Prolog.

147 18 1
                                    

"Pesanan anda, Tuan."

Dengan senyum kecil sebagai penutup, pria itu pergi setelah mengantarkan pesanan pada meja bernomor 8. Tak lupa ia ambil nomor itu untuk menyampaikan jika pesanan pada meja itu telah selesai.

Secangkir Americano coffe juga sebuah tiramisu cake temani sorenya, setelah melewati pekerjaan kantor yang begitu menguras energi juga pikiran.

Mata hitamnya tatap keluar jendela, dimana orang-orang berlalu lalang mungkin karena sekarang juga adalah jam pulang kerja jalanan begitu ramai.

"Hhhaa, rasanya lebih baik." Ucapnya setelah meneguk minuman pahit itu.

Getaran di ponselnya, buat Hyunjin pria yang tengah duduk sendiri di sudut ruangan itu menghela nafas dalam. Rasanya baru beberapa detik ia merasa damai.

Ddrrt Drrt..

"Halo, Hyun. Appa menunggu mu di rumah, jangan bilang kau lupa."

"Hm. Arraseo."

Setelah mengatakan satu kata singkat itu, Hyunjin segera beranjak. Meninggal kan makanan manis yang bahkan belum ia sentuh sedikit pun.

"Hei bersihkan meja yang disana!"

"Baik, Hyung."

Dengan tubuh terbalut celemek khas cafe itu ia pergi dari satu meja ke meja lain yang di tinggal kan pengunjung, sembari mendorong sebuah troli alat kebersihan.l

Tangannya membersihkan meja dengan lihai, senyum di bibirnya tak luntur. Mencoba seramah mungkin agar pelanggan yang ia lewati tak merasa terganggu.

Di meja terakhir ia termenung sejenak, sebelum akhirnya membuang cup coffe ke plastik setelah memisahkan isinya.

Tangannya mengambil kue itu lalu kembali mendorong troli.

"H-hyung.. Bolehkah?"

Matanya menatap ragu, ia berdiri di depan seorang Pastry Chef sembari menunjukkan kue yang ada di tangannya.

"Ini milik meja yang disana, kelihatannya masih baru." Ia tunjuk satu meja yang berada di sudut lewat jendela yang bisa terhubung ke area pelanggan.

Pria itu mengangguk, "kau bisa memakannya, mungkin pelanggan itu terburu-buru hingga tak sempat memakan nya."

Taring kecil lucu itu menyembul kala ia tersenyum, "terimakasih, Hyung."

"Sama-sama, Lici."

Setelah merapihkan alat kebersihan, Felix berjalan ke arah pintu belakang untuk menikmati tiramisu cake itu.

"Ehh, halo miloo.." Ucapnya kala melihat kucing liar yang biasa lihat.

Felix memasukkan tangannya ke saku celemek, mencari-cari dry food yang sering ia bawa.

"Nah, makan yang banyak.. Sshh gemasnya." Felix berjongkok lalu mengelus bulu-bulu halus itu.

Setelahnya nya duduk bersantai sembari melahap kue di tangannya, "Eumm.. Masitta."

Lembut juga manis yang menyapa lidahnya buat tubuh kecil itu bergerak ke kanan juga kiri dengan senang, Felix memang sudah lama bekerja di cafe ini. Namun, untuk merasakan makanannya ia tidak bisa untuk membeli. Bukan karena harganya yang mahal, namun karena ia pikir makanan enak itu bisa ia cicipi kapan saja jika nanti ia punya lebih banyak uang.

Hidup sendiri di kota, membuat ia harus pintar menghemat uang. Belum lagi urusan kuliahnya, walau dapat beasiswa ada beberapa keperluan yang harus ia bayar dengan uang.

Semenjak kematian kedua orangtuanya Felix hidup sendiri, walaupun masih ada keluarga dari pihak sang Ayah di Sydney. Ia tak ingin meninggalkan tempat kelahirannya.

Setelah menghabiskan makanan manis itu Felix berdiri menepuk ringan celananya, "shift ku sudah selesai, sampai bertemu lagi nanti milo."

Celemek ia gantung di tempat sediakala, Felix ambil tasnya di dalam loker.

"Hyung, aku pulang." Felix melambai kecil sebelum keluar dari sana.

"Hati-hati, bocah."

Bukan pamit yang benar-benar mengantarkan nya pulang, Felix harus pergi ke tempat part time nya yang lain.

Kapaan semua ini akan berakhir? Benaknya resah.

Papa, Daddy. Lici rindu sekali.

Nextt?? Please support me🤍🤍🫂

LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang