05. Skenario Tanpa Tokoh

566 68 10
                                    

“Apa kabar, Natha?”
_________________

“Semua luka memang sembuh, tapi tetap ada bekasnya.”

Seakan manjadi mantra, kalimat itu terus menggema dalam rungu Natha. Hatinya mungkin sudah sembuh, tapi goresan lukanya masih ada di sana. Dia tertegun, mengingat kembali ucapan Bu Desi sebelum dia dan Nadhila pergi ke tempat ini, tempat semua anak bersorak sorai penuh kegembiraan mengikuti setiap acara perlombaan.

Tadi, Bu Desi sempat bilang, “Acaranya diselenggarakan Naza dan suaminya, Pak Alby. Setelah kalian berdua pergi, Pak Alby rajin memberikan donasi ke rumah panti ini. Beberapa anak juga beliau sekolahkan. Ada juga yang direkrut untuk bekerja di perusahaannya.”

Tadinya, Natha ragu untuk datang. Dia takut, tatapan mereka akan bertemu. Dia takut, getar hatinya belum berubah. Dia takut, bekas luka itu kembali mengukir luka baru.

Sekarang, di sanalah Natha berdiri, di tengah kerumunan, di bawah terik matahari yang menyilaukan. Dia tatap figur cantik berambut panjang yang tengah berjongkok di depan anak laki-laki.

“Bunda, sakit.” Bocah laki-laki itu merengek.

“Iya, sebentar. Ayah sama Abang lagi ambil obat dulu. Noel anak jagoan, ‘kan?”

“Iya, jagoan halus sabal.”

Natha hanya mengulum senyuman kecil. Tak lama, pria tinggi bermata sipit datang dengan kotak P3K, lalu diekori oleh bocah laki-laki yang mungkin umurnya lebih besar beberapa tahun dari bocah yang menangis tadi.

“Sini, biar ayah obati.”

“Gak mau! Noel mau sama Bunda.”

Adegan demi adegan Natha perhatikan bagaikan menyaksikan sebuah film keluarga dalam dunia utopia. Skenario itu yang sempat Natha impikan bersama Naza.

“Sayang, kalau kita punya putra, mau dikasih nama apa?” Dalam lorong waktu yang berbeda, Naza pernah menanyakan hal itu pada Natha. “Gimana kalau Noel? Naza, Natha, Nadhila, dan Noel.”

Natha kembali menyembunyikan senyumannya. Ternyata, skenario itu tetap Naza wujudkan. Hanya saja, Natha dan Nadhila masih tertinggal di masa lalu dengan skenario kosong tanpa tokoh. Entah kapan Natha memulai skenarionya sendiri. Dia takut dengan akhir cerita yang akan mematahkan hatinya lagi.

“Misi! Misi!”

Natha hampir kehilangan keseimbangan saat kerumunan orang-orang terus mendorongnya untuk menjauh. Pria itu menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari figur Nadhila yang sejak tadi hilang dari pandangannya. Namun, ketika Natha memberikan atensi pada tempat sebelumnya, adegan keluarga kecil yang berbahagia itu sudah luput dari skenarionya. Natha menatap kosong. Hatinya memang sudah tidak berdebar hebat lagi, tapi frasa ‘baik-baik saja’ sangat sulit untuk dia artikan.

Natha semakin larut mencari kata yang cocok untuk mendeskripsikan perasaannya. Hingga akhirnya, Natha merasakan seseorang menarik ujung lengan bajunya dengan bergetar. Tangan kurus berkulit putih itu sangat kontras dengan kemeja hitam yang Natha gunakan hari ini.

“Nadhila,” panggil Natha pelan.

Nadhila tersenyum kecil. Wajahnya memerah karena terik matahari. Setelah terpisah karena kerumuman orang-orang, akhirnya Nadhila menemukan punggung yang terkesan jauh lebih lebar jika dilihat dari belakang. Kemeja hitam dengan rambut sedikit gondrong yang berkilauan karena sinar matahari. Itu sosok Natha yang bisa Nadhila deskripsikan hari ini.

“Kita pulang sekarang,” ucap Natha dan langsung dijawab anggukan oleh Nadhila.

° ° °

Apa kabar, Natha?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang