Reality Has No Clear Answers

77 9 1
                                    

Ningning menerima uluran tangan kecil itu. Menggenggamnya ringan, lantas melepasnya lagi sebelum membentuk tautan yang sempurna.

"Ningning."

Seseorang bernama Chenle itu berdecih. "Aku tahu."

"Apa yang ku katakan soal sopan santun!"

Peringatan tegas dari bibir Jay membuat Chenle memutar matanya. Badan pendeknya berputar menatap arah samping. Seakan menghindari menjadi bagian dari dua orang berbeda kelamin.

"Berdirilah! Biar aku antar kamu pulang."

Ningning berdiri. Matanya menelisik sosok Chenle yang masih enggan berhadapan dengannya.

"Sebelumnya, tidak ada, kah, yang ingin kalian jelaskan padaku?"

Jay yang hendak melangkah lantas berhenti. Kembali dia alihkan atensinya pada gadis kupu-kupu itu. Alisnya naik setengah. Tangan kanannya masuk sempurna dalam saku celana kain yang ia kenakan.

Belum sempat Jay berkata-kata, Chenle justru memotongnya. "Bodoh! Kau ingin kita membicarakannya di depan umum?"

Hidung Ningning berkerut. Bibirnya mengerucut. Tanda bahwa dia kembali dibuat kesal dengan ucapan pedas dari mulut Chenle yang seperti tidak pernah diajari sopan santun.

"Sudahlah." Jay menengahi. "Ning, kita harus pulang dulu."

"Pulang kemana?"

Kali ini, Ningning menolak perintah Jay. Walau Ningning pernah berkata bahwa dia tidak pernah bisa menolak apapun yang keluar dari bibir lelaki itu, dia kini berusaha berpegang pada opininya.

"Aku tidak punya rumah."

"Papa mu menunggu." Chenle berkata malas.

"Aku tidak punya orang tua. Aku tidak punya rumah." Ningning keras kepala.

"Seseorang yang berkata padaku tentang 'mengatakan hal-hal buruk tentang orang tua', kini sedang termakan omongannya sendiri."

Jay menatap tajam Chenle. Sedangkan orang yang dia tatap justru sedang tersenyum kecut dan menunduk sambil memainkan kakinya.

"Aku tidak bilang kamu punya rumah. Kita pulang ke tempat kamu pertama kali bangun."

"Jelas-jelas itu rumahnya."

"Diamlah, Chenle!" Jay berperang dengan kesabarannya yang mulai menipis. "Jangan memperkeruh suasana!"

Bibir Chenle mencebik seketika. Meraih salah satu ekor rambutnya dan memutar-mutarnya perlahan.

"Ningning. Ikuti saja kata-kataku. Lagipula kamu tidak akan mau seharian di sini."

Mata Ningning berkedip cepat. Tersadar dari realita bahwa kamar rumah asing itu sejuta kali lebih baik dibandingkan harus tidur di trotoar jalan.

Lantas, Ningning beranjak dari sana. Berjalan dengan langkah lebar mendahului dua orang yang masih sibuk terkejut karena ditinggalkan begitu saja.

***

Mereka memutuskan berkumpul di balkon kamar Ningning tepat saat hari gelap. Ketika semua penghuni rumah sudah tertidur lelap dan para pelayan tak lagi beraktifitas. Menghindari adanya orang lain yang ikut mendengar percakapan mereka.

 Menghindari adanya orang lain yang ikut mendengar percakapan mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Illusion || JayNingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang