Sore itu, Marvel hanya duduk melamun di rumah pohon. Dia membiarkan kakinya menjuntai ke bawah dengan sesekali mengayunnya. Rumah pohon itu telah menjadi tempat di mana Marvel menemukan ketenangan, membiarkan setiap emosinya terurai di antara dedaunan dan rindangnya cabang-cabang pohon. Sebulan sudah berlalu sejak kejadian paling mengerikan di hidupnya terjadi. Namun, sampai sekarang, Marvel masih tak menyangka kalau dia berhasil melewatinya. Ada sekelumit kelegaan dalam dirinya, tapi ketakutan itu masih terus menghantuinya setiap hari. Seharusnya, dia tak perlu mengingatnya kembali. Apa lagi mengkhawatirkan sesuatu yang sudah terlewatkan.
Marvel mengembuskan napasnya dengan berat yang entah sudah kali ke berapa. Dia mendongak ke langit, membiarkan sepoi-sepoi angin menyapu wajahnya. Dia pikir, rumah pohon ini akan menjadi trauma yang paling dalam di kehidupannya. Tapi ternyata, semesta punya rencana lain. Rumah pohon yang menyimpan banyak kenangan ini, ternyata masih akan berlanjut.
"DOR!"
Marvel tersentak kaget saat seseorang mengejutkannya dari belakang. Bukannya meminta maaf, orang itu justru tertawa terbahak-bahak karena ekspresinya yang mungkin terlihat konyol.
"Lucu begitu?" Marvel memutar bola matanya malas.
"Lucu banget, lah!" jawab Canva setelah meredakan tawanya. Dia kini ikut duduk di sebelah Marvel, merangkul pundak sahabatnya itu. "Lo kenapa, sih? Murung mulu gue liat-liat."
"Lo pikir sendiri aja."
"Idih. Dinginnya abang ini." Canva menjauhkan tubuhnya dari cowok itu dengan ekspresi yang seolah-olah dibuat takut.
Marvel berdecak kesal. "Seneng lo begitu?" tanyanya sinis.
Canva terkekeh pelan lalu kembali mendekat ke samping Marvel. "Lo nggak seneng kalau gue sembuh, Vel?"
Marvel mengedikkan bahunya. "Biasa aja."
"Masa, sih?" Canva menautkan alisnya bingung. "Bukannya kata Samuel lo nangis sampe berha–"
"Diem atau gue jorokin ke bawah," potong Marvel, tak membiarkan Canva meroastingnya seperti itu.
Canva kembali tertawa karena tingkah sahabatnya. "Gue seneng rumah pohon ini nggak jadi dijual, Vel," ucapnya dengan perasaan lega. Pandangannya kini menyapu setiap jengkal dari rumah pohon yang penuh dengan coretan tangan mereka.
"Emang gue pernah bilang mau ngejual rumah pohon ini?"
"Kan siapa tau lo nggak punya duit, Vel.
"Va, gue nggak semiskin lo by the way."
"Dih parah banget."
Marvel akhirnya bisa tertawa geli setelah itu. Dia juga ikut memperhatikan rumah pohon yang Marvel bangun sendiri waktu itu. "Gue mungkin nggak akan dateng ke sini lagi kalau lo nggak ada."
"Kenapa gitu?" tanya Canva.
"Dateng ke sini sama aja kayak kita membuka luka lama. Mungkin kalau udah beberapa tahun ke depan, gue baru bisa balik ke sini."
Canva tersenyum tipis mendengarnya. Dia tak menyangka kalau Marvel akan sebegitu hancurnya ketika dia mengalami fase sulit kemarin. Dia pikir, Marvel akan kembali menjalani hari-hari seperti biasa setelah dirinya tidak ada. Kenyataannya, bahkan setelah dia sembuh dari sakitnya, sahabatnya itu masih ketakutan. Seolah kejadian kemarin menumbuhkan trauma yang paling dalam di diri Marvel. "Thanks udah nemenin gue sampai di titik ini, Vel."
Marvel menipiskan bibirnya. "Thanks juga karena nggak pernah berhenti percaya kalau Tuhan masih ngasih kesempatan."
****
Segitu aja yahh hehehehe 😁
Buat yang belum beli ecce versi novel,
kuy ikutan Pre Order versi happy endingnya tanggal 29 Januari 2024Sampai jumpa di versi terbaik Ecce guysss hihihi
Versi sad ending tetap ada, yaaaa, tergantung kalian lebih suka yang manaa.
Versi happy ending akan diubah 20%nya. Jadi nggak berubah 100% yaaa. Hanya bagian menuju akhir saja.
Terima kasih semua!