/12

66 11 0
                                    

Gimana Tomi gak mengatai kedua jiwa tersebut. Bukannya menyelesaikan mesalah baik-baik malah main baku hantam. Jadi orang itu yang berkepala dingin. Begitulah pikiran Tomi.

Tenang ya semua, anggap saja Tomi kita cerminnya buram jadi agak tidak sadar diri.

Kembali pada dua sahabat tersebut.

Selepas ngedumel layaknya sedang mengucapkan mantra kutukan, Leon asal menggebrak meja, hingga menjadi pusat perhatian dari teman sekelas lain.

"Apa kalian liat-liat?! Mau gue colok lo pada, hah?!—ish apasih?"

"Duduk!" titah Tomi tertahan, menarik pergelangan Leon.

"Gak usah sok ngatur gue!" Leon berusaha melepaskan cengkeraman Tomi. Namun, walaupun sudah dikibaskan dengan keras pergelangan tangannya belum bisa lepas.

Karena merasa kalau temannya yang sekarang sangat sulit ditundukkan, akhirnya dengan terpaksa Tomi menekan tengkuk dan pundak Leon, agar bocah itu segera duduk.

Awalnya Leon ingin protes, namun Tomi sudah berbicara duluan. Wajahnya menahan emosi, suara Tomi pun penuh penekanan. "Denger, Leon. Tubuh yang lo pakai sekarang punya Leo. Gue peringatkan, jangan sekali-kali lo ngerusuh atau berbuat hal yang merugikan nama Leonard Arta Dirgantama. Paham, lo?"

Dengan sifat Leon, dia tidak mau tunduk begitu saja. Baru ingin membalas ucapan Tomi tiba-tiba seorang guru masuk ke kelas. Ternyata Pak Setyo wali kelas mereka, sekaligus guru pengampu mata pelajaran fisika untuk kelas 10. Sehingga Leon urung, memilih diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Selepas Pak Setyo meninggalkan kelas, Leon ikut keluar. Tomi yang baru membereskan buku pelajaran Fisika nya melotot pada punggung Leon yang sudah berlalu. Dia kecolongan. Padahal sehabis ini masih ada satu jam pelajaran lagi.

"Bocah itu!" teriak Tomi dengan keras karena sudah tidak tahan dengan sikap jiwa pengisi raga sahabatnya. Dengan segera dia mengambil handphonenya untuk menghubungi seseorang.

.

.

.

"Aahh!"

Di rooftop tepatnya rooftop gedung jurusan IPA. Seorang remaja lelaki tengah memukul tembok pagar pembatas hingga buku jarinya mengeluarkan sedikit darah.

Belum puas menyalurkan emosi, tangannya terulur kembali untuk meninju tembok yang tidak salah apa-apa. Sampai teguran seseorang menyelamatkan tembok tersebut. "Jangan sakiti tubuh Leo."

Leon menoleh pada tamu tak diundang. "Cih! Emang bener kakak beradik, ya. Kalimatnya juga gak beda."

"Oh? Tumben adik gue sefrekuensi," jawabnya tertawa main-main.

Leon mendengus. "Ngapain lo ke sini?"

"Adik gue khawatir sama lo," jawab Via sembari memperlihatkan chat dari adiknya.

Tadi, sewaktu dia berada di toilet adiknya mengirimi pesan singkat. Meminta dia untuk pergi ke rooftop menemui Leon. Untung saja kelasnya jam kosong sampai istirahat karena guru yang harusnya mengajar belum bisa hadir.

Sampai di sini lah dia, melihat bocah emosi memukuli tembok.

Awalnya dia tidak tahu ada masalah apa antara adiknya dengan Leon. Tapi melalui respon singkat Leon barusan, sepertinya dia bisa menebak sesuatu.

Tangannya meraih tubuh pemuda yang tingginya lebih dari dia. Walapun Leon berusaha menghindar, namun Via tetap dapat memeluknya. Punggung sempit Leo yang berjiwa Leon tersebut Via elus lembut.

Setelah beberapa saat dia merasa jika tubuh pemuda di dekapannya tersebut sudah mulai rileks. Namun, tak berselang lama tubuh itu bergetar. Suara isakan juga terdengar di telinga Via. "Seperti kucing yang dipungut Leo dulu." Elusannya tidak berhenti.

"Gue ketemu Leo di mimpi kemarin. Tapi kami gak berbicara baik-baik, kita berantem." lirih Leon.

"Gue sebel, Kak. Sebel banget!" adunya pada orang yang merengkuhnya, layaknya seorang bocah yang mengadu pada seorang ibu. Tapi Leon belum berhenti terisak.

"Hm, nanti bisa coba lagi." Via menanggapi singkat. Ia bisa merasakan jika tidak hanya itu yang membuat remaja nakal ini menangis bak anak kecil.

"Gue tahu gue bukan Leo, gue cuma jiwa yang gak sengaja nyasar. Gue gak punya keinginan buat bertahan di sini, kok." Leon menarik nafas sesenggukan. "Gue gak memungkiri kalau orang tua Leo lebih perhatian dan kelihatan banget sayang anaknya. Leo juga beruntung punya sahabat Tomi dan bahkan ada kakak kayak Kak Via yang sayang banget sama Leo walaupun gak sedarah," lanjutnya dengan suara bergetar.

"Tapi gue sadar diri... hiks... gue bukan siapa-siapa di sini... hiks... "

Setelah cukup tenang, Leon bercerita hal tadi malam. Di mana untuk pertama kalinya dia melihat secara langsung orang tua dari raga yang dia tempati.

Dia yang terbangun dari mimpi yang membuat emosi pun segera mandi untuk mendinginkan kepalanya. Merasa perutnya berteriak meminta makanan, jadi dia memutuskan untuk turun karena memang sudah waktunya makan malam.

Biasanya dia akan dihampiri pengurus rumah yang bertugas memasak, membawanya ke meja makan. Mbak Yuli namanya, usianya masih muda. Memiliki anak yang masih berada di bangku sekolah dasar. Biasanya datang pagi-pagi sekali lalu pulang ketika malam.

Tapi sepertinya makan malam hari agak telat, karena Mbak Yuli belum memanggilnya bahkan dia sudah ke bawah duluan. Namun, langkahnya berhenti ketika melihat seseorang yang sudah duduk di salah satu kursi ruang makan—seorang lelaki dewasa. Dan seorang perempuan yang awet muda—menghampirinya dengan wajah khawatir.

"Astaga Leo sayang, kamu tidak kenapa-kenapa, kan?" tanya perempuan tersebut memegangi pundak Leon. "Tadi Mama khawatir loh waktu Pak Wawan bilang ke Mama kalau kamu gak keluar-keluar sekolah, dan waktu Mama telepon gak diangkat-angkat. Leon sayang?" lanjut orang itu yang ternyata Mama Leon—maksudnya mama dari Leo.

Leon yang sedari tadi diam, mengingat-ingat wajah familiar di depannya. "Ah, mamanya Leo."

"Ah-haha, Leon—maksudnya Leo, gak apa-apa kok, Ma. Tadi Leo umm... itu—anu, oh ya! Kekunci di toilet, hehehe." Leon merasa canggung dan asing dengan perlakuan ini. Tidak pernah dia mendapat kata-kata khawatir yang terdengar manis itu terucap dari bibir sang mama—mungkin pernah? Tapi dia sama sekali tidak ingat.

Mama Leo—yang bernama Widia, menatap sendu pada putra semata wayangnya yang berbohong. Namun, dia memiliih pura-pura percaya, mungkin ada yang tidak bisa Leo katakan pada dirinya.

Dengan senyum hangat di wajahnya yang lelah, karena tadi buru-buru menyelesaikan pekerjaan agar cepat pulang, Widia menarik lembut anaknya ke kursi yang kosong. "Ayo sayang, kita makan bareng. Lihat, ada Papa juga. Jarang kan Papa kamu pulang."

Leon melihat pada pria paruh baya yang wajah dan perawakannya tidak lekang oleh waktu. Pria tersebut mengelus rambut Leo gemas. "Putra Papa makin hari makin ganteng aja, deh," ujar papa Leo dengan senyumannya yang hangat, membuat kerutan tipis di sekitar matanya semakin terlihat.

Namun, kedua pasangan itu bingung dengan respon anak mereka yang tidak biasanya. Apalagi Yudha—papa Leo, biasanya Putranya itu langsung besar kepala dan tidak berhenti membangga-banggakan ketampanannya.

Tapi kenapa sekarang malah diam, bahkan—"Lho, sayang? Kok nangis?" Anak tersayang mereka meneteskan air mata.

Leon segera mengusap matanya. Jujur saja dia terharu dengan sikap kedua orang tua Leo. Andai saja orang tuanya juga seperti Papa Yudha dan Mama Widia.

"Gak apa-apa kok Pa, Ma. Leo seneng aja Papa pulang." Leon senang, walaupun kepulangan kepala keluarga ini karena seorang Leo.

"Leo sayang deh sama Papa, sama Mama, hehe." Leon senang, meskipun semua kasih sayang yang dia rasakan malam ini untuk Leo. Dia cukup senang, setidaknya tau kalau seperti inilah kehangatan sebuah keluarga.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

<salam cinta dari Kai/>

<"Muah~"/>


SurupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang