5

4 0 0
                                    

Alula Patricia 

Jadi orang yang hanya bisa bersembunyi di balik perasaan nya itu bebal banget tau gak sih. Kalo dipikir-pikir udah sejak lama gue dan Ichika berteman. Ichika orang ke dua yang tau hubungan tanpa status gue dengan Auriga. Dia juga tau gue sahabatan dengan Cakrawala, Boleh di sebut dia itu teman sehati dan semati gue. Gadis itu yang jadi samsak gue kalau gue lagi kesel ke Cakrawala.

"Jadi renov kamar bokap?"

"Jadi...Cakra yang beresin."

Americano iced lebih menarik untuk gue sesap saat ini. Sebenernya gue belum siap nyentuh barang-barang bokap. Apalagi harus pindahin benda-benda itu ke dalam gudang.

"Lo sama Cakra beneran gak pake hati kan? Kalau pun pake hati itu ada baiknya juga La"

"Ogah." Kenapa gue ogah pake hati berteman dengan Cakra karna kalo gue pake hati, gue gak mau menyaksikan nasib pertemanan kita jadi hancur lebur. Karna gue gak mau kehilangan Cakra barang sedikitpun.

"Eh, tapi gimana kalo Cakra yang pake hati sedangkan Lo ngga" bangga nya dia. Astaga gue bodo amat dengan itu

, yang penting Cakra gak ada niatan buat ungkapin itu ke gue.

"Si Cakra itu buaya Ci, dia gak bakal mau sama gue yang tepos. Dia mah tipe nya yang bohay."

"Orang berubah itu sangat gampang La, bisa aja dia menjadi Buaya karna mengalihkan perasaan dia buat Lo gitu." Ujarnya saat ini. Dan gue tau pembicaraan ini akan berakhir seperti apa.

"Gak jelas banget sih bahasan Lo. Udah ah mending cabut, bentar lagi pak bara ngajak meeting."

Gue mencoba mengalihkan pembicaraan dengan mengajak dia balik ke kantor.

Gue gak ingin menghancurkan pertahanan diri gue dengan mengungkapkan apa yang sebenarnya gue rasa, Gue gak mau Cakra

melibatkan perasaan nya juga.

Gue tidak ragu untuk mengajak Ichika kembali ke kantor, berhasil.  Perempuan itu tidak lagi membahas apa yang terjadi dengan gue dan Cakrawala. Tetapi hal yang tidak terduga datang, semuanya menjadi buyar ketika langkah Ichika berhenti dan pandangan nya lurus kedepan menunjuk ke sebuah Ducati hitam. Disana Orang yang benar-benar gue hindari sedang menatap ke arah tempat gue dan Ichika berdiri.

Mati gue..

Darimana dia tau gue dan Ichika ada disini.

Kami sama-sama hilang kendali untuk menghindar, Gue mengalihkan pandangan ke layar hp dan kembali lagi menatap Auriga. Masih sama, tidak ada yang berubah. detik berikutnya apa yang gak gue inginkan terjadi, Auriga melangkah kan kakinya ke tempat gue berada.

"Hai,La...senang bertemu Lo lagi."

Suaranya, yang gue hafal di luar kepala.

Dan senyum nya yang dulu selalu gue tunggu, Akhirnya terbit di bibir Auriga.

Bagaimana ini,

Dengan jarak yang terpaut beberapa langkah membuat bibir gue mendadak bisu.

Segala sumpah serapah yang dulu ingin gue Utarakan mendadak hilang bak di telan bumi.

Ichika menyenggol lengan gue untuk beberapa saat dan gue sadar.

"Long time no see Ri, kemana aja?"

Bodoh banget, kenapa pertanyaan seperti itu terucap di bibir gue.

"Gak kemana-mana, sebaliknya Lo kemana aja? Kabar Lo baik kan?"

Salah Auri, harusnya Lo jawab dulu pertanyaan gue. Bukan malah nanya balik apa yang sebenarnya udah Lo tau. Kabar gue gak pernah baik-baik aja, Puncak nya saat Lo memutuskan pergi.

Ichika memberi tanda bahwa dia harus buru-buru pergi dari hadapan gue dan Auriga. Dua orang yang sepertinya harus membahas sesuatu yang sempat di mulai.

"La, ada waktu sebentar gak? kayaknya kita harus bicara!" Auriga bertanya sambil terus menatap gue. "15 menit ya Ri, gue ada meeting sama pak Bara"

"Ok"

tanpa sadar gue menekan ujung telunjuk dengan ibu jari untuk menghilangkan rasa gugup yang luar biasa ini.

Auriga mengajak gue kembali ke dalam cafe, dengan santai nya dia memesan bubble tea kesukaan nya dan susu pisang kesukaan gue yang memang tersedia di menu cafe ini.

Terakhir yang gue ingat adalah saat pertama kali gue dan Auriga datang ke cafe ini dengan pesanan yang sama seperti saat ini. Rasanya seperti Dejavu pada saat beberapa tahun silam. Seketika itu susu pisang bukan lagi menjadi minuman favorit gue karna memory yang terkandung di dalam nya.

Ada apa ini, kenapa dia balik lagi kesini.

"Ini buat Lo, dan ini buat gue." Auriga menyodorkan segelas susu pisang di hadapan gue.

"Makasih..."

Lalu hening dalam beberapa detik. Sebelum dia mengambil alih percakapan, gue lihat Auriga menarik nafas berat.

"Gue tau ini sangat keterlaluan dan terlambat tapi, Maaf."

"Maaf"

"Maaf"

Gue gak budeg dan gue juga gak salah denger, Auriga minta maaf, dan di ulang beberapa kali.

Momentum yang langka, dan terjadi pada beberapa laki-laki yang menganggap maaf adalah segalanya. Dan ini terjadi pada Auriga.

Ternyata kepekaan Auriga hanya 20% dari 100%. Kenapa baru sekarang dia datang meminta maaf, tahun-tahun sebelumnya lo kemana Auri. Aah mungkin gue aja yang terlalu mendramatisir perasaan ini,  Sedangkan Lo tidak.

"Maaf untuk apa Ri? Emang Lo ada salah ya sama gue?"

Otak gue berjalan Lambat sekali.

"Maaf untuk gak tau perasaan Lo yang sebenarnya"

Udah cukup Ri, gue gak mau denger pengakuan Lo yang tau perasaan gue. Perasaan gue sekarang gak penting lagi kerena ada Cakrawala di hidup gue. Cowok itu yang bantu gue bangkit. Cowok itu juga yang bisa mengubah perasaan gue menjadi lebih baik , sekarang gue hanya berharap Cakrawala tidak pergi setelah gue cerita bahwa Lo kembali Ri.

"Udah basi Ri, udah kan? Gue mau balik ke kantor"  gue alih kan mata agar tidak kembali terpaku pada tatapan Auriga yang memelas.

Bahkan susu rasa pisang tidak menarik lagi untuk gue cicipi.

"Biar gue yang anter la" Auriga

"Gak perlu Ri, Lo gak lupa kalo kantor gue di depan cafe ini." Gue pergi tanpa pamit.

Langkah berikutnya gue hanya berharap Auri menghentikan kepergian gue. Ayo panggil gue Ri, cepetan panggil gue untuk balik ke posisi semula. Tapi sampai gue keluar dari pintu masuk tidak ada suara Auriga yang menahan gue untuk pergi. Sama seperti hari itu persis gimana Auri meninggalkan gue yang hanya bisa mematung.

Berantakan sekali, bagaimana cara menata hati yang kembali berantakan ini.

Cakrawala gue harus apa,

Rumit, semuanya memang tidak mudah Cak dan gue gak sanggup.

Foto polaroid dan kembalinya Auriga benar-benar bikin pikiran gue kacau balau.

Dan saat ini Gue hanya butuh Cakrawala.

Ini bukan hanya tentang waktu, tapi tentang bagaimana gue bisa ikhlas menerima kembali hati yang berantakan. Ooh tidak, mungkin hancur lebur.

Elegi CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang