/31

38 6 0
                                    

Saat matahari mulai condong ke barat, dua orang yang dengan kuatnya berjalan-jalan bebas di bawah terik matahari itu kembali.

"Gue yakin kalian berdua bukan vampir."

Erick yang baru datang menanggapi pernyataan gue dengan muka cengo. Tapi Allan langsung paham dengan candaan gue. "Kami berdua adalah ksatria suci yang sedang berpatroli," tegasnya dengan tatapan lurus dan meyakinkan.

Gue tersenyum lebar. Oh salah, gue bereskpresi khawatir. "Wahai ksatria, saya curiga ada dua vampir di rumah ini."

Erick melirik kami dengan tatapan yang mengatakan 'gila' lalu masuk duluan. Gue hanya tertawa dengan Allan. Lalu gue lihat Erick tengah membagikan minuman pada dua orang yang dicurigai sebagai vampir. Ah, udah deh, yang tadi bercanda. Erick membagikan minuman kepada Yohan dan Naren yang duduk di kursi ruang tamu.

"Wih, apa itu."

"Ini darah," jawabnya.

Gue seketika tergelak, lalu mengambil satu darinya. "Ini es cincau?" tanya gue saat mengamati tampilan dari minuman dalam cup plastik ini.

"Mirip, tapi ini namanya es daluman," jelas Allan yang datang dari belakang gue, mengambil satu cup juga dari Erick. Ternyata mereka berburu es siang tadi.

Setelah sesi minum es yang dibelikan Allan dengan murah hati, kami pergi ke pantai.

Walaupun sekarang setengah empat, tapi ternyata masih cukup panas. Gue memilih pakai kaos putih pendek dan celana pendek berwarna baby blue. Gak lupa kacamata hitam yang bertengger di hidung mancung gue—hidung Leon maksudnya.

Bau asin air laut terbawa angin, menusuk indra penciuman pengunjung. Pasir putih yang berkilauan membentang luas. Buih-buih putih terbentuk setiap kali ombak datang, menyapu jejak kaki yang tercetak di pasir pantai. Hamparan biru air laut memanjakan mata, dengan deburan ombak menjadi melodi latar belakang.

Mungkin para penulis novel akan menuliskan narasi demikian tentang pemandangan di depan mata gue. Gak perlu hiperbola, karena deskripsi apa adanya aja udah menggambarkan keindahan alam yang gue lihat sekarang.

Gue masih agak enggan pergi dari beach sun lounger yang nyaman ini. Tapi setelah matahari mulai turun, gue pun akhirnya meninggalkan novel yang sempat gue bawa. Kadang lo harus keluar dari zona nyaman, kan?

Permukaan laut yang awalnya biru cerah mulai diwarnai oranye. Angin maupun air yang menyapu pergelangan kaki gue terasa dingin, sangat menyegarkan. Gue berdiri di tepi pantai dengan kaki yang sesekali disapa ombak, mengamati lautan dan cakrawala yang diwarnai dengan warna serupa, bahkan batas antara keduanya hampir kabur.

Gue berpikir, apa batas antara dunia gue dan Leon?

Memangnya bagaimana hubungan dunia kami? Berdampingan? Atau seperti dua mata koin? Atau sebenarnya tumpang tindih? Gue gak tahu. Gue gak bisa berpikir sampai sejauh itu, emangnya gue Albert Einstein yang menemukan hukum relativitas?

Untuk saat ini gue akan mengesampingkan hal-hal rumit dan gak masuk akal itu. Kan sekarang gue lagi liburan. Gue menyaksikan langit yang berubah gelap, kalau dipikir-pikir sangat mirip dengan langit di setiap mimpi aneh gue.

Di tepi pantai yang mulai sepi, asap dari daging panggang bercampur dengan aroma asin laut. Kami bertiga menyerahkan pekerjaan meracik bumbu dan memanggang pada orang yang lebih profesional, siapa lagi bukan Yohan dan Naren. Pekerjaan kami adalah mencicipi setiap daging dan sayuran panggang yang sudah matang.

Gue mengingat-ingat lagi, kapan tarakhir kali gue menikmati suasana ramai dan hidup di tengah-tengah orang seusia gue seperti ini? Jawaban datang dengan cepat. "Ternyata gak pernah."

SurupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang