-LIMA-

272 36 0
                                    

Halo, selamat membaca!

♥♥♥

Selama lima belas tahun hidupnya, Danesh tak pernah berjauhan dengan Mahesa terlalu lama. Kini, ketika ia memilih untuk mengabaikan Mahesa selama beberapa hari, perasaannya menjadi tak tenang. Diam-diam dia menantikan suara ketukan pintu kamarnya dan lirihan suara Mahesa yang beberapa hari kemarin terdengar. Rupanya, Mahesa telah menyerah untuk membujuknya dan memberi penjelasan setelah berkali-kali berakhir mendapat penolakan.

Danesh tidak pernah ingin menyakiti Mahesa, aksi mendiami kakaknya itu ia lakukan sebagai bentuk rasa kecewa yang tak lagi bisa tertoleransi. Danesh tak mungkin tega hati melihat Mahesa terluka karenanya.

Matahari sudah kembali ke peraduan kala Danesh melangkahkan kaki yang beralas sandal jepit keluar dari rumah. Terang lampu jalan menyoroti tubuhnya di sepanjang trotoar yang dilewati. Anak yang memakai baju hangat itu hendak pergi ke apotek. Obat dan vitamin miliknya habis dan perlu dibeli lagi.

Berbekal beberapa lembar uang pecahan seratus ribu, Danesh memasuki apotek yang kala itu terlihat lumayan sepi. Tanpa berlama-lama, Danesh memesan obat yang ia butuhkan ke apoteker. Dia kemudian memeriksa pesan yang baru masuk disela menunggu sang apoteker menyiapkan pesanannya.

Danesh dapat melihat pesan dari Mahesa yang muncul paling atas di laman utama perpesanan. Lalu di bawahnya ada pesan dari Liam dan juga salah satu guru lesnya.

Dibukanya pesan dari Mahesa lebih dulu.

Mahesa Putra
- Lagi di mana, Nesh?
- Cepat pulang ya?
- Kita perlu bicara. Tolong beri kakak waktu untuk menjelaskan semuanya.

Danesh membaca pesan itu tanpa berniat membalasnya. Dia ingin mendengar penjelasan Mahesa serinci-rincinya. Namun di sisi lain ia belum benar-benar siap. Dia takut bila hatinya akan semakin terluka saat mendengar penjelasan Mahesa. Dan ketika sampai di rumah nanti, mau tak mau ia harus berbicara dengan Mahesa.

Bagaimana ini?

"Silakan, kak, pesanananya." Suara mas-mas apoteker membuat Danesh buru-buru menutup ruang percakapan dengan kakaknya lalu memasukkan benda pipih itu ke dalam saku jaket.

"Makasih, mas," ucapnya sembari menerima sekantong kecil obat dan membayarnya.

Setelahnya, anak itu keluar dari apotek dengan langkah gontai. Pandangannya mengedar ke jalan raya yang masih ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Udara menjadi terasa lebih dingin saat malam semakin larut. Danesh merapatkan jaket dan mempercepat langkah, mulai tak kuat dengan dingin yang kian menusuk.

Anak itu berjalan dengan menundukkan kepala, pikirannya berkelana. Mungkin saat ini memang waktunya untuk mengakhiri masa abainya pada Mahesa. Agar masalah ini juga tak semakin berlarut-larut. Jadi, sekarang dia harus segera menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Kemungkinan bahwa Mahesa akan meninggalkan nya.

Mata yang sedari tadi memperhatikan langkah kaki tiba-tiba memburam. Diikuti oleh kepala yang terasa sakit hingga Danesh mengerutkan dahinya dalam-dalam.

Danesh berhenti sejenak guna menghilangkan pening di kepala. Bungkusan obat yang berada di tangannya ia remas dengan kuat. Sungguh, kepalanya terasa begitu sakit!

Baru saja setengah perjalanan, tapi tubuhnya sudah mulai menunjukkan gejala akan kambuh seperti ini. Lalu bagaimana caranya ia bisa sampai rumah dengan cepat? Mahesa pasti sudah menunggunya.

Dengan gerakan gugup Danesh membuka plastik putih pembungkus obat itu. Dia harus meminum obat, dan kini lagi-lagi tanpa air. Entah karena sudah terbiasa atau bagaimana, obat itu meluncur ke kerongkongannya tanpa hambatan. Danesh menghela napas lega. Kemudian melanjutkan langkahnya dengan tertatih. Sekujur tubuhnya lemas luar biasa.

Danesh Argani  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang