Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hai, pembacaku.
Ini aku, Lily.
Gadis yang mungkin kalian pandang lemah sepanjang novel ini, tak apa, orang-orang bebas berspekulasi semaunya.
Aku menuliskan kisah ini, saat aku masih di rumah sakit, menahan sakit di kepala dan punggungku. Bahkan tanganku masih terjerat infus yang sangat menyakitkanku.
Jadi maaf saja jika nanti ada beberapa tulisan yang tidak bisa di baca, hahah.
Jujur saja, aku ingin bermain hujan, menikmati sunset, membaca buku di perpustakaan, bersama Samudra, iya tokoh ceritaku, tapi kisahku sudah tuntas.
Aku senang, kalian bertahan hingga bagian epilog ini, membaca ceritaku yang sebagian besar berisi keluh kesahku.
Aku tidak pandai menyusun kata-kata, sungguh. Itu sebabnya samudra lebih banyak bicara dari aku.
Pasti indah rasanya, jika aku datang berjumpa dengan kalian, aku harapkan itu. Aku bukan tokoh lelaki fiksi yang di dambakan banyak anak penyuka novel, bukan.
Samudra juga katanya tidak ingin menjadi dambaan siapapun, itu yang ia katakan padaku.
Aku hanya ingin bilang, meski novel ini berisikan tentang saling mengabadikan dalam karya, kusarankan, jangan mengabadikan atau menyimpan seseorang dalam sebuah lagu atau suasana.
Karena lukanya akan abadi, dan kalian tidak akan sembuh.
Jika dia pergi, lepaskan saja. Jangan terlalu berlarut, dia tidak pergi. Masanya saja sudah habis, dan kalian yang masih terjebak di masa itu.
Salam manis, Lily Hyacinth Valleysia.
Samudra menutup buku itu, ia menyeka air matanya. Buku dengan sampul biru itu ia taruh di atas kuburan dengan bunga mawar di atasnya.
Itu adalah halaman terakhir di novel yang di tulis langsung oleh Lily di detik-detik terakhir nya, kisah cinta mereka tidak seperti kisah cinta kebanyakan.
Samudra bukan lelaki dingin yang jatuh cinta kepada gadis lugu, kisah mereka tidak sekeren itu. Tapi setidaknya kisah merek akan di kenang semua pembaca, meski hanya beberapa lembar.
Sudah tiga bulan semenjak kepergian Lily, dan buku nya sudah berhasil terbit sesuai dengan keinginannya. Banyak yang antusias membaca buku itu dengan harapan mendapat sosok seperti Samudra, tapi... Sanggupkah kalian menjadi Lily terlebih dulu?
Samudra berjongkok, menatap batu nisan itu, air matanya tak bisa ia bendung. Luka itu masih membekas, tidak sembuh. Persetan dengan ungkapan lelaki tidak boleh menangis, ini sakit. Di tinggalkan oleh dua sosok perempuan yang ia cintai.