Jeno terpaksa pulang jalan kaki. Ayahnya tidak bisa menjemput karena pekerjaan. Ia diberitahu untuk mencari taksi atau menelpon kakak Haechan saja agar tidak perlu berjalan jauh. Terlebih sekarang musim dingin dan Jeno baru selesai berenang. Tapi ia pikir, rumahnya tak sejauh itu dan berjalan tak akan membuatnya mati. Jadi ia pilih untuk berjalan menembus musim dingin.
Sebenarnya cukup dingin. Apalagi karena rambut Jeno masih cukup basah dan ia tak membawa topi atau sarung tangan. Tapi dia bersyukur karena setidaknya ia tidak menggigil kedinginan seluruh badan berkat jaket pinjaman Jaemin. Ada bau rokoknya yang bercampur parfum manis. Bahkan bau rokoknya pun manis, tak berbau berat seperti milik Jeno.
Tiin, tiin
Lamunan Jeno terpecah saat mendengar suara klakson. Ia menoleh dan mendapati mobil sedan sedang berjalan lambat di dekat trotoar. Jendelanya terbuka perlahan dan memperlihatkan Jaemin yang sedang mengemudi. "Hei Jeno, come in!"
Seperti mantra perintah, Jeno langsung masuk ke dalam mobil itu tanpa babibu. Merasakan hangat pada pantatnya begitu menyentuh jok mobil sedan silver itu. "Bisa-bisanya kau berjalan setengah basah begini di tengah musim dingin?" dumal Jaemin sambil mencari-cari topi kupluk di jok belakangnya.
"Ah, thank you. Ini sangat nyaman," ujar Jeno sembari menerima topi kupluk dari Jaemin. Ia membenahi posisi duduknya sampai seluruh tubuhnya bisa terkena pemanas dari mobil Jaemin. Ia tak akan berbohong kalau bahagia karena akhirnya mendapat tumpangan, dan juga sedikit menyesali pilihannya untuk pulang berjalan kaki.
"Di mana rumahmu?" tanya Jaemin. Ia mulai kembali menyetir dan lebih memperhatikan jalanan.
"5th Avenue. Disamping chinesse market," terang Jeno. Jaemin hanya mengangguk dan segera membawanya berbelok dan menuju jalan-jalan yang familiar.
"Biasanya aku melihatmu dijemput," celetuk Jaemin. Jeno sibuk memperhatikan ke luar kaca mobil. Memperhatikan langit yang masih abu-abu, tapi tak ada salju satupun yang terlihat. Hanya jalanan penuh es dan licin yang bisa ia lihat.
"Ayahku sedang kerja. Kalau aku ingin dijemput, aku harus merepotkan orang dengan menelpon kakak Haechan," jawaban panjang dari Jeno. Ketika ia menoleh, menghadap ke arah Jaemin, ia melihat bahu lebar seniornya itu yang sangat kokoh saat sedang menyetir. Badannya cukup kedinginan dan ada dorongan dari dalam dirinya yang berkata bahwa ia perlu sebuah pelukan.
'Ah, mana mungkin. Jaemin itu straight,' batin Jeno, lalu memalingkan lagi wajahnya dari Jaemin. Tanpa sadar, ia memeluk dirinya sendiri. Tampak seperti orang yang sedang menggigil kedingingan di mata Jaemin.
"Kau kedinginan?" tanya Jaemin. Perhatian Jeno kembali teralihkan. Ia menoleh kembali kepada Jaemin dan mengangguk pelan. "Ah, tapi tak masalah."
Ketika mobil mereka berhenti di lampu merah, Jaemin langsung melepas jaket denimnya. Dengan cekatan, ia memasangkan jaket tebal dan hangat itu pada bahu Jeno. "Pakailah. Aku tak begitu kedinginan di mobil," titah Jaemin.
Jeno tak sempat bereaksi apa-apa. Kesadarannya kembali terkumpul saat tubuhnya mulai menghangat, terutama pada bagian pipi. "Thanks," satu-satunya kata yang dapat keluar dari mulut Jeno.
"My pleasure. Kalau kau butuh tumpangan, bilang saja padaku. Aku bahkan sudah memberi nomor teleponku padamu."
Jeno kembali tersenyum. Malu-malu dan pipinya memerah. Hangat tubuhnya menjalar dengan cepat dan membuatnya pusing kepayang. Sekali lagi, Jeno tak bisa mengatakan apapun. Ia hanya mengangguk menanggapi Jaemin. Kepalanya setengah tertunduk untuk menyembunyikan rona pipinya yang makin lama, makin memerah.
Lain sisi, Jaemin tanpa sengaja melihat wajah Jeno yang cukup merah. Ia mengangkat dagu Jeno yang tertunduk agar dapat melihat wajahnya yang merah. "Astaga, kau demam!"
Mendengar itu, Jeno pun ikut kaget. Tiba-tiba Jaemin menempelkan keningnya mereka berdua. Membuat wajah mereka menjadi sangat dekat, hanya berjarak telapak tangan Jaemin dan hidung mereka hampir bersentuhan. Tangan Jaemin dingin dan itu menambah rasa kaget Jeno.
"Apa ibumu di rumah?" tanya Jaemin. Lampu lalu lintas telah kembali hijau. Ia segera menjauhkan wajah mereka dan kembali menyetir.
Jawaban Jeno adalah gelengan kecil. "Ibuku juga bekerja," ujarnya. Entah mengapa, setelah dinotice oleh Jaemin, demam Jeno menjadi makin terasa. Kepalanya agak berputar, dan tubuhnya masih agak kedinginan.
"Okay, lebih baik kita ke dokter lebih dulu."
•••
"Astaga, kau benar-benar demam!"
Jeno terbangun ketika mendengar suara ibunya. Tangan dingin ibunya menerka suhu tubuh anaknya dengan menyentuh kening, lalu pipi. Lalu menepuk-nepuk puncak kepala Jeno pelan dan mengelus-elusnya.
"Aku harus berterima kasih padamu, Jaemin. Kau sudah di sini sejak jam 3 sore," ucap ibu Jeno pada Jaemin. Laki-laki itu hanya menjawab ala ramah-tamah orang asia. Membelai pundak juniornya, membuat Jeno sadar apa yang telah ia lakukan.
"Dia sejak setelah dari dokter, terus-terusan memeluk tanganku. Sepertinya karena tanganku dingin," cerita Jaemin ke ibu Jeno. "Bahkan saat tidur ia tak mau melepaskan tanganku."
Ingin rasanya Jeno mengubur diri hidup-hidup sekarang. Terlebih, semakin ia mendengar percakapan ibunya dan Jaemin, semakin rasa malu menggerogotinya. "Ah, dia memang manja kalau sedang sakit."
Saat ini, Jeno terlalu pusing untuk menanggapi percakapan antara ibunya dan Jaemin. Tapi disaat yang bersamaan, dia terlalu sadar untuk malu. Karena kewarasannya sedang di ambang batas, ia malah semakin erat memeluk lengan seniornya. Membuat laki-laki itu berpikir kalau kepala Jeno makin sakit dan beralih membelai helaian rambutnya. Sedikit memberi tekanan untuk memijat kulit kepala dari juniornya.
"Jeno, aku pulang dulu ya," bisik Jaemin di samping telinga Jeno. Matanya terasa berat, tapi ia hanya bisa mengangguk pelan. "Maaf."
"Buat apa?" tanya Jaemin. Tangannya masih membelai-belai kepala Jeno.
"Memeluk tanganmu tanpa izin," lirih Jeno. Jaemin hanya tertawa kecil dan menyudahi belaiannya pada kepala Jeno. "It's okay. Kamu sakit."
Senyuman Jeno pun tak dapat dibendung. Ia tak kuat berbicara lagi dan hanya melambaikan tangan kecil. "As soon you get well, kuajak kau makan jjajangmyeon. Aku tau restoran makanan Korea paling enak di kota ini," ujar Jaemin dengan semangat. "Dan ternyata kita sama-sama orang Korea," ucap Jaemin masih berbisik, tapi kali ini menggunakan bahasa Korea sepenuhnya.
Jeno hanya mengangguk-angguk pelan sambil tersenyum. Dengan lirih, ia menjawab "Nde," pada ajakan Jaemin.
![](https://img.wattpad.com/cover/348185692-288-k956717.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
This Is How Falling In Love Feels Like
FanficOrang bilang, pertemuan pertama adalah kebetulan. Tapi bagi mereka, pertemuan pertama mereka adalah takdir. Membawa mereka pada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang tidak terencana. Katanya, jatuh cinta rasanya menyenangkan. Menyenangkan seperti apa...