Hal pertama yang Jeno sadari adalah suara serak Jaemin. Tangannya terasa hangat, seperti ada yang menggenggam, tapi bukan Nancy atau ibunya. Sedikit kasar dan terlalu besar untuk ukuran perempuan. Mata Jeno juga terlalu berat untuk dibuka. Ia hanya bisa menggerak-gerakkan jemari hingga orang yang menggenggamnya sadar jika Jeno telah siuman.
"Hai Jeno, bagaimana keadaanmu? Apa kau sudah sadar?" tanya Jaemin mengeratkan genggaman tangannya.
Setelah Jeno paksakan, akhirnya ia bisa membuka mata. Ia langsung berusaha mendudukkan diri karena takut jika dirinya hanya akan kembali tak sadarkan diri jika tetap dalam keadaan berbaring. Jaemin dengan sigap langsung membantu laki-laki itu untuk duduk dan memberikan sandaran bantal pada punggung Jeno.
"Terima kasih," ucap Jeno. Ia menyadari bahwa sedari tadi tangan yang menggenggamnya adalah tangan Jaemin. Tanpa sadar ia menatap genggaman itu terus menerus, sampai menarik perhatian empunya.
"Tadi kau mengigau terus menerus dan baru mereda setelah aku menggenggam tanganmu," terang Jaemin.
Batin Jeno berteriak sekarang. Ia ingin lebih dari sekedar genggaman, tapi juga pelukkan dari Jaemin!
"Jaemin, could you please ask him about his parents or relatives?" celetuk perawat sekolah yang baru membuka tirai pada bed Jeno.
"Haechan sepupuku," jawab Jeno dengan suara yang lirih. Jaemin mengulangi jawaban Jeno kepada perawat sekolah. Setelah itu ia berdiri dan berpamitan. "Aku mau memanggil Haechan dulu. Kau tunggu sebentar bersama Jia dan Ms. Wendy, okay?"
Kepala Jeno masih berat dan terlampau pusing. Ia hanya bisa mengangguk pelan tanpa berbicara apapun. Jia segera berpindah tempat di samping Jeno begitu pacarnya pergi. Ia menatap juniornya dengam saksama tanpa mengatakan apapun. Jeno bisa merasakan tatapan khawatir dari cara kekasih Jaemin itu melihatnya. Tapi ia tak acuh. Lebih memilih untuk menatap langit-langit ruang kesehatan dibanding memulai percakapan.
Ms. Wendy datang kembali dengan sebotol obat. Menyodorkan botol tersebut ke hadapan Jeno setelah membaca keterangan di badan botol. "Apa kau menggunakan obat dibawah pengawasan dokter?" Jeno mengangguk. Ia menadahkan tangan, meminta botol obat tersebut dikembalikan pada dirinya.
"Ada riwayat penyakit?" tanya Ms. Wendy sebelum menyerahkan botol obat itu pada Jeno.
"Depresi," jawab Jeno. Pertanyaan itu membuatnya merasa tidak nyaman. Tanpa sadar ia menggigit bibirnya cukup keras. Tangannya mulai bergetar kembali dan perasaan tidak nyaman itu semakin lama semakin menjadi-jadi.
Melihat itu, gerakan Ms. Wendy sempat terhenti. Sedetik kemudia ia dengan sigap langsung memberikan beberapa butir obat dari botol Jeno kepada empunya. Ia memerintahkan pada Jia untuk mengambilkan segelas air pada dispenser. "Segera minum dan tenangkan dirimu."
Jeno sudah mengikuti perintah Ms. Wendy, tapi perasaannya tak kunjung tenang atau sekedar membaik. Nafasnya justru tersengal-sengal. Dadanya terasa berat. Perasaannya makin kalut dan ia mulai tak bisa berpikir.
"Kau sesak nafas?" tanya Ms. Wendy yang dibalas anggukan. Jeno tidak tahu apa yang dilakukan wanita itu, tahu-tahu banyak orang mengerubunginya. Ada Haechan yang kelihatan panik dan hampir menangis. Samar-samar ia mendengar teriakan sepupunya itu memanggil-manggil Ms. Wendy.
Kesadaran Jeno perlahan kembali ketika ia telah dipasangi alat oksigen. Ia menyadari Jia sudah menghilang dan tempatnya digantikan Haechan. Ms. Wendy sedang menelpon di samping bilik kasurnya. Lalu di seberangnya, Jaemin hanya berdiri mematung dengan tatapan yang kosong.
•••
Jeno sekarang tengah memandangi selembar kertas di tangannya. Di sampingnya sudah ada telepon yang baru dipasangkan ayah Jeno. Saat ini, ia sedang menimbang-nimbang untuk menghubungi nomor yang tertulis rapi dengan tinta biru di sana.
Sudah seminggu semenjak ia mendengar desas desus tentang dirinya di sekolah, dan sudah seminggu pula sejak terakhir ia pingsan karena terkena serangan panik. Semenjak itu, serangan paniknya semakin rutin dan masif datangnya. Ia sudah mencoba kembali ke sekolah, tapi hanya dengan memikirkan itu, serangan paniknya kembali muncul.
"Kalau kau hanya memandangi nomor Jaemin, ibu percaya jaket dan ucapan terima kasihmu akan tersampaikan lewat batin," sindir ibu Jeno.
"Ish, ibu!" gerutu Jeno sambil memanyunkan bibirnya.
"Cepat telpon Jaemin dan sampaikan ucapan terima kasihmu!" ucap Ibu Jeno sebelum keluar kamar dengan membawa baju-baju kotor.
Rasanya Jeno benar-benar malu. Ia sudah merepotkan Jaemin dua kali, dan ia baru berterima kasih sekarang. Jaket tim hockey Jaemin masih menggantung di belakang pintunya. Mungkin sekarang sudah berbau rokok. Kata ibu Jeno, kamarnya sekarang sudah berbau seperti toko tembakau. Haechan, yang bukan perokok, sekarang tidak sudi masuk kamar Jeno. Kalau dia menjenguk, maka tuan rumah lah yang harus datang turun dan menemani sang tamu. Lain halnya Nancy. Perempuan itu akan langsung mematikan puntung rokok Jeno dan mengancam tidak mau berteman lagi kalau Jeno merokok di depannya. Dibanding kesehatan mental sang anak, ibu Jeno sekarang lebih khawatir dengan kondisi paru-paru dan sosial anak laki-lakinya.
"Kau sudah menghidupkan rokok ke berapamu hari ini?" tanya adik perempuan Jeno di ambang pintu. Ia masuk dan membawa satu kaleng permen pada kakaknya.
"Diamlah! Aku sedang bingung!"
"Telponlah pacarmu itu."
"Ck. He's not my boyfriend."
"Soon to be. Apa perlu ku telponkan?"
Jeno melemparkan bantalnya. Meleset dan dilemparkan kembali, tepat mengenai kepala Jeno. Sampai ia terjungkal ke belakang dan jatuh dari kasurnya. "Sialan kau bocah!" ucap Jeno
Sewaktu Jeno bangkit dari jatuhnya, ia sudah disodorkan gagang telepon. "Sudah ku telponkan," kata adik perempuan Jeno.
Sementara ia masih terkejut, telepon di seberang sudah tersambung. Mengeluarkan suara serak Jaemin. Dalam sedetik, jantung Jeno membeku.
"Hi Jaemin. This is Jeno."
KAMU SEDANG MEMBACA
This Is How Falling In Love Feels Like
FanfictionOrang bilang, pertemuan pertama adalah kebetulan. Tapi bagi mereka, pertemuan pertama mereka adalah takdir. Membawa mereka pada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang tidak terencana. Katanya, jatuh cinta rasanya menyenangkan. Menyenangkan seperti apa...