Lily melihat keluar jendela, pukul delapan pagi, waktunya sarapan, namun Lily tidak memikirkan itu, toh ia sudah terbiasa tidak sarapan bahkan di beri makan sekali dalam sehari dulu adalah hal yang amat di syukurinya.
Pintu ruangannya terbuka, menampilkan sosok tuan Baskara di sana "Lily? Lihat ayah bawa sarapan" ujarnya. Ia sudah menjelaskan semuanya ke Lily kemarin malam dan memang dasarnya Lily selalu mendengarkan dan menerima seburuk atau seindah apapun beritanya.
Lily balas tersenyum, ia senang bisa bertemu dengan ayahnya lagi setelah sekian tahun berpisah. Ia melihat ayahnya yang sedang bersiap duduk di dekatnya, mulai mengambil sendok.
"Ayah gaada pasien hari ini?" Tanya Lily, Tuan Baskara terkekeh singkat "di rumah sakit ini bukan cuma ayah dokternya, lagian ayah cuma khusus ngerawat kalian aja."
Lily mengangguk "ayah... Lily boleh nanya?" Suara Lily terdengar lembut, Tuan Baskara tersenyum mendengar itu, persis mendiang ibunya yaitu istrinya dulu. Ia mengambil sedikit nasi di namoan yang tersedia, lalu menyuapi Lily.
"Ada apa sayang?"
"Kenapa ayah ga jemput aku dari dulu kalo memang ayah sudah tau aku anak ayah?"
Tuan Baskara terdiam sejenak lalu menarik nafasnya. Mulai menjelaskan "ayah awalnya ga tau kalo kamu masih hidup. Tapi waktu ayah mau jemput kamu waktu itu, ayah lihat kamu bahagia sekali di sana, kamu lagi main sama Bintang dan itu buat ayah milih buat lindungin kamu dari jauh." Ia kembali menyuapi Lily, sembari mendengarkan Lily membuka mulutnya menyambut bubur nasi yang terasa hambar itu.
"Waktu itu ayah ada di rumah sakit, ayah yang bertanggung jawab karena sudah menabrak Raja yang akhirnya ayah ganti namanya menjadi Samudra Aster Zenith, agar ayah ga inget lagi tentang kematian ibu kamu, seiring berjalannya waktu Raja justru lebih nyaman dengan ayah meski caranya manggil ayah dengan Reivan berbeda, Raja memilih memanggil dengan sebutan Papa, katanya agar ia selalu ingat batasan karena dia bukan anak kandung Ayah"
"Tapi entah apa rencana takdir, kalian bertemu dan bahkan kamu jadi cinta pertamanya Samudra" Tuan Baskara menyeka ujung matanya, ada air yang hampir mengalir di sana "dia bukan anak yang pandai soal percintaan, semua emosinya dia tuangkan lewat lukisan tapi belakangan ini, canvasnya penuh dengan wajah kamu"
Tuan Baskara meraih tangan Lily "ayah sayang kamu dan Samudra sebagai anak ayah, dan ayah bahagia sekali pas tau kalian ternyata sudah bertemu satu sama lain"
Suapan terakhir masuk ke dalam mulut Lily, Tuan Baskara tersenyum "sekarang kamu istirahat, mungkin Samudra sebentar lagi bakalan ke sini setelah pulang sekolah" Tuan Baskara mengecup puncak kepala Lily lalu segera bergegas keluar.
Ruangannya kembali sunyi, Lily mengambil gelas minum yang ada di meja kecilnya. Namun belum selesai ia meminum air itu, pintunya kembali terbuka "ayah ngapa-eh?" Ucapan Lily terpotong saat melihat sosok di ambang pintu.
"Boleh aku masuk?"
Lily mengangguk antusias "iya boleh, sini duduk deket aku Bintang" ujar Lily, ia melihat Bintang yang kini hanya menggunakan tongkat sebagai penopang punggungnya.
"Gimana keadaan kamu?"
"Aku baik-baik aja, orang-orang aja yang berlebihan, mereka terlalu khawatir. Termasuk kamu" Bintang terkekeh mendengar itu "aku... Aku mau min-
"Minta maaf? Bintang, aku udah bilang. Gapapa, gaada orang yang jahat yang ada itu orang yang sesekali berbuat salah" Lily memotong cepat "kamu sahabat aku, aku ga mungkin marah sama kamu"
"Kamu tau alasan aku ngelakuin hal bodoh yang buat kamu hampir aja meninggal di siksa ibu aku?" Bintang menarik nafasnya "aku cemburu, aku ga suka liat kamu sama Samudra, aku selalu mikir aku yang ada di dekat kamu selama ini tapi malah orang baru yang datang ke kehidupan kamu yang justru menang, aku egois aku kekanak kanakan aku... Aku"
"Bintang... " Lily menepuk bahu Bintang, membuat lelaki itu menatapnya "sebelumnya maaf banget aku gatau soal perasaan kamu, aku dari dulu malas banget berurusan soal perasaan. Kamu sahabat aku, dan bakalan tetap jadi sahabat ku, soal Samudra aku gatau perasaan aku ke dia gimana"
"Kamu ga tau?" Bintang bertanya, Lily menggelengkan kepalanya "sekarang aku tanya, alasan kamu bertahan selama ini itu apa? Aku tau kamu sudah lama mau nyerah Lily, aku sering nemuin obat tidur di kamar kamu yang berserakan bahkan tali tambang, sesekali aku sering liat ada goresan di tangan kamu"
"Aku ga bertahan demi siapapun"
"Oh ya? Apa kamu rela Samudra hancur karena sosok warna di lukisannya hilang?" Tanya Bintang.
Lily menggeleng sebagai jawaban, sungguh dia tidak tau hal ini.
"Lily, itu yang namanya cinta dan yang Samudra lakuin ke kamu itu cara seniman jatuh cinta"
Helaan nafas keluar dari bibir Bintang "aku memang punya perasaan sama kamu, tapi... Sekarang aku bakalan anggap kamu sebagai adik sepupu sebagaimana mestinya"
Bintang melihat jam di pergelangan tangannya "ah... Ada beberapa tamu yang bakal datang ke panti, aku pergi dulu ya" namun niat Bintang terhenti saat ia mengingat sesuatu "oh iya, Lily"
Bintang merogoh sakunya, lalu menyodorkan sebuah kotak dengan pita merah muda di atasnya "selamat ulang tahun."
"Ulang tahun?" Lily berfikir sejenak "Ah iya! Ini hari ulang tahunku!" Lily tertawa ia segera menerima kado itu dari Bintang, tersenyum bahagia ke arah lelaki itu.
Bintang mengangguk "aku pergi ya, istirahat yang cukup" ujarnya.
Lily mengangguk, Bintang memutar kursi rodanya lalu segera menghilang dari balik pintu, menyisakan Lily yang masih diam di dalam sana. Menatap lurus tanpa ekspresi.
Dengan cepat Lily kembali pada kesibukannya, yaitu menulis. Ia menulis novelnya dengan fokus, bahkan setelah empat jam berlalu ia masih fokus dengan tulisannya.
Hingga datang Reivan dan Tuan Baskara dengan nafas yang tersengal-sengal, mereka menatap Lily dengan wajah panik.
"Lily! Gawat! Samudra di rumah ngamuk-ngamuk, katanya dia cuma mau ketemu kamu" Raivan mengangguk "aku gatau kenapa kak Samudra begitu, tapi please kak Lily, ikut kita pulang sekarang" tambah Reivan.
Lily tampak sangat bingung "kenapa aku?"
"karena kamu yang dia mau Lily, please sebelum dia rusakin properti rumah ayah" tambah Tuan Baskara yang di tanggapi anggukan oleh Lily segera, Reivan membantu Lily untuk turun dan menuntunnya untuk ke kursi rodanya, lalu mendorong Lily dengan tergesa-gesa.
Lily meremas jemarinya khawatir, astaga apa yang terjadi pada Samudra. Reivan membantu Lily untuk masuk ke dalam mobil, di temani Reivan yang juga terlihat panik setengah mati.
"Kenapa Samudra bisa begitu yah?"
"Sepulang sekolah dia langsung ngamuk kaya monyet kak, aku gatau bahkan itu kakaku atau monyet" jelas Reivan antusias.
"Reivan..." Tuan Baskara menatap Reivan tajam dari spion membuat Reivan hanya membisu di tempat setelahnya "maaf ayah...."
"Semoga Samudra gapapa"
KAMU SEDANG MEMBACA
Canvas Tanpa Warna
أدب المراهقينSederhana, dia kehilangan warnanya dan aku kehilangan kisahku. (piinterest cover by: _blue_)