/9

87 11 0
                                    

"Halo, Ica!" sapa gue pada cewek berparas cantik dan manis di depan sebuah stand.

Sang empu nama berbalik karena merasa di panggil. "Eh, Leon. Halo!" Uh, female lead memang beda. Auranya terang banget.

Gue pun mengalihkan pandangan ke stand yang di depan gue.

"Lo daftar PMR?" Karena stand yang kini didatangi Ica adalah stand ekskul PMR.

"I-iya. Aku mau ikut PMR. Kalau Leon daftar ekskul apa?"

Ica di novelnya memang mendaftar PMR, tapi harusnya bareng sama Naren. Tapi gak ada tuh manusia tampan bak patung yunani dengan ekspresi muka datar sedatar tembok di sekeliling Ica.

"Eh, gue daftar basket sama teman gue," jawab gue sambil merangkul Yohan yang lebih tinggi dari gue. Kenapa gue baru sadar kalau Yohan lebih tinggi dari Leon ck.

"Eh, kamu... " Gue menoleh ke orang yang sepertinya bicara sama gue. Ternyata kakak cantik yang ngasih teh anget sewaktu di UKS!

"Halo Kak, gu—maksudnya aku, namaku Leon Kak. Makasih tehnya yang waktu itu hehe," sapa gue sambil senyum pepsodent.

Kakak cantik itu tersenyum manis semanis saat di ruang UKS waktu itu. "Oh, namamu Leon. Kakak namanya Dinda, yang waktu itu memang tugas kakak kok jadi santai saja."

Gue manggut-manggut. "Leon sama Ica sekelas, ya?" tanya kak Dinda.

"Iya, Kak," jawab gue sama Ica serempak.

"Ica daftar PMR, Leon gak mau daftar juga?"

Gue menggaruk pipi gue yang gak gatal. "Maaf, Kak. Tapi Leon sudah daftar basket."

"Hm, gitu. Gapapa haha, kalau perlu apa-apa kamu bisa hubungin kakak—oh ya mau simpen nomor kakak?"

Rejeki nomplok anak berbakti dan tidak sombong nih, hari kedua SMA sudah dapat nomor kakak kelas, cewek manis lagi. Dengan sigap gue mengeluarkan handphone dari kantong gue dan membuka aplikasi telepon.

Akhirnya kami bertiga bertukar nomor, gue, kak Dinda, dan Ica. Kalau ditanya kenapa gak Yohan sekalian, jawabannya tuh bocah udah berbalik badan dengan aura 'Gak ada hubungannya sama gue'. Ya sudah, gue yang peka kalau dia hanya malu pun diam saja.

"Tenang saja, bro. Nanti gue kasih kok hehehe."

"Udah?" tanya pemuda es batu yang sedari tadi diam.

Gue jawab dengan anggukan, sebenarnya gue gapapa sih di sini lebih lama. Tapi kayaknya Yohan mau pergi. Dan benar, karena dia mengajak gue ke stand yang jual minuman dingin.

"Wow tumben dia jalan duluan, biasanya kalau gak di samping gue ya di belakang gue."

Kayaknya dia benar-benar haus. Gue lihat jam udah pukul sebelas siang. "Pantas, udah makin panas."

Gue pun menyusul Yohan.

***

"Yon, mau kemana? Jangan bilang mau bolos?" tanya teman sebangkunya dengan tatapan menyelidik.

"Ck, gue cuma mau ke toilet." Kemudian melangkah keluar kelas.

"Gue ikut!" ujar seseorang yang kini sudah mensejajarkan langkah dengannya. Tapi bukan Leon kalau tidak bikin ribut.

"Lo mau lihat gue pipis, hah?"

Perempat imajiner muncul di dahi Tomi, secepat kilat tangannya menggeplak belakang kepala Leon yang sayanganya menempati raga sahabat satu-satunya. Ternyata sifatnya 11 12 dengan Leo, membuat Tomi semakin naik darah.

Kemarin, mereka bertiga selesai membahas masalah tentang transmigrasi Leon. Pertanyaan kritis yang diajukan oleh kakaknya menyadarkan mereka berdua yang berotak udang.

SurupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang