49. Happy Version

181K 9.6K 745
                                    

"Aily, bangun! Ailyyy bangun!" Marvel mengguncang tubuh Aily yang tertidur di kursi penunggu ruang operasi yang terbuat dari besi dan bercat putih. Peluh hampir memenuhi dahi Aily. Ia bangun dan sepertinya syok. Entah, apa yang membautnya syok.

"Anva... Anva nggak mati, kan? ANVA MASIH HIDUP, KAN?" tanya Aily kepada Marvel. Marvel kebingungan. Aily seperti orang kesurupan. Ia berteriak sampai hampir terdengar di ruang tunggu rumah sakit Kawasan Jakarta Selatan.

Seorang penjaga keamanan berusia sekitar 30 tahun, berjalan ke arah mereka dan mencoba memberitahukan untuk tidak mengeluarkan suara terlalu keras. Sebenarnya, ini juga bukan maunya Aily, ia syok apa yang dilihatnya dalam mimpinya saat tertidur di kursi tunggu ruang operasi. Di sekitar mereka, ada dua orang wanita paruh baya dan remaja berusia sekiar 19 tahunan yang terheran melihat kelakuan Aily dan Marvel.

Dalam ruangan bernuansa krem dan ukuran 4 x 6 meter persegi tersebut, Aily dan Marvel masih terpaku. Aroma pengharum rumah sakit masih terasa di penciuman keduanya.

Tiba-tiba... Kringgggg... kringgg. Marvel berjalan ke arah telepon di ruang tunggu operasi yang terletak di pojok kanan  dekat pintu masuk.

"Ya, halo?"

"Dengan keluarga Canva Narendra?"

"Iya, benar."

Aliy lamat-lamat mendengar pembicaraan Marvel dengan seseorang di telepon yang sepertinya sangat serius. Rasa penasarannya membuncah karena ia hanya mendengar samar-samar. Sepertinya, membicarakan tentang orang yang disayanginya, Canva.

Tak lama kemudian, terdengar suara Marvel menutup gagang telepon di ruang tunggu, lalu berjalan menuju Aily. Namun, derap langkahnya kali ini agak bersemangat, tidak seperti tadi.

"Aily, kata dokter Canva..."

"Anvakenapa?"

***

Hijaunya taman rumah sakit tidak dapat membantu pria paruh baya itu menghilangkan rasa takutnya. Peluh yang mengalir dari guratan-guratan wajahnya itu berulang kali jatuh hingga membasahi seluruh bagian tubuh.

"Andai saya bisa fokus untuk rawat dia, anak saya pasti nggak akan sehancur ini."

Remaja laki-laki di sampingnya menoleh, melihat wajah khawatir yang tergambar jelas di wajah kebapakan itu. Tidak ada yang dapat dirinya lakukan, sebab kepribadiannya bukan lah seorang yang banyak bicara, tetapi satu tangannya terangkat untuk mengelus pelan punggung yang mulai membungkuk itu. "Canva pasti baik-baik aja, Om. Dia anak yang kuat."

Namun, sepertinya kata-kata dari laki-laki bernama Marvel itu tidak mujarab. Buktinya, ayah dari sahabatnya itu justru semakin mengalirkan air mata kesedihannya.

"Dia kuat karena terpaksa keadaan. Dia kuat karena harus menjadi dewasa sebelum waktunya.... Dia... harus menanggung beban sendirian saat orangtuanya egois pergi ninggalin dia... Dia terlalu muda untuk ngerasain semua sakit itu sendirian."

Kemudian, tangis itu pecah. Baru pertama kali dalam hidup Marvel melihat sosok ayah yang begitu lembut hingga mampu mengalirkan air matanya. Bagi Marvel, tidak ada yang egois di antara anak maupun orangtuanya. Mereka hanya berada di dalam kondisi yang tidak tepat. Marvel hanya dapat berdoa, semoga... rasa bersalah yang terpendam dalam diri orangtua Canva dapat terbayar dengan... sebuah keajaiban.

Sudah cukup sahabatnya ini tersiksa. Sudah cukup segala rasa sakit itu merenggut kebahagiaan sahabatnya. Kali ini, Marvel menengadahkan kepalanya, mencari eksistensi Tuhan untuk memanjatkan sebuah harapan.

Seperti itu lah manusia, ketika bingung dan lemah, bersujud adalah sebuah jawaban yang mampu merealisasikan semua harapan itu.

"Lo... bisa bertahan, kan, Va?"

***

Sudah hampir dua jam pasca-operasi, perawat masih belum mengabari apakah Canva akan tetap berada di dalam ruang observasi atau sudah dapat dipindahkan ke kamar perawatan. Entah mengapa, waktu dua jam itu terasa seperti berjalan selama dua tahun lamanya. Sangat menyiksa.

Setelah berbicara berdua dengan ayah Canva, Marvel masuk kembali ke dalam, menunggu hasil terbaik dari perjuangan panjang yang telah Canva jalani selama ini. Ia mengangkat tangan kanannya dan melihat ke arah jam tangan, tersisa 15 menit lagi....

Mata Marvel pun mengarah ke sosok gadis berambut panjang di kursi tunggu. Meskipun pandangan matanya kosong, Marvel dapat tahu jika pemilik nama Aily itu sedang berperang dengan dirinya sendiri, mengafirmasi diri jika Canva... teman lelaki baiknya itu... akan baik-baik saja setelahnya.

Baru saja Marvel ingin menghampiri, tetapi bunyi pintu bergeser pun terdengar dari arah ruang operasi sahabatnya. Ia menoleh, mendapati dokter dan beberapa perawat bermasker dan pakaian serba hijau itu keluar dari dalam ruangan. Tampak jelas lelah di wajah mereka, tetapi hal itu bukan sebuah kepentingan bagi Marvel, ia hanya peduli hasil dari operasi di dalam sana. Jadi, sebelum dokter bertanya mengenai siapa-siapa saja yang menjadi keluarga dari Canva, ia langsung mengajukan pertanyaan cepat. "Dok, gimana keadaan Canva?"

Dokter menghela napas panjang, dibukanya masker kesehatan dari wajahnya untuk menghirup udara segar. Kemudian, dokter itu pun berkata, "Operasi sudah berjalan dengan baik. Pasien Canva—"

"DOK, SATURASI OKSIGEN DAN RITME JANTUNG PASIEN MENURUN. SATURASI BERADA DI ANGKA 80% DAN RITME JANTUNG DI 49 BPM, DOK!"

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ECCEDENTESIASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang