Prolog

68 6 0
                                    


Hola,

Selamat membaca man temann, semoga sukaa 🐡

∞∞

Sekolah Menengah Pertama Negeri Satu Atap, lima belas Juli tahun dua ribu sembilan belasーPukul sepuluh lewat lima puluh tujuh menit. Apel serta permainan yang diberikan Kakak-kakak OSIS untuk anggota MPLS telah selesai. Trionoーselaku pengurus inti OSISーmeng-instruksi seluruh anggota MPLS kelompok satu sampai kelompok delapan memasuki kelas sementara yang sudah diumumkan. Seperti Kelompok satu disatukan dengan Kelompok dua, Kelompok tiga dengan Kelompok empat, begitu seterusnya.

"Silakan langsung kumpulkan makanan yang kemarin saya share di grup WhatsApp, di depan, ya."

"Ashiyap, teteh geulis." sahut lelaki yang duduk di barisan kiri paling depan.

"Ini total muridnya tiga puluh tujuh, ya? Saya hitung dulu, ya. Takutnya ada yang bohong bilang udah ngumpulin tahunya belum, Hadeh!" ucap Kak Siti tertawa.

"Baik, ada tiga puluh tujuh. Untuk ketua kelompok tujuh sama delapan, silahkan maju." perintah Kak Siti.

"Asik, jekeur urang kabeh dahareun ieu," ucap Ketua kelompok tujuh sembari berjalan dan membagikan kantong plastik yang ia genggam untuk anggotanya.

"Sesa hiji," kata lelaki itu saat ia tiba di kursi terakhir.

"Kasih ke sebelah gue aja," jawab gadis di kursi sebelah kanan.

Lelaki itu memberikan kantong plastiknya pada gadis yang duduk di sebelah kiri. Ia merasa tidak enak pada gadis di sebelah kanan, pasalnya, tadi pengurus OSIS mengatakan 'makanannya cukup tiga puluh tujuh, ya.' tetapi mengapa hanya sisa satu kantong plastik yang tergenggam di tangannya?

"Ngapain masih disini?" tanya gadis yang duduk di sebelah kiri.

"Hampura, Upi." jawab lelaki itu lalu melenggang pergi.

"Kalo tau gini, aku nggak beli cemilan yang ukurannya besar," monolog Zoya, kemudian melipat tangannya pada tumpuan meja lalu menaruh kepalanya diatas tangannya.

"Maneh..."

Gadis itu mengintip sedikit, samar-samar ia melihat wajahnya. Dari suaranya, ia sangat tahu bila ini suara lelaki. Ia ingin membuka mata sepenuhnya. Namun, ia urungkan. Karena siapa tahu, laki-laki itu memanggil orang yang berada di depannya? Atau di sampingnya?

Lelaki itu menepuk pelan bahu gadis itu dua kali, lalu menurunkan kepalanya sedikit agar jaraknya lebih dekat. "Alora?" panggilnya lembut.

Gadis itu membuka matanya saat nama awalannya dipanggil, ia terkejut dan langsung menjauhkan posisinya agar tidak terlalu dekat dengan lelaki yang memanggilnya.

Lelaki itu meminta maaf, lalu memberikan kantong plastik berwarna hitam berisi snack-snack pada Alora.

"Jekeur maneh,"

Mengerti bahwa gadis di depannya ini butuh penjelasan, karena tatapannya seperti bertanya punya siapa? "Boga urang. Jekeur maneh weh, hajeun,"

"Terus, lo dapat?"

Lelaki itu nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Urang enggeus dahar di imah," kata lelaki itu.

Alora melirik jam tangannya di pergelangan tangan sebelah kiri, jam di tangannya sudah menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh sembilan menit, sedangkan waktu sarapan dirumah pasti sekitar pukul enam pagi, kan?

“Buat lo aja,” Sejujurnya Alora ingin menangis karena tidak terbagi bingkisan. Ia sudah menyiapkan segala cerita kedumelannya hari ini pada Bundanya setelah pulang melakukan MPLS.

“Ah aing mah gampang. Tinggal minta snacknya lagi ke Teteh Osis. Ieu cokot, weh.” balas lelaki itu sambil menyodorkan kembali plastik hitam itu pada Alora. Kemudian Alora menerimanya. Meskipun isinya tidak sebesar yang ia beli, tetapi cukup untuk mengisi perutnya yang sedari tadi sudah berbunyi. Tidak lupa Alora mengucapkan terima kasih pada lelaki itu.

Alora menoleh pada teman sebangkunya, Luthfi. “Maaf, mau nanya. Kok aku dipanggil maneh sama dia, Lut?” tanyanya mengernyitkan dahi. Kemudian ia menunjuk name tag nya. “Kan disini tertulis Alora Mazoya Candramalina. Nggak ada maneh nya,”

Luthfi tertawa, gemas sekali teman barunya ini. “Maneh itu artinya kamu, Zoy,”

Lelaki disamping Zoya yang belum jauh pergi dari tempat Zoya, terkekeh mendengar pertanyaan Zoya.

Luhtfi menatap lelaki yang masih berdiri disamping bangku Zoya, “Sia keur naon masih diditu anying? Seuri deui, kade kesambet sia,” peringat Luthfi becanda.

Lelaki itu terkekeh sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Maneh,” panggilnya lagi pada Zoya.

Zoya tidak membalasnya namun menatap lelaki itu dengan tatapan seperti kenapa?

Sia wani jeung aing?" tantang lelaki itu bercanda.

"Maaf?”

Sia wani jeung aing teu?” ulangnya.

Sejujurnya Zoya tidak mengerti apa yang diomongin lelaki di depannya ini. Ia mengerti bahasa Sunda, namun hanya basicnya saja. Bukan keseluruhan.

Zoya menatap lelaki itu dari ujung bawah kaki sampai atas kepala.

"Kunaon nyeleukeun urang kos kitu? Urang kasep nya?” kata lelaki itu sembari memainkan rambutnya ke belakang.
 
Zoya berdecak geli, kemudian ia mengedarkan pandangannya, berusaha mencari lelaki yang menurutnya lebih tampan dari lelaki di depannya ini. "Tuh. cakepan dia." lanjut Zoya menunjuk lelaki yang berada di pojok kanan belakang sendiri. Dan lelaki itu terlihat paling pendiam di antara teman sekelas MPLS nya.

Lelaki itu dan Luthfi sontak menoleh ke arah yang Zoya tunjuk. Mereka tertawa.

"Babaturan sebangku urang, eta! Urang bejakeun mun maneh bogoheun ah!" ucap lelaki itu lalu melenggang pergi.

"Apa kata dia?" tanya Zoya kurang mengerti Bahasa Sunda.

"Teman sebangku aku, itu. Aku bilangin kalau kamu suka." jawab Luthfi men-translate yang diucapkan lelaki tadi.

∞∞∞

Semoga suka

🐡🖤

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang