-ENAM-

402 32 3
                                    

Selamat membaca!

♥♥♥

Danesh terbangun dari tidur panjangnya belasan menit yang lalu. Sekarang anak itu sedang memandangi atap plafon rumah sakit dengan tatapan kosong. Dia belum bisa bergerak dengan leluasa sebab kedua tangannya tertancap selang, yang satu mengalirkan cairan dari kantong infus dan satunya lagi mengalirkan cairan pekat berwarna merah, darah.

Separah itukah dirinya sampai harus transfusi darah begini?

Embusan napas keluar dari rongga hidungnya dengan perlahan. Semenjak bangun tadi, tak ada siapapun yang memenaninya di ruang rawat yang cukup mewah ini. Pasti Papa yang meminta kepada perawat  untuk membawa dirinya ke sini. Padahal di ruang biasa saja Danesh tak apa.

Memikirkan Mahesa membuatnya bertanya, apakah  sang kakak baik-baik saja?

Sudah sejak lama Mahesa memiliki fobia terhadap darah. Dan selama ini jika Danesh mimisan atau terluka yang mengakibatkan mengeluarkan darah, kakaknya itu tak ia biarkan tahu. Takut-takut kejadian semalam terulang lagi. Danesh lebih memilih dirinya yang tumbang dibandingkan harus melihat Mahesa yang hampir jatuh pingsan. 

Dia ingin melihat keadaan Mahesa, tapi proses tranfusi sepertinya masih lama, terlihat dari labu darah yanng menggantung itu baru habis seperempat. Danesh tak tahu itu kantong ke berapa yang berhasil membuat tubuhnya mulai berangsur membaik. Pusing  di kepala sudah berkurang, badannya juga tak selemas saat baru bangun tadi.

Klek!

Suara pintu yang dibuka membuat antensi Danesh teralihkan. Dari arah pintu, dia dapat melihat Papa berjalan dengan menenteng sebuah paper bag yang Danesh tebak berisi bubur. Aromanya langsung bisa ia cium, seketika membuat Danesh mual dan ingin muntah.

Sesuatu di dalam perutnya naik ke kerongkongan secepat kilat. Sebelah tangan yang terpasang infus Danesh gunakan untuk membekap mulut, ia miringkan tubuh ke sebelah kiri lalu saat sudah tak tahan lagi, ia muntah ke lantai.

"Nesh!" Papa yang baru meletakkan bungkusan yang dibawanya tadi ke meja dekat sofa berlari panik menghampiri sang bungsu.

"Nggak apa-apa , dek, keluarin aja," katanya sembari memijat pelan tengkuk Danesh yang terasa hangat.

"U-udah, ja-jangan dipijat," lirih Danesh saat dirasa sudah tak ada lagi yang keluar. Pijatan di tengkuknya malah makin menambah mual dan dia lelah jika harus muntah tanpa apapun lagi yang keluar.

"Oke-oke."

Tubuh ringikihnya kembali dibawa berbaring dengan bantuan Papa. Kali ini Danesh tak menolak setiap sentuhan dari Papa karena kekuatannya sedang hilang entah kemana.

"Masih mual nggak, dek?" Tanya Papa setelah mengelap bibir pucatnya dengan tisu. Danesh jawab dengan gelengan lemah. "Kalau gitu papa keluar dulu sebentar, ya?"

"Bubur, bawa."

"Hah?" Papa sempat bingung, lalu cepat-cepat tersadar. "Oh, Kamu mual karena bubur yang Papa bawa, ya, dek. Duh, maafin Papa, Papa bawa keluar buburnya kalo gitu. Sebentar."

Seorang perawat dan petugas kebersihan masuk ke dalam kamar inapnya tak lama setelah Papa keluar. Sepertinya Papa yang memanggil keduanya untuk datang.

"Maaf, ya, kak, saya jadi ngerepotin." Danesh berkata dengan tak enak hati pada seorang laki-laki yang sedang membersihkan muntahannya.

"Nggak apa-apa dek, ini sudah tugas kami."

Danesh meringis melihat orang itu dengan santainya mengepel lantai, dia masih merasa tak enak hati.

Tatapannya kini beralih ke sosok perawat cantik yang sedang menyuntikkan sesuatu ke dalam cairan infusnya.

Tak berselang lama Ners itu telah selesai dengan tugasnya. Sang Ners kemudian berpamitan dengan sebuah senyum hangat yang jarang sekali Danesh lihat dari seorang perempuan. "Kami pamit dulu ya, dek, nanti Ners periksa lagi kalau transfusinya sudah selesai. Oh ya, beberapa menit lagi ada yang nganterin makan siang, jangan lupa dimakan ya. Cepat sembuh, selamat siang."

"Terima kasih, Ners, terima kasih, kak, selamat siang."

Danesh kembali sendirian saat kedua orang itu meninggalkan ruangan penuh bau obat. Papa tak kunjung kembali, mungkin masih jijik dengan tragedi muntahnya tadi. Danesh juga tak mau berharap Papa datang lagi, memangnya Papa sudah menerimanya? Danesh pikir, itu tak akan pernah terjadi. Pria paruh baya itu pasti terpaksa merawatnya karena permintaan Mahesa. Iya, pasti benar begitu.

Danesh berharap proses tranfusi itu cepat selesai. Dia ingin segera bertemu dengan Mahesa dan meminta maaf. Meminta maaf karena sudah membuat fobia sang kakak muncul hingga membuatnya spontan mendorong Mahesa sampai jatuh.

Dia menyayangi Mahesa lebih dari apapun. Meski tak sengaja menyakiti Mahesa seperti semalam. Namun rasa bersalahnya masih begitu tinggi. Bahkan rasa bersalah yang bersemayam di dalam dadanya tak menunjukkan penurunan angka. Rasa itu masih berada di level sepuluh.

Nanti jika jika sudah bisa bertemu Mahesa, ia juga akan meminta kakaknya berhenti memaksa Papa untuk merawatnya. Sungguh, Danesh tak mau jika kata-kata menyakitkan itu kembali terlontar dari mulut Papa. Atau mungkin saja hal lebih keji lainnya yang akan menimpanya.

Perlahan rasa kantuk muncul saat kepalanya memikirkan berbagai prasangka terhadap Papa. Namun baru saja hendak meraih alam mimpi, Papa datang bersamaan dengan makan siang yang Ners bilang tadi. Papa meletakkan satu persatu makanan itu ke atas meja di sebelah ranjang. Untungnya kali ini Danesh bisa menahan rasa mualnya.

"Anak bungsu saya sepertinya mulai ngantuk. Apa boleh makannya nanti setelah tidur?"

"Boleh saja pak, tapi nanti setelah 30 menit tolong dibangunkan, ya. Pasien tidak boleh telat makan terlalu lama," jawab staff pramusaji dengan ramah. Setelah Papa mengiyakan dan berterima kasih, staff  itu lantas berpamitan pergi.

Apa tadi Danesh tidak tadi salah dengar? Anak bungsu saya. Anak bungsu saya, katanya?

"Pa ..., "lirihnya memanggil sang papa yang sudah duduk di kursi sebelah ranjang. Tangannya mengelus-elus pundak hingga lengan Danesh dengan lembut. Danesh mungkin akan semakin terbuai dengan tindakan manis papa jika tak ingat pria itu sangat membencinya.

Danesh juga masih kecewa dengan semua perlakuan Papa selama ini.

"Kenapa, dek? Ada yang sakit?"

"Aku kayaknya harus diperiksa dokter THT, deh. Telingaku pasti udah salah tangkep. Mana mungkin Papa mengakui aku sebagai anak, iya, 'kan, Pa? Nggak mungkin 'kan?"

"Mungkin dong say-

"Nggak mungkin, Pa. Ingat, Danesh ini anak bodoh dan penyakitan. Papa jangan bohongi perasaan Papa sendiri. Papa boleh tinggalin aku sendirian dan hidup bahagia sama kak Hesa."

"Kamu ini ngomong apa, dek?" Danesh menepis tangan Papa yang hendak menyentuh wajahnya. Matanya yang sudah segaris tak menyadari jika kedua mata Papa mulai berair dengan hati yang mencelos.

"Kak Hesa masih butuh Papa, dan bodohnya, aku berlaku egois dengan nggak menerima kalian saling dekat."

"Dengerin Papa sebentar, kamu nggak pernah egois, dek. Dan yang harus kamu ingat selalu, nggak akan ada yang  ninggalin kamu setelah ini. Kak Hesa dan Papa akan selalu ada buat kamu. Maaf atas perlakuan papa selama ini. Mohon maafin Papa, Nesh."

Air mata mengalir dari kedua sudut matanya yang terpejam, ia tak tahu harus menjawab apa, alam mimpi menariknya terlalu kuat hingga mau tak mau ia harus mengalah. 

Danesh jatuh tertidur pada akhirnya.

***
Terima kasih banyak sudah membaca dan berkenan vote!

Love you all ♥

Bye-bye..

~5/4/24






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Danesh Argani  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang