Bab 5-Kekanakan

8 1 0
                                    

"Papa kamu?" Dirga tercekat. "Ada di sana?"

Dirga jadi semakin yakin, ada gap waktu panjang antara waktu sekarang dengan Adilla di seberang. Yang ia belum tahu, seberapa jauh rentangnya?

Terdengar suara biiip panjang tanda Adilla menggabungkan dua panggilan, sebelum suara bariton papa mendistorsi pendengarannya. "Ini siapa?"

"S-saya...." Dirga tergagap. Ia sungguh merasa aneh, karena pada kenyataan, ayahnya sudah lama menerima kepergian Adilla, meski ia pun mengerti karena mereka memiliki nasib yang hampir sama. Bedanya, Rahman telah siap kehilangan, sedangkan Dirga kembali harus mendapat kejutan seperti saat kedua orangtuanya berpulang.

"Itu Dirga, Pa," Adilla menjelaskan.

"Oh, anak memalukan itu. Eh, kau dengar, Baby Hui. Tolong kau jaga rumah dan anak perempuanku yang berharga. Ingat, kalau dia sampai lecet, mati kau di tanganku!"

Mungkin jika hal itu terucap belasan tahun yang lalu, ia hanya akan tertawa miris di belakang, tetapi saat ini, semua terasa sangat ganjil baginya. Karena pada kenyataannya justru ayah Adilla yang memintanya untuk melepasnya.

"Abah, ih, minta tolong kok begitu sih. Maaf ya, Dirga"

Dirga mendadak kelu untuk merespon bagaimana. "S-Siap, Pa."

Terdengar tawa renyah Adilla.

"Pa? Kamu manggil saya apa? Memangnya saya ini Papa kamu." Dirga memukul bibirnya, saat itu kan mereka masih remaja dan bertetangga. Ia biasanya hanya akan memanggil Om.

"Baik. Om," Dirga membenahi perkataannya.

"Bagus. Nanti kubawakan oleh-oleh."

Seingat Dirga, ia pernah menghabiskan waktu begitu banyak bersama Adilla, hanya saat ia berada di kelas sepuluh. Papa menghabiskan satu bulan penuh perjalanan bisnisnya. Jadi, jika dikalkulasi, itu berarti usia Adilla masih sekitar 15 tahun berjalan.

Akhirnya, satu misteri terpecahkan. Namun, mengapa ia dibawa pada masa ini? Dirga masih mencoba mengingat, sewaktu sambungan telepon Rahman terputus.

"Dirga, masih di situ?"

"Iya, masih tersambung." Gagal. Ia sama sekali tak mengingatnya.

"Makasih sudah mau menjagaku."

"Kenapa? Kok aneh pake aku-kamu."

"Kamu mah ngerti, kalau aku lagi baik kan gimana."

"Jadi ceritanya lagi baik nih?"

"Jangan mulai lagi, Dirga imut."

"Aku emang imut." Dirga tersenyum lebar, berhasil memancing sisi menggemaskan gadis itu.

"Baby Hui."

"Buntelan kentut."

"Baby Huiiii!"

"Tau, ah!"

"Ke sini lo kalau berani!"

Dirga seketika bungkam. Ia ingin. sangat ingin ke sana, bertemu dengannya, bahkan melanjutkan pertengkaran gaje mereka.

"Kamu pingin aku ke sana?"

"Enggak. Udah maalam ini."

Dirga melihat cahaya yang membasuh sebagian tanah. Matahari baru beranjak semakin tinggi. Bagaimana bisa waktu mereka tertukar, seolah berada di negara lain, atau karena itu adalah waktu di alam lain?

"Nyuruh tapi batalin sendiri"

"Dih, biasanya kalau diminta juga enggak mau. Kekanakan tau enggak."

Kekanakan. Tanpa sadar ia merasa tersindir. Benar juga. Dirinya ini sangat kekanakan. Pergi dari rumah, membantah perkataan orang tua, terlalu labil untuk pria dewasa berusia hampir 30 tahun.

"Adilla, cuma kamu yang ngerti aku, ya."

MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang