3

8 2 2
                                    

Alula Patricia.

Sederhananya gue hanya ingin mempunyai tempat pulang, bukan hanya sekedar tempat mengistirahat kan diri setelah seharian berkutat dengan isi dunia. Tetapi, pulang dalam artian berbeda. Tempat pulang untuk berkeluh kesah dan tempat bersandar yang tenang.

Di diri Cakra gue menemukan rumah, gue menemukan tempat yang selama ini gue cari. Cakra masih jadi tokoh utama di buku gue semenjak 5 tahun lalu. Diselasar kampus FT gue menemukan dia sebagai orang yang suka marah-marah, Cakra di kenal sebagai komdis yang galak. Tapi gue sama sekali gak takut dengan omelan dia pada saat gue lupa dengan perlengkapan ospek gue. Dan sekarang bagai dejavu, gue melihat raut yang sama ketika Cakra menoleh dari tempatnya berdiri, berjalan ke arah gue dan menggapai tangan gue untuk dia bawa pergi. Entah kemana tujuan dia membawa gue, yang jelas gue di tuntun ke tempat yang sepi.

"Lo yakin gak papa La?" pertanyaan retoris yang selalu gue denger.

"Lo ngomong apaan sih Cak," aneh "gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba lo nanya keadaan gue." gue masih mencoba baik-baik aja.

"jangan boong La, Lo paling gak bisa ngumpetin itu dari gue." jeda sebentar, setelahnya gue menghela nafas pasrah.

"gue pengen pulang aja Cak!"

Maybi hati manusia dilatih untuk menjadi kuat, sekuat-kuat nya manusia pasti ada titik dimana dia merasa paling hancur. Sekarang gue merasa gak kuat untuk sekedar menopang tubuh gue sendiri

Gue kangen sama Ayah.

Cakrawala membawa tubuh gue ke pelukan nya. Hanya ini obat penenang gue saat gue bener-bener rindu pada sosok ayah. Bukan berarti gue menganggap Cakra sebagai ayah tapi, di diri Cakra gue menemukan ketenangan seperti saat ayah mendekap tubuh gue.

"it's okay kita pulang sekarang!" Cakra membawa gue kembali mendekati ballroom acara. Dia segera pamit pada semua keluarga termasuk tante Ratna. Tapi ketika gue hendak salaman untuk pamit pada tante Mala dan kedua mempelai, Cakra mengehentikan gue dengan mengeratkan pegangan pada pergelangan tangan gue. Kepalanya menggeleng sambil memamerkan senyum tipisnya.

"kalo gak sanggup mending kita langsung jalan aja, mereka pasti ngerti ko."

Gak enak sebenernya, kita datang ke acara ini secara baik-baik. Gue gak mau di cap sebagai tamu yang numpang makan doang di acara resepsi orang. Tapi gue bisa apa kalo tiba-tiba Cakra menggenggam tangan gue dan buru-buru pergi di tengah-tengah acara.

Gue masih bungkam ketika Cakra mulai menjalankan ducati hitamnya melesat meninggalkan Hotel. Sepertinya Cakra emang gak mau dulu membahas kerisauan gue. Gue emang ngelamun tapi mata gue masih normal untuk sekedar melihat matanya yang menatap gue dari kaca spion.

"Alula mau gue kasih tau rahasia gak?" Suara Berat milik Cakrawala tiba-tiba saja menginterupsi gue. Laki-laki 30 tahun itu masih fokus antara kaca spion dan jalanan di depan nya.

"Pada dasarnya Luka itu unik La...dan kenapa luka itu unik, karena masing-masing orang mempunyai luka yang berbeda-beda." Dia masih menatap gue dari kaca spion "dan uniknya lagi gak setiap orang harus mengumbar luka itu La...ada sebagian orang yang memutuskan untuk menyembunyikan lukanya dan ada juga yang membagi lukanya dengan cara bercerita pada orang lain yang menurut dia nyaman untuk bercerita." Jelas Cakra panjang lebar. Gue termenung. Well, memang benar apa kata Cakra dan gue masuk kategori orang yang enggan untuk bercerita tentang luka gue sendiri. Ada jeda sebentar sebelum Cakra melanjutkan bahasanya. "And not bad, gak ada salahnya kalo Lo emang gak mau cerita La...tapi jangan Lo pendam lama-lama hati Lo juga butuh istirahat dari sekedar menampung luka."

Gak ada bahasan selajutnya setelah ducati hitam Cakra memasuki garasi rumahnya, gue langsung melesat pergi ke kamar yang gue tempati.

Didalam kamar gue merenung, memikirkan kalimat panjang Cakra tadi.

Elegi CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang