"Jay!"
Ningning tersentak. Napasnya terengah-engah. Keringat dingin turun membasahi dahi. Dia baru saja melewati mimpi paling buruk yang pernah ia lalui.
Ningning mengusap wajah. Dalam mimpinya, dia bertemu dengan Jay. Lelaki itu dilumuri oleh semacam lumpur hitam. Berdiri membelakanginya dengan punggung penuh darah. Namun anehnya, Ningning sama sekali tidak dapat bergerak di sana. Dia hanya mampu menangis dan meraung. Memanggil-manggil nama Jay dengan suara yang semakin parau.
Ningning menggeleng cepat. Dia harus membersihkan pikirannya segera.
Namun, belum sempat Ningning mengalihkan pikiran kepada sesuatu yang penting, dia tersadar dengan segera. Matanya mulai menelisik takut. Dia berada di kamar. Dia sama sekali tidak tahu ini kamar siapa dan di mana.
Seluruh badannya berada di atas kasur empuk berukuran 183 x 203 cm. Dengan seprei merah muda dan selimut berwarna senada membalut tubuhnya. Dia terduduk di sana. Mulai memperhatikan dekorasi kamar yang tidak pantas disebut sebagai kamar. Seluruh sisi tembok dilapisi dengan walpaper berpola bunga mawar yang juga berwarna merah muda. Di ujung ruangan terdapat vas bunga raksasa yang terbuat dari keramik mengkilap dengan sentuhan bercak emas.
Ningning menggerakkan kakinya menuruni kasur. Dia mendapati kakinya menggantung beberapa sentimeter dari lantai yang ternyata di lapisi oleh karpet bludru berwarna merah muda. Kasur ini ternyata cukup tinggi. Ningning bahkan harus berusaha lebih untuk menyentuhkan telapak kakinya pada permukaan karpet.
Tepat saat kakinya menyentuh karpet, rasa halus dan lembut menyerangnya. Ningning berpikir dalam batinnya, kakinya menghentak-hentak karpet lembut itu beberapa kali. Karpet ini dapat bersaing dengan kasur. Bahkan, jika Ningning dapat hidup di sini selamanya, dia bersedia jika harus tidur di atas karpet bludru ini tanpa alas apapun lagi dan tanpa selimut yang membalut tubuh.
Suara ketukan yang berasal dari arah pintu kayu berukuran raksasa itu menghentikan Ningning. Gadis itu berjalan menghapiri pintu. Namun perjalanan ini lebih terasa seperti perjalanan menyusuri aula pertemuan besar dibandingkan berjalan dalam kamar.
"Astaga! Apa yang Nona pakai?"
Raut muka terkejut seorang ibu muda dengan pakaian khas pelayan serba putih menyambut Ningning dari balik pintu. Secara otomatis, Ningning melirik tubuhnya sendiri. Penampilannya berantakan. Celana pendek yang bahkan tidak mencapai pertengahan paha dan kaus berwarna keabuan membungkus tubuhnya. Ditambah dengan pasir pantai kering yang menempel pada beberapa bagian baik di kulit maupun di pakaiannya.
Ningning menautkan alis. Menebak-nebak apa yang sudah dia lalui kemarin yang sayangnya, semakin dia ingat-ingat, membuat kepalanya menjadi sakit dan semakin sakit.
Tapi justru ada satu hal lain yang mengganggunya.
"Nona?" tanya Ningning pada wanita yang berusia sekitar dua puluh lima tahun di hadapannya.
"Maafkan hamba, Nona." Wanita itu menundukkan separuh badannya membentuk sudut sembilan puluh derajat. "Seharusnya hamba lebih memperhatikan penampilan Nona."
Semua yang terjadi ini membuat kepala Ningning semakin berputar dengan ribut. Dia mengira jika dirinya akan dimarahi. Namun bukannya marah, wanita ini justru meminta maaf akan apa yang bukan menjadi kesalahannya. Semua ini membuat kepala Ningning terasa mendidih. Apa-apaan ini semua. Kamar mewah, panggilan 'Nona', dan wanita yang menunduk di hadapannya ini sungguh membuatnya muak. Ayolah, dia tidak sedang bermain peran menjadi seorang putri yang tinggal di istana.
Belum sempat Ningning bersumpah serapah, wanita di hadapannya itu kini berdiri tegap. Dia melangkah ke dalam kamar dan terus berjalan menuju sebuah pintu di dekat jendela besar yang mengarah langsung pada balkon. "Ayo, Nona. Tuan besar sudah menunggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Illusion || JayNing
FanficNiat baik bukanlah hal baik ketika kau melakukannya melalui cara yang buruk. . . . . Sebuah dosa besar membuat Ningning harus terjebak dalam penjara ilusi. Tanpa sepotong pun ingatan yang tersisa, Ningning terpaksa menjalani kehidupan membingungkan...