Ningning menunduk. Sudah lima belas menit sejak dirinya sadar. Membisu. Tidak mampu menjawab apapun.
"Kamu sungguh tidak ingat apapun?" Chenle mengulang pertanyaannya. Dia tidak berniat memojokkan Ningning. Hanya ingin memastikan. Namun suaranya justru terdengar menekan.
"Sudahlah, Chenle. Dia baru bangun. Kondisinya belum stabil." Jay berusaha menengahi.
Chenle menggeleng. "Tapi dia baru saja bangun dari pingsan."
"Lalu apa?" Ningning menyela. Kepalanya sakit tiada terkira. "Memangnya kenapa kalau aku baru bangun? Apa itu akan mengubah sesuatu?"
"Kamu lupa ingatan setelah pingsan, itu artinya ingatanmu akan kembali setelah pingsan juga, kan?" Chenle tidak yakin, tapi seperti itu yang dia tahu.
Jay memijat pelipis. "Kau terlalu banyak menonton film manusia."
Ningning bangkit. Dia berputar menghadap ke arah Jay. Memegang bahu lelaki itu dengan kedua tangannya.
"Di mana ibu ku?"
Jay menggeleng. "Aku tidak tahu."
Ningning menatap kedua mata itu dalam. Mencari sesuatu di sana yang tidak mampu dia temukan.
"Tidak mungkin. Ibuku-"
Setetes air mengalir dari kedua matanya. Ningning frustasi. Dia terisak pelan. Tidak tahu harus bagaimana. Bayangan ibunya kembali menghantui pikiran. Tapi dia buta akan petunjuk apapun yang datang.
Ningning merasa seperti keledai bodoh yang tersesat.
"Ibuku... Apakah ibuku memang mati seperti itu?"
"Kamu... ingat kejadian kemarin?" Chenle menyela. Pupil matanya membesar. Menyadari hal baru yang membuatnya terkejut.
Ningning mengangguk. Dia ingat dengan jelas bagaimana darah mengalir dari tubuh ibunya. Bagaimana ruangan yang gelap itu menerima cahaya matahari dan membuat tubuh sang ibu bagai tokoh utama dalam teater.
Ningning ingat semuanya. Seperti sebuah lukisan yang utuh.
"Kamu sangat menyayangi ibumu, ya?" Tatapan Chenle menerawang jauh.
Ningning membeku. Dia tidak tahu. Dia hanya merasa bahwa dirinya harus merasa khawatir. Tapi dia sendiri tidak mengerti apakah dia menyayangi ibunya atau tidak.
Semuanya masih terlalu samar. Perasaannya. Semuanya. Ningning tidak berani untuk menjadi terlalu yakin. Terasa sangat menakutkan.
"Di mana kita?" Mengalihkan pembicaraan adalah salah satu cara curang untuk menyelamatkan diri. Namun sayangnya hanya cara itu yang Ningning miliki.
Jay menggeleng. "Kamu tahu aku tidak bisa memberitahumu."
Ningning mendesah pelan. Hatinya menjadi resah. Dia menghela napas dua kali. Mencoba menenangkan diri.
"Bagian mana di otakmu yang menampilkan danau?"
Ningning menggeleng. Dia tidak tahu.
Ningning berputar. Matanya menelisik. Menyusuri tiap sudut danau ber air tenang itu dengan seksama. Air dalam danau itu jernih sekali. Tidak ada kotoran maupun tumbuhan tumbuh di permukaannya.
Permukaan air danau itu mengkilat memantulkan sinaran matahari. Berkelip-kelip bak sebuah permata mahal.
Rumput yang mereka injak terasa sedikit basah. Pagi ini sepertinya embun jatuh terlalu banyak.
Ningning berjalan menjauh. Mendekati pinggir danau. Kakinya melangkah dengan hati-hati. Meski mengenakan sandal, dia tidak suka tekstur kasar rumput. Kakinya tertusuk-tusuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusion || JayNing
Fiksi PenggemarNiat baik bukanlah hal baik ketika kau melakukannya melalui cara yang buruk. . . . . Sebuah dosa besar membuat Ningning harus terjebak dalam penjara ilusi. Tanpa sepotong pun ingatan yang tersisa, Ningning terpaksa menjalani kehidupan membingungkan...