Bab 9-Pesta Pertemuan

6 0 0
                                    

Menuruni tangga dapur sembari mengucek kedua matanya, Dirga sedikit tercengang melihat ibunya yang sangat jarang memasak kini tengah memotong sayuran. Ia tak salah mengenali itu ibunya, Rambut hitam bergelombang itu jelas milik ibunya, bukan Mbok Hartanti atau siapa saja yang diingatnya.

Mula-mula, ibunya memotong sayur kecil-kecil, lalu mengupas bawang dan rempah dengan kecepatan tinggi sebelum memblendernya. Di atas dua kompor terdapat wajan dan panji berukuran sedang. Ibunya beralih pada panci, mengaduknya lalu memasukkan cairan berwarna putih, lalu kembali memotong yang lain. Ibunya sangat fokus mengerjakan pekerjaannya.

Selama lima menit Dirga memperhatikan. Gerakan ibunya sangat cepat, seperti demo masak di TV yang pernah ditontonnya. Ia jadi semakin mengagumi.

Merasa diperhatikan, Almira menyadari kehadiran anaknya di tangga.

"Dirga sayang, sudah bangun. Kamu ngapain di situ?"

Dirga yang tertangkap basah mengintip ibunya segera turun dan memeluknya.

"Mama hebat," ujar Dirga, bangga.

"Eh? Kok bisa?"

"Mama kenapa masak? Mama kan enggak suka masak?"

Almira tersenyum sembari terus memasak. "Dirga mau bantu?"

"Mau mau."

"Kalau begitu mandi dulu, nanti masakannya bau lagi."

"Iya iya Dirga mandi sekarang ya, Ma. Tunggu aku."

Almira memperhatikan dengan tawa, anaknya yang berlari masuk ke kamar.

Ia tak bisa mengatakan alasannya memasak saat ini, tidak akan jadi kejutan lagi nanti.

Dari arah pintu, Bram menahan tawa. Ia meminta cuti sehari sehingga tak bekerja.

"Kenapa Mama ngerjain Dirga?"

Bram mendekat lalu memeluk pinggang istrinya yang tengah sibuk menuang sesuatu dari nampan, menempelkan kepala dan menciumi rambut wangi istrinya.

"Biar dia mandi. Papa kan tahu sendiri di hari Minggu, Dirga mandinya sulit sekali."

Dirga yang berada di ambang tangga, mendengarnya. Niatnya ingin menanyakan handuk kesayangannya, lalu mengurungkan niatnya melihat keduanya.

"Mama!" protes Dirga, tangannya berkacak pinggang seperti bos . Ia pun mendekat ke arah keduanya, menjauhkan Bram dari Almira dengan segera. Anak itu selalu iri jika papanya lebih dekat pada Almira. Hal itu dimulai sejak usianya lima tahun, Dirga semacam terkena sindrom complex ringan.

"Papa enggak usah dekat-dekat. Aku pokoknya enggak mau mandi kalau enggak sama Mama."

"Mama sibuk loh, sama Papa aja ya."

"Enggak mau!" Dirga bersikukuh.

Bram memberinya pengertian, ia menyejajari tinggi bocah enam tahun itu dan menatap tepat di matanya. "Dirga kan anak pintar, jadi bisa mandi sendiri. Kalau nanti Mama ikut, masakan jadi enggak enak. Dirga mau ganti masak?"

Dirga kecil terlihat berpikir. "Tapi nanti Dirga jangan diketawain."

"Ih, siapa yang ngetawain? Enggak ada kan?" Almira mengangguk-angguk, membenarkan. Dirga mengembungkan pipina, tanda ia memikirkan tawaran itu berguna baginya atau tidak.

MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang