Kami Pulang!

140 8 0
                                    

Malam ini adalah waktu yang sempurna untuk berkumpul di ruang televisi, menikmati siaran yang menyapa dari balik layar kaca. Selama enam bersaudara belum tantrum atau mengeluarkan khodam yang siap memangsa jemuran tetangga, kenapa tidak diteruskan?

Televisi adalah satu-satunya sumber suara di ruangan itu. Mereka yang berakhlak kompak terfokus pada benda persegi panjang yang menempel di tembok.

Dua di antara mereka mencari kenyamanan dengan duduk di sofa, sementara yang lainnya memilih menikmati tayangan sambil lesehan. Bukan karena sofa mereka kekurangan, tapi kebanyakan dari mereka ingin meluruskan kaki atau berbaring tanpa perlu memutar otot leher. Itulah sebabnya, meski ruang keluarga terlihat sedikit berantakan—dengan satu kaki berselonjor dan tiga lainnya saling memanfaatkan tubuh masing-masing sebagai bantal, termasuk kaki yang teronggok tadi—dua anak tertua yang tetap mengklarifikasi eksistensi akal dalam sel otaknya, tetap duduk tertib di atas sofa. Maksud dari tertib adalah melipat kedua kaki dan menutupinya dengan bantal, sementara sepasang kaki lainnya disilangkan.

Sementara mereka menikmati posisi tersebut, layar televisi terus menjalankan tugasnya. Pada malam seperti ini, apa yang kalian pikir sedang mereka tonton? Variety show? Talk show? Jika kalian menjawab kartun, kalian benar.

Apa lagi kalau bukan kartun dari negeri ginseng, dengan tokoh utama bus berwarna biru?

Bahagia itu sederhana, bukan? Hanya dengan menikmati waktu bersama dan beberapa plastik camilan yang tersebar tak beraturan sudah cukup membuat mereka tenang. Bonusnya, sang majikan juga ikut menikmati tayangan itu, merelakan usianya untuk sebentar.

Tiba-tiba, seorang gadis muncul memasuki ruang keluarga dengan piring alumunium di tangan. Ia tampaknya berniat menjatuhkan piring itu untuk mengejutkan seluruh penonton.

Setelah mendekati ambang pintu, gadis itu mulai menghitung dalam hati.

"1... 2... 3..."

"Sini, Ra!"

Ajakan Sorin itu membuat Mora menurunkan piring alumunium yang dibawanya. Rencana jahilnya yang ke sekian kali gagal tepat satu setengah detik sebelum aksinya dimulai. Meski tidak mengeluarkan suara, sang kakak sulung sudah mengetahui keberadaannya hanya dengan mendengar helaan napas tertahan.

Satu kerugian memiliki kakak dengan insting dan kepekaan yang tajam. Bahkan Sorin tidak berbalik sama sekali, hanya menepuk sofa kosong di sebelahnya. Mau tak mau, Mora meletakkan piring itu di meja dekat ambang pintu dan segera menghampiri mereka.

Meski hanya menepuk sofa, Mora justru melompat ke pangkuan kakaknya. Erangan berat terdengar, mengingat tubuh Mora yang cukup tinggi meski tidak begitu berisi, namun cukup berat untuk bukan lagi disebut bocah.

"Udah selesai PR-nya?" tanya Biru, pemuda yang duduk di sebelah Sorin. 
Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan oleh Mora yang mulai menyandarkan wajahnya pada dada bidang kakaknya. Pasalnya, tadi Mora menolak diajak menonton bersama, mengaku masih punya tugas sekolah.

"Badan bongsor juga masih aja suka digendong," Nathan yang tengah berbaring di lutut kakaknya yang selonjoran ikut menimpali.

"Gue bongsor juga dapetnya dari kalian!" jawab Mora.

"Lah, kita bongsor karena cowok, kalo pendek dikira pihak bawah," kata Nathan.

"Tapi Bang Biru ikutan bongsor," Mora berkomentar.

"Dasar bocah kampret!" Biru membalas.

Kali ini Biru bukan hanya kesal dan mencibir, tapi juga memukul punggung Mora dengan bantal sofa. Ingat, Mora tetap berada di pelukan Sorin, jadi pukulan itu hanya mengenai punggungnya, bukan kepalanya.

House Of EightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang