2004, Some place near States
Prom night bukan sesuatu yang sering Jeno temui di tempat ia besar. Kerlap-kerlip lampu pesta, alunan lagu yang lambat-tapi tak terlalu lambat, dan segala gemerlap gaun serta setelan setiap orang dalam aula raksasa. Rasa canggung dan tak nyaman menyerangnya berkali-kali setiap menyadari betapa mewah orang-orang di sekitar ia berdiri, bergandengan dengan masing-masing pasangan mereka, berdansa di bawah sorot lampu. Jeno hanya sendiri dengan satu cup lemonadenya.
Satu helaan nafas berat meluncur dari mulut Jeno. Pelan-pelan ia melewati para pasangan yang sedang menari dalam alunan lagu dansa, berusaha mencapai pinggiran aula tempat kursi dan orang-orang yang tidak berdansa berada. Mencapai kursi penonton dengan sedikit usaha, ia langsung mengamankan satu tempat untuk pantatnya duduk dan mulai memperhatikan aula yang dipenuhi pasangan berdansa. Pemandangan yang mengesalkan, bagi Jeno malam ini.
Lemonade dalam gelas Jeno sudah sampai tetes terakhir. Haus di tenggorokkannya masih terasa. Dengan terpaksa, ia merelakan tempat duduknya diambil oleh sepasang gadis yang sejak tadi mengobrol di samping Jeno. Stand lemonade cukup jauh dari podium penonton. Lautan manusia harus disebrangi kembali, atau memilih berjalan setengah memutari aula raksasa tanpa harus bersenggolan dengan banyak manusia. Opsi kedua lebih melelahkan, tapi bukan ide buruk.
"Hai Jeno, how was your day?" sapa gadis yang berjaga di stand lemonade dengan senyuman simpulnya. Jeno hanya mendesah kesal sambil memberikan gelas plastiknya pada gadis itu. "Mengesalkan, i guess."
Gadis itu hanya tertawa kecil sebelum menuangkan air lemon pada gelas Jeno. "Hari belum selesai, ya kan? Mungkin ada hal baik terjadi padamu malam ini," tukasnya lalu menyodorkan gelas tadi ke Jeno.
Sekedar ramah-tamah, Jeno tertawa dan langsung berbalik. Tanpa ia sadari, ada orang dibelakangnya. Terlalu dekat dengan punggung Jeno sampai-sampai ketika ia berbalik, lemonadenya menabrak orang tadi. Menumpahkan sebagian air dinginnya pada setelah laki-laki yang tersebut.
"Aah! Maafkan aku tidak berhati-hati," ucap Jeno sembari mengeluarkan kertas tissue dari saku celananya. Menempel-nempelkan kertas tissue tipisnya pada bagian-bagian yang basah dari orang itu.
"It's okay. Ini salahku berdiri terlalu dekat denganmu," ucap orang itu, juga berusaha mengurangi kericuhan diantara mereka berdua.
Kejadian itu cukup menarik perhatian. Beberapa orang berhenti mengobrol, bahkan berdansa karena keributan kedua orang itu. Seperti sebuah wabah, atensi sebagian besar orang-orang pada aula tersebut beralih dari dansa menuju kedua insan tersebut. Sebagian menyoroti ketololan Jeno yang menumpahkan lemonadenya, sebagian lagi fokus pada objek masalah.
"Sungguh, dia menumpahkan minum pada Jaemin?"
"Punya dendam apa dia pada Jaemin sampai merusak malam istimewanya?"
Desas-desus itu tanpa sadar membuat Jeno sadar, who he messed up with malam ini. Ketika ia mendongak, wajah Jaemin yang sedang cemas tampak sangat jelas. Alisnya berkerut hingga tampak menyatu, pun bibir laki-laki itu yang tanpa disadari mengerucut ke depan. Dalam lubuk hati terdalamnya, Jeno benar-benar menyesal telah mengacaukan malam seorang prom king.
Di lain sisi, Jaemin menyadari tatapan dan desas-desus disekitarnya. Fokusnya berubah dari kemeja putih dan celana bagian atas yang basah menuju laki-laki yang menumpahkan lemonade tadi. Memandanginya tanpa henti, tanpa berkedip, tanpa bernapas. Tatapan mereka bertemu selama sepersekian detik, sebelum Jaemin sadar dan menarik Jeno dari aula.
•••
Jaemin tak punya alasan 'mengapa ia menarik Jeno pergi'. Instingnya berkata demikian dan ia lakukan demikian. Genggaman tangan Jaemin bahkan tidak terlepas sampai mereka ada di kamar mandi. Meninggalkan perasaan yang lebih canggung di antara mereka berdua.
Kembali pada setelan basah Jaemin. Begitu sadar, Jeno langsung mengambil tissue dan berusaha mengeringkan kemeja sang prom king. "Maafkan aku. Aku harusnya lebih berhati-hati," ucap Jeno terus menerus hingga Jaemin tidak sanggup menanggapi dan diam. Meninggalkan mereka berdua pada keheningan dan gumaman kecil Jeno soal kebodohannya.
Fokus Jaemin masih pada laki-laki di depannya. Wajah yang asing, tapi disatu waktu terasa sangat familiar. "Apa aku mengenalmu?" tanya Jaemin memecah keheningan. Jeno yang masih sibuk dengan tissue berhenti sejenak. Mendongak dan mendapati kedua iris kecokelatan milik Jaemin tengah menatapnya dengan penuh perhatian.
Tenggorokan Jeno mendadak tercekat. Ia tak bisa mengatakan apa-apa dan hanya bisa fokus pada kedua iris Jaemin. Kesadarannya hanya bisa merespon dengan sebuah gelengan kecil. Mewanti-wanti agar tatapan tersebut tak luput dari matanya. Jeno merasakan gejolak kecil pada rongga dadanya.
"A-ah, ku dengar Nancy membawa hair dryer. Aku akan meminjamnya dan kembali ke sini," ucap Jeno sambil berdiri. Mendapati mata mereka berdua pada tinggi yang sama, bertemu pada tiap gerakan, menimbulkan semburat halus pada pipi Jeno. Dan perlahan muncul juga pada pipi Jaemin, yang baru menyadari tindakannya.
"Aku pergi-"
"Namamu... siapa?" tanya Jaemin. Ia kembali menggenggam tangan Jeno, menahannya pergi.
Seluruh tubuh Jeno menjadi kaku kali ini. Ia terlalu dekat dengan Jaemin. Hangat telapak tangan sang prom king mengalir hingga telinganya dan berdesir hangat pada seluruh peredaran darahnya. Satu menit dan Jaemin menyadari kontak fisiknya yang berlebih. Ia melepaskan genggaman tangan tadi dan menggaruk tengkuknya canggung. Mencuri-curi pandang pada orang dihadapannya, menunggu sebuah jawaban.
"Jeno," jawab laki-laki itu singkat. Mengembalikan cahaya pada mata Jaemin yang sempat meredup.
"Jaemin," balasnya. Jeno mengangguk dan tersenyum tipis. "I know."
Setelah itu, mereka hanya saling melempar senyum seperti orang tidak waras. Pelan-pelan Jeno melangkah mundur menuju pintu. Memberikan gestur 'akan keluar' pada Jaemin dengan gerakan tangan abstrak. Dan ketika ia telah menyentuh gagang pintu, Jaemin memanggil lagi nama Jeno. Tersenyum lembut dan mengucapkan, "Senang bertemu denganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
This Is How Falling In Love Feels Like
FanfictionOrang bilang, pertemuan pertama adalah kebetulan. Tapi bagi mereka, pertemuan pertama mereka adalah takdir. Membawa mereka pada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang tidak terencana. Katanya, jatuh cinta rasanya menyenangkan. Menyenangkan seperti apa...