video di ponsel Nadhila. Video yang berdurasi hampir satu menit itu memperlihatkan Nadhila tengah dirundung oleh beberapa anak sekelasnya. Saat itu, akhirnya Nadhila menangis. Gadis itu memohon agar Natha tidak melapor ke polisi.
Dalam note kecil yang Nadhila gunakan untuk berkomunikasi dengan Natha, gadis kecil itu menulis, “Mereka akan lebih marah.”
Setelah operasinya, kondisi pendengaran Nadhila memang sempat membaik. Namun, infeksi yang terjadi membuat Nadhila kehilangan kesadarannya beberapa hari dan berakhir dengan bangun dalam dunia yang benar-benar sunyi untuk selamanya.
Natha kira, Nadhila akan baik-baik saja, bergaul dengan teman sebayanya, dan pergi sekolah layaknya gadis seusianya. Nyatanya, tidak semua orang bisa menerima ketidaksempurnaan. Hampir tiga tahun Nadhila menyembunyikan keadaannya di sekolah dari Natha. Gadis itu tak pernah mengadu atau mengeluhkan apa pun. Nadhila yang ceria memang telah pergi saat dunianya sunyi. Dulu, Nadhila sangat suka lagu dan nyanyian. Bahkan, dia selalu bersenandung kecil setiap pagi. Sekarang, suaranya tak terdengar sama sekali.
Sebenarnya, Nadhila masih bisa berbicara, tapi dia enggan. Katanya, “Aku gak tau, suaraku terlalu keras atau enggak.” Akhirnya, hanya melalui gerak bibir Nadhila mendengar dan hanya dengan kertas kecil Nadhila bisa mengungkap isi hatinya.
Natha usap kembali wajah yang damai dalam tidur itu. Badannya perlahan merengkuh, dia kecup kening Nadhila dengan lembut penuh kasih sayang. “Mulai sekarang, gak akan ada yang jahat lagi,” gumamnya.
Setelah memastikan Nadhila tidur di bawah balutan selimut yang hangat, Natha beranjak dari kamar Nadhila. Sama seperti tubuhnya yang lelah bekerja seharian, ada jiwa lelah yang juga perlu istirahat. Natha berjalan gontai untuk pergi ke kamarnya sendiri sambil mematikan lampu dan menutup pintu kamar Nadhila.
Namun, kecupan kecil Natha malah membangunkan Nadhila. Gadis cantik itu membuka matanya, menatap langit-langit kamar yang begitu gelap. Dia usap kembali keningnya yang masih terasa hangat bekas kecupan kecil tadi.
Entah kenapa, tiba-tiba, jantungnya berdegup kencang. Ada desiran aneh dalam hatinya. Nadhila berguling sambil memeluk boneka kelinci di sampingnya. Gadis itu tengah membayangkan wajah Natha, mengingat setiap garis wajah yang selalu terlihat indah dan menenangkan. Dalam pikirannya, berputar kembali setiap kata yang pernah Natha ucapkan untuknya.
“Na, ayo makan dulu.”
“Hari ini seneng gak?”
“Kak Natha sayang sama Nadhila.”
Sekarang, Nadhila tidak ragu untuk pulang ke Indonesia. Karena di mana pun tempatnya, entah Toronto atau Indonesia, Nadhila hanya ingin bersama Natha.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
Klarifikesyen!
Nanti ada alasan kenapa Nana berubah panggilan jadi Nadhila dan kenapa Nadhila manggil Natha dengan panggilan Kakak, padahal dulunya panggil Om.Soal umur, saat Naza nikah sama Alby, umur Naza 25 tahun dan Natha umur 27 tahun. Saat pergi ke Toronto, Nadhila masih kelas 2 SD, tapi usianya udah 10 tahun. Kenapa?
Kalau baca di cerita Turun Ranjang, Nadhila ini kurang bersosialisasi dan gak mau bicara sama siapa pun karena kondisinya yang memang dari kecil udah punya gangguan pendengaran, apalagi hidup di panti asuhan. Sampai akhirnya dia ketemu Naza dan Natha. Saat itu, dia baru berani terbuka dan mau masuk sekolah. Makanya, sekolahnya telat.
Soal kondisi Nadhila, aku punya temen yang seperti Nadhila ini, adik kelas sih lebih tepatnya. Waktu sekolah dia biasa aja, maksudnya bisa mendengar dan bicara normal, gak ada gangguan sama sekali. Terus waktu akhir kelas 3 kalau gak salah, dia sakit. Aku gak tau sakit apa, tapi perlu tindakan medis khusus. Sembuh sih, tapi pendengarannya hilang.
Tahun lalu, aku ke rumah dia. Kondisinya mirip seperti Nadhila, bedanya dia masih ceria dan semangat. Cara komunikasinya hanya lihat gerak bibir kita. Masih bisa bicara, tapi pelan banget, sampai gak kedengaran sama sekali. Semoga dia selalu sehat dan bahagia. Aamiin
Segitu aja sih, hihi.
Oh ya, ada lagu rekomendasi yang cocok untuk cerita ini.Not You - Alan Walker
Tak Segampang itu - Anggi Marito
Sampai bertemu di part berikutnya 🤸
ps. Baru dua part, semoga gak bosen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa kabar, Natha?
RomansaSPIN-OFF TURUN RANJANG Natha melarikan diri dari masa lalu dengan hidup di Toronto bersama Nadhila, versi kecil dari cinta masa lalunya. Di sana, Natha bertemu dengan Edith, mahasiswi asal Indonesia yang tengah menimba ilmu. Saat Edith ingin menjadi...