Di Setiap Masa, selalu Ada Kita

86 7 0
                                    

"Aku tenggelam dalam lautan, ragaku kembali namun jiwaku tertinggal di dalamnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku tenggelam dalam lautan, ragaku kembali namun jiwaku tertinggal di dalamnya. Mereka bilang, sedalam apa aku jatuh sampai-sampai masih tidak bisa bernafas walau sudah berhasil bertahan?" _Inaya Zafrahna_
---

(Bab 7. Di Setiap Masa, selalu Ada Kita)

....

Kota Jember,
24 Desember 2024.
Hari ulang tahun Adhil Prataya A.R

Ada yang mengatakan, semua akan berubah, bahkan manusia sekalipun. Namun, tiap kali dirinya kembali ke kota ini semua masih terasa sama, yang berubah hanya bangunannya sementara kenangan di setiap sudutnya kian melekat dan terikat bersama masa lalu.

"Mau pesan apa, neng?" Inaya tersenyum tipis, mengambil kursi kayu dan duduk.

"Udah punya warung sendiri, bang?" Pertanyaan Inaya membuat seorang pria kurus dengan topi gunung yang khas menoleh dengan terkejut.

"Mbak Inaya?" Sapanya antusias dengan senyum lebar, mata pria setengah baya itu mulai berkaca-kaca, dengan cepat piring dan centong di tangannya ia taruh dan berjalan ke arah Inaya.

Mereka bersalam dengan erat, tidak ada kata-kata, namun tatapan mata keduanya seakan-akan membuka pintu kenangan di masa lalu.

Sementara, pelanggan lain melihat keduanya dengan aneh, sampai seorang wanita keluar dari arah dapur dan menghambur kedalam pelukan Inaya, memeluknya dengan erat.

"Alhamdulillah, mbak Inaya wes balik, pripun kabar e?"

"Alhamdulillah sehat, jhenengan pripun kabar e, Bu?" Tanya Inaya balik dengan tersenyum hangat.

Mereka berdua adalah penjual nasi goreng langganan yang dulu masih berjualan menggunakan gerobak di salah satu gang di jln. Mastrip.

"Pak Pur, udah gak jualan nasi goreng? Udah ganti jadi lauk prasmanan gini?" Tanya Inaya yang tidak ingin membuat suasana semakin sendu, ia berjalan ke meja besar dengan berbagai jenis lauk lengkap dan baskom besar berisi nasi.

"Iya Mbak, kalau nasi goreng saya cuma bisa jualan malem-malem, sementara seperti ini sudah bisa buka dari pagi, penghasilannya juga lebih nambah, benar kata Mas Adhil dulu" ucapnya terlalu bersemangat sampai menyadari bahwa kalimat terakhirnya membuat senyum di wajah Inaya perlahan luntur.

"Mbak Inaya, mau nasi goreng? Biar di buatkan, ya?" Tanya istri pak Pur dengan cepat, mengalihkan pembicaraan dan mendorong suaminya ke dalam dapur.

"Gak usah, saya makan yang ada aja, pelanggan yang lain sedang antri" jawab Inaya dengan cepat mencoba memulihkan suasana hatinya, sambil melihat sekeliling rumah makan yang begitu ramai.

"Tenang mbak, pekerja kita sudah ada 5 orang yang melayani" ucap pak Pur.

Inaya akhirnya mengangguk pelan sambil tersenyum mengucapkan terimakasih, ia berjalan ke lantai atas untuk menunggu pesanannya, kata pak Pur di lantai atas lebih sepi karena mahasiswa yang datang lebih suka makan di lantai bawah. Dan benar saja, hanya ada 2 meja yang terisi dari 8 meja yang ada, Inaya berjalan ke ujung ruangan, duduk dengan melihat pemandangan dari atas.

Payung Teduh Yang Sendu || On going Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang