💃🏻PN : Page six💃🏻

5 3 0
                                    

Sudah beberapa toko maupun rumah makan Nadine singgahi, tapi belum ada satupun yang dapat menampung si gadis ini untuk menjadi pegawainya. Lagi-lagi gadis itu mengudarakan helaan nafas. Ternyata mencari kerja tidak semudah yang ia bayangkan. Nadine jadi kepikiran Mama dan Papanya yang saban hari kerja, pasti mereka lelah.

Nadine mengusap peluh keringat yang terus menerus mengaliri dahinya. Kakinya ia bawa untuk duduk di depan rumah makan yang pembelinya hanya dua orang. Ia sudah memohon kepada pemilik warung agar ia bekerja di sini, apapun itu, asal Nadine di beri upah maupun seberapa. Tapi kata pemilik warung, warungnya lagi sepi, dan kemungkinan ia akan pensiun jadi penjual.

Nadine beranjak dari duduknya, tungkainya melangkah meninggalkan warung. Tersisa satu tujuan bangunan yang akan Nadine singgahi. Kenapa begitu? Karena toko itu toko terakhir yang dekat dengan sekolah KARTALINGGA.

Maniknya bergulir mengamati pembeli yang sedang bersedak-sedakkan mengantri antrian. Tokonya terlihat sangat rame, semoga saja Nadine di terima jadi pegawai disini.

Karna toko ini sedang di padati oleh pembeli, maka gadis ini menunggu terlebih dahulu pembelinya pulang sebelum Nadine berbicara kepada sang pemilik toko.

Ia duduk di kursi yang kosong.

Hampir setengah jamnya Nadine duduk, ternyata pembelinya masih saja rame. Nadine itu orangnya ngga sabaran banget, jadi maklumin saja.

"Nadine?" Seseorang dari belakang menepuk pundak si gadis.

Nadine membalikkan badannya, selepas itu ia mengadahkan wajahnya. Terlihat seorang pemuda memakai celemek di badannya. Kendati demikian, si pemuda itu masih terlihat tampan.

Seketika Nadine membuka mulutnya. "Jay?"

Jay duduk di kursi depan Nadine. "Lagi apa? Lagi pesen makanan ya? Tapi kamu ngga ada pesen makanan sama aku."

Nadine tidak menjawab suara yang mengudara milik cowok jangkung yang ada di depannya, justru gadis ini malah menatap lamat-lamat Jay. Dan tangan kanannya menutupi mulutnya yang sedang terbuka.

Jay menjentikkan jarinya di muka Nadine. "Hey? Aku nanya. Aku tau aku ganteng, tapi kamu jangan liatin aku gitu dong, kaya ngga pernah nengok orang ganteng saja." Ucap Jay seraya terkekeh.

Nadine mengubah ekspresinya. Tangannya ia turunkan dan mendarat sempurna di meja. "Apa sih, pede banget jadi cowok," ucap Nadine sedikit ketus.

"Karna aku ngga mau liat mukamu yang sok ganteng dan dingin itu sebaiknya kamu pergi aja dari hadapanku, sebelum aku ngamuk dan ngecakar wajahmu yang kaya hewan-hewan yang ada di kebun binatang."

Jay mendorong kursi yang sedang ia duduki kebelakang hingga terdengar suara decitan lantai akibat Jay mendorong kursi itu, ia beranjak dari duduknya. "Ya sudah," ucapnya sebelum berlalu dari hadapan Nadine.

"Eh Jay Jay, aku bercanda aelah, kaya Lia aja gampang ngambekan," 

Jay mengangkat alisnya.

"Sini dulu bentar, aku mau ngomong," ucap Nadine seraya ia lambaikan tangannya ke arah si pemuda.

Jay kembali bawa kakinya ke meja yang sedang di duduki Nadine. "Apa coba?"

"Dih, cowo-cowo ngambekan," gumam Nadine.

"Aku denger," ucap si pemuda seraya tangannya ia sedakapkan dada. Pendengeran Jay itu sangat tajam sekali, ibu-ibu yang selalu ia lewati di perumahannya saja sedang berbisik-bisik membicarakannya, selalu Jay dengar meski berbisik-bisik. Kata si ibu-ibu itu katanya Jay itu ganteng. Dan Jay menjawabnya kira-kira seperti ini. "Ya, gimana Bu, saya juga maunya seperti orang biasa pada umumnya. Cape juga jadi orang ganteng di omongin wae."

Perjalanan NadineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang