2005, Jeno's High School
Ke mana pun Jeno pergi, ia selalu menyadari keberadaan Jaemin. Entah seberapa jauh atau dalam kerumunan, he always spotted him. Seperti makan siang tadi, ia menemukan sang prom king bersama pasangannya, the prom queen ofc, dan sekumpulan anak-anak keren lain. Atau ketika sorenya, ia menonton pertandingan hockey dan bisa mengetahui 'yang mana' Jaemin dalam seragam tebalnya.
Mata Jeno minus. Ia tidak bisa membaca nama di punggung para pemain. Hanya nomor punggung yang terbaca olehnya, tapi ia bahkan tak tahu soal itu. Ia hanya tahu jika itu Jaemin dan tersenyum ketika menemukannya. Di saat yang bersamaan, banyak gadis yang ribut sendiri. Dari percakapan mereka, bisa Jeno simpulkan kalau Jaemin baru saja melempar senyum ke arah tribun mereka dan ia yakin, pasti manis.
•••
Jam pelajaran baru saja habis. Begitu bel berbunyi, Jaemin langsung melangkahkan kakinya menjauh dari kelas. Tak menghiraukan panggilan dari Jia yang berteriak dari dalam kelas. Ia hanya ingin mencari angin dan ketenangan. Dan atap sekolah merupakan destinasi yang tepat.
Di atap sekolah, biasanya hanya ada murid perokok atau murid yang sedang membolos. Tak ada yang benar-benar peduli satu sama lain. Sibuk mengurus pikiran masing-masing dan tidak ingin peduli urusan orang lain.
Hembusan udara sejuk dan bau rokok langsung menyapa ketika pintu atap sekolah terbuka. Lantainya becek, seperti disiram hujan 2-3 jam yang lalu. Cukup ramai, karena terdengar beberapa suara orang yang sedang menelpon dan bau rokok yang masih membara.
Tidak ada yang menarik perhatian Jaemin. Ia mengeluarkan sekotak rokok dari saku jaketnya dan segera mempertemukan bara api dengan ujung tembakaunya. Menyesapi lintingan tembakau itu sembari memasukkan lintingan-lintingan lainnya pada saku jaket.
Sejauh ini, masih belum ada yang menarik perhatiannya, selain Jeno. Ia tak sengaja melihat sisi wajah Jeno dengan rokok di antara sepasang bibirnya, menoleh ketika ia tengah menonton latihan football di lapangan. Laki-laki itu bertumpu pada tembok dan menatap ke luar. Rambut hitamnya menari-nari tertiup angin dengan irama yang sama seperti kemeja putih oversize-nya.
Langkah Jaemin membawanya pada sisi Jeno. Berdiri pada jarak yang tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk saling bertukar suara. Laki-laki itu menyadari keberadaan sang prom king. Menoleh dan mendapati Jaemin juga menatap pada objek yang ia perhatikan sedari tadi.
"Aku bahkan baru sadar kalau Haechan masuk tim football," ucap Jaemin.
Tanpa sadar, perhatian Jeno terfokus pada sang prom king. Laki-laki itu memiliki rambut ash blonde ikal dengan beberapa helai berwarna biru atau pink tua. Mungkin korban uji coba Jia, ketika perempuan itu mengecat rambut two toned color-nya seperti Harley Quin.
Jeno tersenyum tipis. Puas menatap Jaemin dan kembali melihat permainan football di bawah. "Haechan masih pemain cadangan," ujar Jeno. Jaemin sendiri hanya mengangguk-angguk.
Atensi keduanya tersita pada permainan di bawah. Hanya latihan, tapi cukup menarik untuk ditonton. Beberapa kali mereka meringis dan hampir berteriak melihat pertandingan buatan tim football sekolah. Namun itu hanya latihan. Bahkan ketika pertandingan buatan itu selesai, tak ada helaan nafas kesal atau lega dari Jeno ataupun Jaemin. Mereka beralih menuju topik pembicaraan lain.
"You're not interest on any club?" tanya Jaemin. Ia mendudukkan diri di atas lantai atap dengan kaki yang diselonjorkan. Jeno ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Mendekatkan diri dengan Jaemin, tapi masih pada jarak yang aman untuk 2 orang asing. Membuat percakapan mereka lebih mudah dilakukan dan tidak terbawa angin.
"Nah! I was in gymnastic. Tapi cedera dan harus pensiun dini," terang Jeno secara singkat.
Jaemin terkejut mendengar itu. Ia baru melihat Jeno sewaktu prom night. Seperti laki-laki itu benar-benar baru saja muncul dalam hidupnya. "There is no gymnastic club here," ucap Jaemin dengan nada penuh kebingungannya. Namun dalam setiap katanya juga ada kehati-hatian agar tidak menyinggung apapun.
Mendengar pernyataan Jaemin, Jeno hanya bisa tertawa kecil. Tak luput dari tangkapan mata Jaemin bagaimana mata Jeno yang lebar dapat berubah menjadi sesempit bulan sabit. Melengkung sempurna bersamaan dengan kekehan renyah yang terdengar merdu di telinga Jaemin. "Maaf, tapi aku lupa menjelaskan kalau aku itu murid pindahan."
"Pindahan? Dari mana?"
Ada jeda singkat antara pertanyaan Jaemin dengan jawaban Jeno. "Sekolah khusus atlit. Tapi aku cedera, so, ya, here i am," terang Jeno sambil menunjuk lututnya.
"Cederamu parah?" tanya Jaemin. Jeno memgangguk-angguk beberapa kali sebelum menjawab lebih lanjut. "Aku sekarang ada ditahap 'can't even running as fast as i could and as fast as i want'."
"Sejak kapan merokok?" tanya Jaemin, sambil menghidupkan batang keduanya.
Sementara itu, Jeno mematikan rokoknya yang akan habis. Melemparnya ke arah asal dan terjatuh di atas genangan air. "Well, maybe since i hadn't made it," ucap Jeno memberi jeda.
"You know, aku hampir meraih juara internasional, tapi takdir berkata padaku untuk tetap tinggal di sini sampai mati. Like, it's not a big deal anymore."
"I am very sorry about that," ucap Jaemin. Jeno hanya menertawakan itu dan meminta Jaemin untuk menganggapnya sebagai angin lewat. "Forget it. Nothings really matters anymore anyway."
Setelah itu, mereka membiarkan suara-suara lain mengambil alih. Melatar belakangi pertemuan mereka sore ini di atas atap sekolah, menunggu sampai matahari terbenam. Detik selanjutnya, mereka turun bersama dan berpisah di tangga.
•••
Berhari-hari mereka saling menyapa di atas atap. Hanya menyapa, berbincang kecil, lalu berdiri pada jarak yang cukup untuk dua orang asing sampai matahari terbenam. Biasanya di hari Rabu sore, saat kelas Jaemin selesai cukup larut atau saat ia tak harus berlatih hockey di lapangan es.
"What are you doing?" tanya Jaemin. Jeno terbangun dan mendapati laki-laki itu bediri di atasnya, menutupi sinar matahari dari wajahnya."Sunbathing. Harus mendapat asupan vitamin D sebanyak mungkin," jawab Jeno yang diikuti kekehan kecil. "How did you find me?"
"Oh, i just walk upstairs and saw some boogie wierdo laying outside without jacket," ucap Jaemin, lalu melihat pilihan pakaian yang Jeno kenakan hari ini. Kaos putih oversize dan celana jeans. "And it's winter."
"What? Don't look at me like i had commited some crime," tukas Jeno sambil mendorong Jaemin pelan. "It is a freeland, and so do i, baby."
Jaemin hanya tertawa mendengar hal tersebut. Ia melepaskan hoodienya. Meletakkan pakaian hangat berwarna biru itu pada dada Jeno. Membuat empunya sadar, dan menatap sang prom king dengan penuh tanda tanya.
"You were gonna catch a cold, and probably die due to loneliness," ucap Jaemin sambil menunggu Jeno untuk bangkit dari posisi berbaringnya. Memperhatikan bagaimana wajah bingung Jeno tak kunjung meluntur dan berkali-kali berpindah dari ia dan hoodie birunya.
"Look, don't die here. This city is not the best for... you know, hope dying people. Apparently, no one here knows what their dream is,"
Jaemin berjongkok di hadapan Jeno. Mengambil telapak tangan murid pindahan itu dan meletakkan sesuatu di dalamnya. "If you need a friend, just catch me up."
Setelah itu, Jaemin berlari masuk ke dalam gedung sekolahan. Dari kejauhan, Jeno bisa melihat laki-laki itu menggosok-gosokkan kedua tangannya dan memeluk dirinya sendiri. Lalu beralih pada telapak tangannya yang berisi selembar sobekan kertas.
"How cute."
KAMU SEDANG MEMBACA
This Is How Falling In Love Feels Like
FanfictionOrang bilang, pertemuan pertama adalah kebetulan. Tapi bagi mereka, pertemuan pertama mereka adalah takdir. Membawa mereka pada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang tidak terencana. Katanya, jatuh cinta rasanya menyenangkan. Menyenangkan seperti apa...