Selamat membaca!
Sesampainya di sekolah Danesh tak langsung masuk ke dalam kelas. Anak itu membelokkan langkah menuju kantin yang berjarak lumayan jauh dari kelasnya berada.
Dia harus segera menemui seseorang.
"Sori buat lo nunggu lama," katanya sambil mendudukkan diri di tempat yang kosong.
"Sans, gue juga belum terlalu lama kok," sahut teman Danesh yang bernama Liam. Teman karibnya semenjak berseragam putih merah hingga kini seragam mereka berubah menjadi putih abu-abu. Liam sedikit banyak tahu mengenai kehidupannya.
Danesh yang baru saja menyamankan duduknya ya terkejut ketika Liam tiba-tiba mengangkat sebelah tangannya. "Apasih?" kesalnya sembari menepis tangan yang hendak menyasar kepala. Namun tangan itu tetap berhasil menyentuh dahinya meski sebentar.
"Badan lo anget. Muka lo juga pucet banget. Ngapain sekolah coba kalau lagi sakit begini?"
"Ini juga gara-gara lo tau!" serunya.
"Kok gue sih?"
"Gue mau mastiin apa yang lo bilang semalem."
"Bentar-bentar! Gue pesenin burjo dulu buat lo baru gue jelasin! Muka mayat lo ga nahan!"
Danesh belum sempat melayangkan penolakan ketika Liam sudah bangkit dari duduknya dan berlalu pergi. Apa katanya tadi? Muka mayat? Liam memang kadang suka berlebihan.
Membelikan bubur kacang ijo sepertinya memang sudah menjadi kebiasaan Liam ketika Danesh sedang sakit. Tah tahu sejak kapan hal itu bermula. Diam-diam Danesh menghembuskan napasnya. Bersyukur sekali mempunyai teman sepertu Liam, yang perhatian dan pengertian meski kadang mulutnya minta dilakban. Saking ceplas-ceplosnya.
Rasa penasarannya begitu besar atas apa yang Liam katakan semalam. Danesh jadi makin Overthinking jika Liam tak segera memberinya konfirmasi.
"Nih makan." Liam datang bersama semangkuk bubur yang dibelinya. Dia lalu meletakkan bubur itu di hadapan Danesh.
"Habisin biar badan lo agak berisi," katanya.
"Gue nggak sekurus itu kali!" sungut Danesh yang membuat Liam tertawa. Merasa lucu melihat wajah Danesh ketika marah. Jarang-jarang soalnya.
"Iya nggak kurus kok, cuman kerempeng!" ucap Liam diakhiri kekehan. Yang tentu saja membuat Danesh tambah kesal. Danesh tak sekurus itu kok. Jangan percaya Liam. Ingat, Liam itu suka melebihkan sesuatu.
"Serah!"
Tak lagi menghiraukan Liam, Danesh mulai menyuapkan sesendok bubur ke dalam mulut. Lidahnya merasakan rasa manis yang begitu nikmat. Dia sangat bersyukur masih bisa menikmati makanan kesukaanya itu. Karena selama sakit ia memang tak boleh sembarangan memakan sesuatu.
"Yang lo bilang itu bener, Li? Lo liat Papa gue dimana?" Akhirnya pertanyaan yang sedari tadi ia tahan keluar dari mulut. Burjo hangat di meja terabaikan. Seketika suasana di antara mereka berubah serius.
Alasannya pulang terlambat semalam tak lain karena mendapat pesan singkat dari Liam yang mengatakan anak itu melihat sang papa. Saking khawatirnya membayangkan bila bertemu kembali dengan papa, dia sampai melamun di halte beberapa lama. Memikirkan bagaimana cara menghindar saat papa datang hingga lupa malam semakin larut.
Perasaannya berubah cemas ketika mengetahui Papa berada di sekitarnya. Sejak semalam Danesh merasa hidupnya tak lagi tenang. Bagaimana jika Mahesa tau bahwa Papa berada di kota yang sama dengan mereka?
"Gue nggak sengaja liat dia di supermarket deket rumah. Gue yakin banget sih kalo itu Papa lo, gue masih inget banget wajahnya. Kemarin dia sendirian, bawa kantong belanjaan terus jalan ke arah Apart di seberang jalan. Gue curiganya papa lo tinggal di sana." Penjelasan Liam membuat ketakutannya membesar. Apa yang Papa lakukan disini? Setelah bertahun-tahun lamanya kenapa orang itu muncul kembali?
KAMU SEDANG MEMBACA
Danesh Argani
Fiksi Remaja[tidak dilanjutkan 🙏🏻] Danesh Argani tengah mengupayakan segala hal agar terlihat sempurna. Karena yang ia tahu, seseorang yang sempurna tak akan ditinggalkan oleh orang-orang di sekitarnya. Namun siapa sangka, di tengah-tengah kegigihannya, sese...