-TIGA-

281 31 3
                                    


Selamat membaca!

Di hari minggu pagi, Danesh terlihat sudah menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah. Suasana hatinya sedang cukup baik. Tubuhnya juga tak menunjukkan tanda akan kambuh.

Sambil tersenyum kecil dia menata setumpuk pakaian yang telah terlipat dan tersetrika ke dalam lemari.

Di dalam kamar, peliharaan barunya itu berlarian kesana kemari. Sesekali makhluk mungil itu akan menempelkan tubuhnya ke kaki Danesh. Yang membuat Danesh dapat merasakan bagaimana lembutnya bulu abu-abu si kucing. Hewan itu begitu aktif, sampai-sampai hampir terinjak kaki Danesh yang sedang melangkah.

Danesh belum memberinya nama, dia payah sekali soal menamai sesuatu. Adakah yang mau berbaik hati memberinya saran? Teman-teman?

Jadwal ujian akhir semester pertama kurang dari sepekan. Dia harus belajar dengan lebih serius agar nilai-nilainya tak mengecewakan. Dia ingin Mahesa merasa puas dengan hasil belajarnya selama di kelas 10 ini. Dia ingin benar-benar membuktikan ucapan papa kepadanya adalah kekeliruan. Ia akan menjadi anak pintar dan membanggakan dengan nilai yang sempurna.

Kemarin setelah Mahesa mencurigainya menyembunyikan rahasia --yang sebenarnya memang iya--, kakaknya itu tak lagi bertanya. Mereka makan malam dalam hening. Seketika, berbagai prasangka terhadap Mahesa muncul di kepala Danesh. Namun cowok bermata legam itu kemudian memilih untuk menghiraukan pikiran buruknya saja.

"Nesh, bantu Kakak ambilin kardus di gudang, dong!" Teriakan Mahesa membuatnya segera bergegas keluar dari kamar. Meninggalkan beberapa buku yang masih terbuka itu berserak di atas meja. Juga si kucing yang nampak anteng tertidur di atas kasur.

"Iya!"

Danesh segera melakukan apa yang kakaknya perintahkan. Dia membuka pintu gudang yang tak terkunci lalu mengambil satu buah kardus berukuran sedang. Kemudian menyerahkannya pada mahesa yang sibuk dengan berbagai alat dan bahan, sedang membungkusi beberapa lukisan di ruang tengah.

Rupanya lukisan-lukisan yang dibuatnya telah laku terjual. Ya, Danesh memang menyukai melukis sejak kecil. Dulu mama yang mengajari dan memberi dukungan penuh untuknya. Namun dukungan itu telah tiada bersama kepergian perempuan terkasihnya. Beruntunglah kini masih ada Mahesa yang berdiri tegak di belakang dan mengganti mendukungnya.

Ada sepenuh rasa rindu yang perlahan menyeruak di dadanya ketika mengingat sosok sang ibu.

"Semoga Mama selalu bahagia di atas sana." batinnya menyeru tulus.

Lukisan-lukisan yang selama ini Danesh buat kebanyakan menggambarkan pemandangan alam, mulai dari pegunungan, danau, laut bahkan gunung es, dan sedikit flora & fauna. Bagi Danesh melukis adalah sesuatu yang membuatnya merasa kembali dekat dengan sang ibu. Makanya ia tak akan bisa jika harus melepaskan diri dari kanvas dan cat.

"Ada berapa yang kejual, kak?"

"Ada orang yang borong Lukisanmu tujuh sekaligus!"

"Beneran?" tanya Danesh agak tak percaya. Binar di kedua matanya berpendar indah. Kentara sekali jika adik satu-satunya Mahesa itu tengah berbahagia.

"Beneran, bangga banget kakak sama kamu, Nesh."

B-bangga?

Mendengar kata itu jantung Danesh jadi berdetak lebih cepat. Dia terdiam sesaat. Benarkah Mahesa merasa bangga padanya?

Jarang mendengar kata-kata semacam itu ternyata membuat Danesh merasa agak canggung.

"Sini aku bantuin bungkus, kak," tawarnya

"Jangan," Mahesa segera mencegahnya.
"Kamu lanjutin aja belajarnya gih, kakak bisa sendiri kok."

"Yaudah deh kalo nggak mau dibantuin, aku ke kamar lagi ya kak."

Danesh Argani  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang