Chapter 2- Sesuatu yang Terlupa

17 3 1
                                    

Kelopak mata Dirga perlahan bergerak-gerak membuka. Ia merasakan pening yang menyakitkan hingga penglihatannya sulit terbuka lebar. Dirga meremas kepalanya dan menyadari tangannya yang dibebat dengan kasa.

Ia belum mati ternyata, pikirnya miris. Padahal, hari ini, saat ini, ia mengharapkan kematian menyusulnya lebih dulu bahkan sebelum ia membuka mata. Itu yang selalu ia harapkan dalam selama sepuluh tahun tanpa Adilla.

Dirga bangkit dari posisinya semula, membidik jam yang menunjukkan pukul empat pagi lewat lima. Itu juga jarang ia lakukan. Ia biasanya tak akan tertidur lelap meski menggunakan obat tidur sekalipun.

Kepalanya mencoba mengingat apa yang terjadi. Kekacauan yang ia buat semalam telah dibereskan. Saat seperti itu biasanya Nana akan menyembunyikan foto Adilla yang berharga. Ia membuka laci nakas. Dielusnya bingkai di dalamnya dengan tatapan memuja,

Ia tidak keberatan melakukan hal serupa selama hidupnya. Membayar harga untuk sebuah kenekatan membawa masa lalu yang seharusnya ditinggalkan.

Dirga bergegas memasuki kamar mandi, setelah melaksanakan ibadah, ia memilih kemeja. Ia akan tetap ngantor, dalam keadaan apapun, bukan karena ia workaholic, melainkan karena berdiam diri hanya akan membuatnya lebih terpuruk.


Ketika Dirga keluar dari kamarnya, Nana tengah mempersiapkan sarapan dengan Ruwi yang memasak. Dirga duduk di salah satu kursi meja makan, Nana tersenyum teduh padanya.

"Sudah lebih baik?" Dirga mengangguk untuk meringankan kekhawatiran neneknya.

"Pagi, Bang Dir!" Ruwi yang masih mengenakan apron bergambar hello kitty menyapanya dengan ceria di dapur yang masih dapat terlihat dari ruang makan.

"Ini kopi mocca sama kue kesukaan kamu."

Cangkir yang masih mengepul dan sepiring kroket kentang kesukaannya terhidang di depan mejanya. Nana selalu mengerti cara mengembalikan moodnya.

Dirga memaksakan senyum. Ia menggigitnya sebuah.

"Enak, kan?" Nana menanti reaksinya. Dirga mencoba menelan dengan sekuat tenaga, menahan tangis yang ia bendung susah payah.

"Maafkan aku." Dirga memeluk dada Nana yang menjadi lebih tinggi dari posisinya.

"Apa rasanya tidak enak?"

Dirga menggeleng pelan. "Rasanya enak."

"Terus kenapa minta maaf?"

Ia tak menjawab, Nana sendiri juga pasti mengerti dengan maksud permintaan maafnya tadi.

Ruwi yang melihat itu, tak ingin memaksa masuk, jadi ia membiarkan keduanya membagi kekuatan, memalingkan wajahnya yang telah memerah karena sebab menahan tangis.

"Kalau begitu segera habiskan."

Dirga melepas pelukan dan mulai makan sesuai arahan Nana. Perutnya terasa lapar karena kemarin ia lupa makan seharian. Nana mengelus kepala Dirga yang terlihat seperti anak anteng yang tengah makan makanan kesukaan di matanya.

"Dir, Nana nemu HP jadul yang terjatuh. Punya kamu?"

Dirga terkesiap. HP terkutuk itu ternyata bukan mimpi. Tentu saja bukan mimpi, melihat perban baru di tangannya.

Dirga memejamkan mata sesaat, ia akan membuang benda itu nanti. Jangan sampai lagi-lagi moodnya dirusak dengan tipuan murahan suara Adilla.

"Iya."

Dirga sudah beranjak ke kantor saat Nana menepuk pundak Ruwi yang menangis tersedu sedan.

"Ada apa, Ruwi?"

MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang