Via turut sedih mendengar penuturan Leon—bocah yang dua hari ini sering bertengkar dengan adiknya. Seakan Via dapat merasakan rasa kesepian dari jiwa Leon.
"Udah selesai nangisnya, hm? Kayak bocah tau."
Seketika Leon memberikan tatapan tajam pada perempuan yang sudah mendengarkannya sedari tadi.
Via tersenyum, mengelus surai bocah yang sudah dia anggap adiknya sendiri. "Tapi gue gak masalah walaupun lo bersikap kayak bocah. Karena semakin mau merawat lo sebagai adik gue."
Leon langsung membuang muka, mungkin malu. "Makasih," cicitnya.
Jiwa jahil Via muncul, menggoda kucing liar yang nyasar ini. "Apa? Gue gak denger."
"Budek lo!"
"Dasar kucing galak, haha."
"Leon,"
Keduanya menoleh pada orang yang baru saja datang.
Leon yang merasa kalau matanya merah pun langsung membalikkan badan, tidak ingin diolok-olok. Namun, itu disalah artikan oleh Tomi.
"Gue minta maaf." Tapi orang itu diam saja. Tak kunjung mendapat respon, Tomi jadi marah. "Kok diem aja sih?! Gue minta maaf nih loh!"
Via yang setia diam menyaksikan menepuk dahi.
Leon jadi terpancing. "Lo tulus gak, sih? Minta maaf kok sambil marah-marah?!" ucapnya yang heran juga dengan sahabat Leo ini.
"Y-ya elo sih!"
Leon kali ini tidak terlalu naik darah karena adu bacot dengan manusia sejenis Tomi. Dia mulai bertanya-tanya kenapa Tomi minta maaf pada dirinya. "Lo, kenapa minta maaf ke gue?"
"I-itu... gue merasa kalau lo marah ke gue. Jadi... ya gitu. Maaf," ucap Tomi lirih tanpa melihat Leon. Jujur saja, Tomi tidak pernah marahan sama Leo. Kalaupun pernah, mereka akan berbicara secara blak-blakan mengenai hal yang membuat marah, sehingga setidaknya tahu harus melakukan apa.
Tapi karena sekarang yang ada di raga Leo adalah Leon, dia tidak terbiasa, dia belum memahami jiwa itu. Tomi merasa bersalah atas sesuatu yang dia sendiri tidak tahu apa.
"Tom, lo benci sama gue?"
Pertanyaan tiba-tiba Leon membuatnya mendongak seketika. "Mana ada?! Gak usah ngadi-ngadi, deh." Tapi si anak hanya terdiam. "Lo- lo marah karena ngira gue benci sama lo?" Kini giliran Tomi yang bertanya dengan heran.
Karena tak kuasa menyaksikan drama kesalahpahaman dua orang di depannya, Via pun melangkah menengahi mereka. "Kalian ini ya, kalau ada masalah langsung bicarakan dengan jelas mau sekecil apapun itu." Lalu melihat ke arah Leon, yang menundukkan kepala. "Jangan merasa asing sama kita, Yon. Kita gak pernah benci sama kehadiran lo. Memang kita khawatir dengan keadaan Leo, tapi bukan berarti kita nolak elo. Gue sayang lo sebagai Leon, begitu juga Tomi—cuma gak bisa jujur aja tuh anak. Okay?"
Tangisnya seketika kembali pecah. Dia bukan anak cengeng, tapi Leon sungguh merasa bahagia dengan kasih sayang tulus dari dua orang yang bahkan belum genap tiga hari dia kenal.
"Ya elah, bocah cengeng."
"Gue gak cengeng!"
"Bayi kemarin sore nangis~"
"Gue gak nangis! Hiks... Huwe!"
"BERISIK KALIAN! SANA MAKAN KE KANTIN!"
***
"Kalau ada persamaan |2x – 1|=7, berapa nilai x yang memenuhi persamaan itu?"
"Empat?" jawab gue segera setelah melihat soal yang diberikan oleh Yohan. Betul, sesuai yang dia bilang kalau mau mengajari gue matematika. Jadi, sehabis pulang sekolah Yohan mampir di rumah gue dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surup
Teen FictionLeo dan Leon, duo Leonard dari dua dunia berbeda yang dipertemukan melalui sebuah mimpi. Harus berakhir dengan pertukaran jiwa antara keduanya. . . Menceritakan tentang mereka yang menjalani hari-hari dengan identitas yang bertukar. Mencari tahu pen...