Chapter 4- Selamat Pagi, Dirga

10 1 0
                                    

"Selamat pagi, Dirga."  Sapaan hangat itu bukan lagi mimpi belaka.

Ia terjaga, namun enggan mematikan alarm bersuara Adilla yang bergaung berkali-kali di kamarnya. Semalam, Dirga tidur nyenyak sekali, meski ia tak mengkonsumsi obat apapun

Ketukan di pintu yang kemudian menghentikan kicauan selamat pagi Adilla. Tepatnya sudah hari kedua dan telepon itu tak lagi memanggilnya. Entah apakah Adilla benar-benar marah padanya saat itu, sehingga tak berniat menghubunginya kembali. Masih ada satu misteri yang ia ingin tahu tentang usia Adilla saat ia menelpon. Kalau tidak salah gadis itu pernah mengatakan mengenai eksperimen Biologi. Mungkinkah berkisar saat mereka SMA?

"Aku sudah bangun, Nana." Teriakan Dirga berhasil menghentikan ketukan itu, tak berselang sepuluh detik suara ketukan lain terdengar. Ada apa sih? Dirga menggerutu sepertinya Nana belum mendengar teriakannya.

"Ada apa, Nana?"

Saat ia membuka pintu, ia tak mungkin keliru mengenali pria berkeriput dengan hidung lurus tajam dan swollen eyes yang menatapnya tajam.

"Papa."

Pria itu tersenyum menanggapi keterkejutannya. Dirga beralih melihat Nana di sebelah pria itu, tampak khawatir.

"Ayo ke masjid bareng Papa, sebelum kita bebincang-bincang. Banyak hal yang ingin Papa bicarakan."

Dirga tidak memprediksi  apapun yang hendak dibicarakan pria paling penting bagi wanita yang ia cintai itu. Tetapi dia menurut untuk mengikuti keinginannya.

"Kenapa pagi sekali datang ke sini?" Dirga memulai pembicaraan sepulang dari masjid.

"Nana kamu minta Papa ke sini untuk menemani."

"Menemani?"

"Kamu enggak ingat?"

Dirga memutar ingatannya untuk menggenapi penjelasan Rahman. Ia ingat saat Nana tampak bersedih karena sebuah telepon, Saudari Nana, Oma Syafa sedang dirawat karena Diabetes.

"Nana."

"Ada apa?"

"Nana apa enggak mau jenguk Oma Syafa?"

"Ituu gampang. Bisa kapan aja."

"Aku benar-benar sudah enggak apa-apa kok, kalau memang aku yang membuat Nana berat."

Nana memandang ragu. Dia selalu merasa tak tenang meninggalkan Dirga sendirian, sejak tujuh tahun yang lalu. Ia tak ingin kejadian beberapa hari yang lalu terulang kembali. Hasilnya adalah keberadaan Rahman saat ini.

"Aku sungguh-sungguh bisa sendiri, kalian terlalu mencemaskanku."

"Setidaknya, kamu bisa ikut Papa selama Nana tidak ada."

"Aku bukan anak kecil. Aku bukan anak laki-laki delapan belas tahun yang kalian perlu khawatirkan. Aku sudah dewasa!"

Rahman mengerti perasaan Dirga. Namun, mengingat kejadian yang diceritakan Nana, Rahman tak mungkin meninggalkan pria itu dalam keadaan terguncang.

"Kami tahu, Nak. Papa hanya ingin menghabiskan waktu bersama kamu."

"Bohong! Kalian melakukan ini karena kalian tidak percaya padaku."

"Kami percaya."

"Kalau begitu tinggalkan aku sendiri."

"Dirga."

"Aku tidak butuh siapapun!Aku hanya ingin hidup bersama kenangan, kenapa kalian selalu ingin aku melupakan!"

"Sudah sepuluh tahun,  Dirga, tetapi kamu masih terjebak di masa lalu."

"Tidak akan ada yang berubah."

"Dirga! Adilla sudah tiada. Sadarlah!"

"Adilla masih ada, Pa. Dia bahkan menelponku kemarin."  Ia tak berbohong, tetapi siapa yang akan mempercayainya saat ini.

"Dirga, jangan seperti ini, jangan kembali menjadi diri kamu sepuluh tahun yang lalu. Relakan dia. Kamu pikir dia akan bahagia kalau kamu masih juga belum berpindah darinya? Jangan buat Adilla kecewa."

Sepuluh tahun telah berlalu. Ia baru menyadari sudah begitu lama ia sendiri menanggung kesepian ini. Perkataannya mengingatkan Dirga tentang kebersamaan mereka di taman bunga. Ketika Adilla bertanya padanya suatu hari.

"Jika aku mati, apa kamu akan menangis?"

Dengan dingin Dirga menjawab tidak, karena disangkanya gadis itu melantur seperti kebiasaannya. Siapa sangka itu dianggap sebuah janji untuknya.

"Syukurlah," ujar Adilla kala itu, membuatnya tertegun.

Saat kepergiannya,  ia menepati janji, ia tak menangis. Ia memang tak menangis, bukan karena menepati janji, tetapi karena rasanya begitu sakit sampai air matanya kering. Dirga tak mampu berbicara, ia mendadak bisu, kehilangan gairah, tatapannya kosong mengarah ke depan tanpa memperdulikan sekitar. Ia bak robot yang kehilangan satu komponennya, bak anak ayam kehilangan induknya, bak melompat ke dalam lautan kaktus berduri.  Lalu ia  mulai berhalusinasi melihat Adilla di sekelilingnya, setiap hari selama tiga tahun penuh menyendiri.

Adilla ada di mana-mana. Tak mengapa jika ia tak bicara, asal ia tetap di sisinya, Dirga akan baik-baik saja.

Hingga kemudian orang-orang yang khawatir mulai bergerak menyadarkan Dirga dari mimpi, agar ia dapat mengeluarkan air mata pertamanya. Saat itu ia telah kembali, dan bayangan Adilla pun akhirnya ia sadari hanya mimpi dan menghilang.

Nana menatap khawatir pertengkaran keduanya. Rahman sangat emosional, membuat Dirga benar-benar lepas kendali.

"Kalian tidak akan mempercayaiku, bukan? Kalau begitu percuma saja."

"Kamu salah memahami, Dirga. Kami tidak pernah meminta kamu melupakannya. Tidak, Nak."  Rahman mencoba menggapai pundak Dirga yang memalingkan wajah. "Hanya saja kehidupan akan terus berjalan untuk kamu, Dirga, jangan mengabaikan hidup kamu juga. Kami selalu berdoa, agar suatu hari, kamu akan mendapatkan pengganti, hanya itu yang kami inginkan."

Dirga menepis, ia berlari keluar rumah, Hujan baru saja turun saat itu. Dirga mencegat taksi yang lewat, mengabaikan seruan panggilan kedua orang di belakangnya.

Mereka tidak akan membiarkannya sendiri, Dirga sangat mengerti. Ini karena ketidakmampuannya untuk menahan, karena dirinya yang sulit melupakan. Ia hanya tak ingin memberi harapan dan justru membuat mereka kecewa. Ia tak bisa menyembunyikan, tak bisa berpura-pura baik-baik saja, tak bisa pura-pura bahagia uuntuk membuat mereka bahagia. Ia lelah, sangat lelah.

***

Seperti bulan yang merindukan mentari, sebesar itulah dirinya menginginkan gadis itu kembali. Dirga, setelah sepuluh tahun, bahkan tak pernah menjajakan kakinya di gundukan tanah bertancapkan batu nisan itu, tahu-tahu kakinya menuntunnya kemari.

Masih lengkap ia berpakaian ibadah, baju putih, celana hitam dan peci. Dirga berjongkok, mengamati gundukan tanah kering yang sebagian bersih, banyak rumput-rumput baru yang bermunculan. Ia membersihkannya, menyiramnya. Menebar bunga kesukaannya, dan berdoa. Dirga menatap nisan itu yang dulu seseorang yang terbaring di dalamnya begitu ia cintai secara diam-diam. Ia menyesal, karena tak memberinya kenangan yang layak dikenang.

"Sudah sepuluh tahun, Dil. Kamu masih sama, aku pun masih sama saja. Tidak ada yang berbeda, bukan?" Dirga mengusap nisan itu perlahan. "Aku datang, Dil. Aku datang. Maaf, sudah membuatmu menunggu lama."

Dirga menyadari seketika saku bajunya bergetar, bukan HP miliknya, karena telah ia tinggalkan. Getar itu berasal dari HP milik Adilla. Ia melihat nama Adek dan begitu saja kegembiraah meruah.

Mereka tidak ada yang percaya, tetapi Adilla langsung memanggilnya. Dirga berdiri. Kali ini ia tak menangis. Membersihkan celananya dari tanah, Dirga bangkit, tetapi tangannya terasa berat untuk mengangkat.

Pada dering kelima, ia menyerah. Meletakkan HP itu di telinganya. Samar-samar suara Adilla terdengar.

"Hallo. Dirga, Papa ingin bicara."

***

Tbc.....


MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang