-SATU-

578 40 0
                                    

Dengan gerakan pelan, Danesh memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangan dan mendapati jarum pendeknya menunjuk angka sembilan. Satu jam lebih lambat dari waktu biasanya ia sampai rumah di hari Rabu. Meski begitu, Danesh merasa sangat lega karena tidak sampai jatuh pingsan di perjalanan pulang tadi. Tubuhnya terasa lemas semenjak berada di tempat les dan kini kapala cowok itu berdenyut nyeri.

Melepas tas di punggung dan meletakkannya di meja teras. Dia kemudian duduk bersandar di salah satu kursi. Sebelah tangannya terangkat untuk memijat pelipis, berharap pusing yang menyiksa itu mereda.

"Nesh!" panggilan dari suara yang familiar itu terpaksa membangunkannya yang hampir terlelap dalam tidur. Danesh dapat menangkap raut penuh kekhawatiran di wajah sang kakak ketika laki-laki itu menghampirinya.

"Ayo ke dalem, istirahat."

"Bentar," Danesh menyahut lirih. Tenaganya hilang entah kemana.

Tak mendapat protes dari sang kakak, Danesh lalu memejamkan mata kembali. Kepalanya benar-benar terasa sakit. Bibirnya yang kering sesekali meringis ketika denyut menyakitkan itu menghantam lagi. Mungkin sekarang wajah tirus itu sudah pucat pasi.

Lima menit berlalu tetapi tak ada perubahan baik yang ia rasakan. Malahan tubuh itu kian terasa tak karuan karena sapuan angin malam yang begitu dingin. Dia harus segera beristirahat jika tak mau tubuhnya semakin drop dan berakhir di rumah sakit.

Danesh sebenarnya benci saat-saat dirinya kembali kambuh seperti ini. Sebab mau selama apapun penyakit itu bersarang, rasa-rasanya ia tak akan pernah terbiasa dengan sakitnya. Ia bahkan beberapa kali pernah berpikir untuk menyerah. Namun hal itu ia urungkan ketika mengingat bagaimana perjuangan sang kakak untuk kesembuhannya.

"Kuat jalan nggak?" pertanyaan itu memecah hening di antara dua kakak-beradik itu setelah beberapa lama. Danesh membuka matanya yang semula memejam dengan gerakan lambat. Dia mengerti sang kakak menyuruhnya untuk segera masuk ke dalam rumah.

"K-kuat, tapi bantuin," suaranya masih terdengar lemah.

Danesh dapat mendengar helaan napas prihatin dari kakaknya, Mahesa, saat laki-laki itu menyambar tas di meja dan menyampirkan ke bahu. Lalu membantunya berjalan dengan memegangi sebelah lengannya yang kurus. Perasaan bersalah memenuhi dada Danesh, ia kembali merepotkan kakaknya.

"Besok libur dulu sekolahnya," pinta Mahesa.

Setelah sedikit bersih-bersih dan mengganti pakaiannya, Danesh berbaring dengan tubuh terbungkus selimut. Mahesa duduk bersila di sisi lain kasur dengan mangkok bubur yang isinya tinggal setengah karena Danesh makan.

"Mana bisa gitu, Kak. Nanti kalo aku makin bodoh gimana?" Kendati kalimatnya panjang, tapi Danesh mengatakannya dengan suara yang timbul tenggelam. Hatinya kembali berdenyut sakit ketika mengingat sang ayah pernah mengatai dirinya anak bodoh karena nilai-nilai akademik jauh dari kata sempurna.

Kekhawatiran nampakknya belum mau pergi dari wajah Mahesa. "Libur sehari nggak bikin kamu bodoh, kok. Nanti kakak yang bilang ke gurumu. Kalo besok tetep maksa berangkat kakak nggak yakin kamu bakal kuat. Jadi istirahat dulu. Nurut, Nesh."

"Nggak usah diperjelas juga kalau aku ini lemah," sahut Danesh yang akan lebih sensitif dengan hal yang menyangkut kondisi kesehatan tubuhnya. "Besok aku tetep mau sekolah, Kak. Tolong jangan larang," lanjutnya.

Danesh tak ingin Mahesa kembali kena marah oleh pihak kantor karena mendadak izin tidak berangkat kerja hanya untuk menjaganya seharian. Sayang juga uang yang kakaknya itu keluarkan untuk biaya sekolah jika ia keseringan tak masuk kelas begini.

Kondisi kesehatannya memang lebih rentan setelah dokter mendiagnosisnya menderita Leukimia Defisiensi Besi (ADB) beberapa tahun lalu. Tubuhnya tak mampu menyerap zat besi dengan sempurna. Saat tubuhnya kekurangan zat besi, produksi hemoglobin dalam darah merah menjadi menurun. Pasokan oksigen di dalam darah menipis dan tubuhnya tidak mendapat oksigen yang cukup. Hal itu menyebabkan ia lemas dan mudah lelah jika beraktivitas berlebihan. Kepalanya juga sering mendadak pusing.

Danesh Argani  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang