⋆。‧˚ʚɞ˚‧。⋆
Saat bel pulang sekolah berbunyi, Echa buru-buru berlari keluar kelas dan menuju taman belakang lab bahasa. Ia terduduk di kursi panjang yang sudah terlihat berkarat.Echa sedang menunggu seorang pemuda yang ia temui kemarin sore. Mungkin saja pemuda itu akan kembali lagi ke taman ini sepulang sekolah nanti, dan ia pun bisa memberikan sapu tangan cokelat milik sang pemuda tersebut.
Sudah hampir setengah jam ia menunggu, karena merasa bosan Echa pun memutuskan untuk menari sebentar untuk menghilangkan rasa bosannya. Ia rasa tempat ini lumayan sepi, jadi ia bisa berlatih menari balet di sini.
Tak disangka, ternyata sedari tadi ada seorang pemuda memandangi Echa yang sedang menari. Orang itu memandangi Echa sambil tersenyum lebar. Ia tampak menyukai gerakan tarian Echa.
Echa merasa dirinya sedang di perhatikan seseorang, ia pun menghentikan tarian nya.
Ia melihat ada seorang pemuda yang memiliki sepasang mata berwarna abu-abu. Itu adalah pemuda yang ia tunggu sedari tadi. Pemuda itu melangkah mendekati dan duduk di kursi panjang di belakang Echa.
"Kenapa berhenti? Tarian lo indah, gue suka liat nya"
Oh god! baru kali ini ada seseorang yang menyukai tarian nya. Rona merah di pipi Echa terlihat ketika pemuda itu memuji tarian nya.
"Dengan tarian seindah itu, lo gak mau masuk audisi?"
"Audisi? Audisi dimana emang nya?"
"Beberapa minggu lagi bakal ada audisi ballet di agensi Balleria. Lo daftar aja, lo bisa menyampaikan cerita cerita lewat tarian lo. Jadi pasti banyak yang suka"
"Gue gak bisa, tarian gue gak sebagus itu buat masuk audisi. Gue pasti kalah, karena gue belajar otodidak. Sedangkan yang peserta lainnya pasti ikut sekolah ballet, tarian gue gak sebanding sama tarian mereka"
"Lo beneran belajar otodidak? Baru kali ini gue liat tarian seindah ini padahal belajar nya secara otodidak. Mereka mungkin belajar di sekolah ballet, tapi mungkin aja tarian mereka gak sebagus tarian lo. Mungkin aja mereka gak bisa menyampaikan cerita cerita di balik tarian mereka sebagus lo"
"Gak tau deh, nanti coba gue pikirin lagi" Echa menghela nafas. Ia sungguh bimbang, sedari dulu dia ingin sekali mengikuti audisi seperti itu.
Dulu pernah ia mendaftar audisi seperti itu, namun lagi dan lagi ia terpaksa harus mundur karena Kakek Tama tidak mengizinkan nya untuk mengikuti audisi.
Kakek Tama membentak dan memukuli Echa, memaksa nya untuk mundur dari audisi tersebut. Kakek Tama memukuli nya secara membabi-buta bahkan mama dan papa nya tidak bisa membantu Echa, mereka terlalu takut untuk membantu.
Memikirkan hal itu saja sudah membuat hati Echa berdenyut sakit. Setega itu Kakek Tama memukuli Echa hanya karena ia mengikuti sebuah audisi. Setetes air keluar dari mata nya.
"Gue tau lo pasti minder sama peserta lainnya, tapi apa salah nya mencoba?" Suara itu membuyarkan lamunan Echa, ia buru-buru menghapus air mata yang keluar.
"Ah, iya liat aja nanti. Oh iya gue mau ngembaliin sapu tangan lo yang kemarin. Tenang aja, udah gue cuci kok kemarin. Jadi masih wangi" Echa mengambil sapu tangan berwarna coklat, berhuruf K di ujung sapu tangan.
"Makasih ya, pake di cuci segala" Pemuda itu tertawa ringan dan membuat mata nya menyipit. Sungguh senyuman yang manis, gumam Echa di dalam hati.
"Kalau gitu gue cabut duluan ya" Lanjut nya seraya berdiri dan melangkah pergi menjauh.
Namun baru beberapa langkah, pemuda itu berbalik lagi menghadap Echa. "Pikirin lagi tawaran gue tadi. Kalau tertarik lo bisa temui gue. Gue ada di kelas XI mipa. Sampai jumpa lagi, Karlesha"
Echa menatap punggung pemuda yang semakin lama semakin tak terlihat, ia memandangi nya dengan tatapan bertanya-tanya. Apa itu tadi? Bagaimana pemuda itu bisa tau nama nya.
⋆。‧˚ʚɞ˚‧。⋆
Suasana meja makan kini terasa sangat dingin. Tidak ada seorang pun yang membuka percakapan. Semua orang enggan membuka mulut nya.
Echa hanya mengaduk-aduk makanan yang berada di hadapan nya. Ia sedang tidak ingin memakan apapun saat ini. Mood nya rusak begitu saja ketika Kakek nya ini datang ke rumah.
"Echa udah kenyang ma, echa balik ke kamar dulu" Ia pun bangun dari kursi nya dan pergi meninggalkan meja makan.
"Tapi kamu belum makan apapun cha" Sahut Pram, sang ayah.
Echa mengabaikan uacapan sang Ayah, ia berlalu menuju ke ruang tamu. Sebelum duduk di sofa, ia mengambil cemilan terlebih dahulu di lemari es.
Ia mendudukkan diri nya di sebuah sofa empuk. Diri nya masih memikirkan tawaran dari pemuda yang ia temui tadi sore. Apakah ia harus mengikuti audisi tersebut?
Pusing memikirkan hal tersebut, Echa membuka handphone nya dan membuka sebuah aplikasi yang menampilkan sebuah video seorang Ballerina terkenal di dunia. Guna menenangkan pikiran nya sejenak
Daria Klimentova adalah seorang Ballerina profesional, Echa sangat mengidolakan Daria. Ia ingin menjadi penari balet profesional seperti dirinya. Namun hal tersebut sangat sulit untuk diwujudkan.
"Kenapa kamu malah menonton video balet begitu daripada membaca buku yang saya kasih? Matikan videonya, lebih baik kamu belajar tentang hukum. Kan sudah saya bilang, buang saja mimpi mu itu jauh-jauh. Kamu tidak akan pernah bisa mencapainya"
Ah, sial! Lagi-lagi suara itu hanya bisa mengganggunya. Suara itu selalu saja mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat hati Echa serasa di tusuk oleh ribuan jarum.
Astaga, haruskah sekarang ia berdebat kembali dengan kakek nya? Pikiran nya sedang runyam saat ini, bolehkah kakek nya itu tidak mengajak diri nya untuk berdebat saat ini?
Merasa tak di gubris, Tama pun mengambil handphone Echa secara paksa. Dan melempar nya ke sembarang tempat.
"Sudah, kamu tidak usah pegang handphone dulu untuk beberapa jam kedepan! Kamu harus belajar tentang ilmu hukum"
"Kamu sudah tau kan bahwa kelak kamu harus menjadi seorang pengacara? Kenapa kamu malah bermalas-malasan seperti ini!" Kakek Tama menbentak nya, suara nya bergema di penjuru ruangan.
Echa berdiri dan menghadap sang Kakek.
"Nggak! aku nggak mau belajar tentang ilmu hukum, kelak aku tidak akan menjadi pengacara! Aku tidak akan mau menjadi budak Kakek seperti kak Dipta, aku tidak mau melepas mimpi ku hanya untuk impian kakek!"Plakk!
Satu tamparan mendarat di pipi mulus Echa. "Kamu berani menentang omongan saya hah?! Kamu tidak boleh membantah kakek, kalau saya sudah bilang kelak kamu harus menjadi pengacara, saya tidak menerima penolakan! Saya tidak peduli kamu suka atau tidak."
Pipi Echa terasa berdenyut. Echa pun mengambil handphone nya yang tergeletak tak jauh dari kakek nya berdiri dan pergi menuju kamar nya.
Sesampainya di kamar, Echa mengunci pintu dan terduduk di lantai. Ia menyandarkan kepala pada pintu di belakang nya. Air yang keluar dari kelopak mata nya mengalir deras.
Padahal tamparan barusan bukan kali pertama bagi Echa, namun ia selalu menangis ketika Kakek nya membentak dan memukuli nya.
Seorang Kakek yang seharusnya menyayangi dan melindungi seorang cucu. Kini malah menampar cucu nya sendiri. Echa sangat rindu sikap kakek nya yang dulu.
Pada saat Echa masih kecil, kakek nya itu tidak pernah sekali pun memukul nya. Kakek nya selalu memeluk dan berbicara lembut kepadanya. Namun, saat ini tidak lagi. Kakek nya itu selalu menampar dan berbicara kasar pada nya.
"Echa rindu sikap hangat kakek yang dulu. Apa iya Echa harus kecil terus supaya kakek gak jahat ke Echa?"
~🩰"
HAII, AKU HARAP KALIAN SUKA SAMA CHAPTER INI. JANGAN LUPA VOTE YAA
SEE YOU IN THE NEXT CHAPTER!
-with love, cyza🎀

KAMU SEDANG MEMBACA
Let me be a ballerina
Teen FictionJangan lupa Follow sebelum membaca yaa!! ⋆。‧˚ʚɞ˚‧。⋆ Keluarga Wrahaspati, keluarga yang dikenal terpandang karena seluruh keluarga anggota keluarganya berprofesi sebagai pengacara. Berbeda dengan semua anggota keluarganya Ka...