Bab 1. Pernikahan

16 2 8
                                    

Jangan lupa berikan like dan komennya yah, kalau berkenan boleh difollow juga 

Pria tampan bernama Dimas Angkasa Wijaya berdiri menghadap cermin. Dilihatnya penampilannya saat ini, rambut yang ditata rapi kearah samping dan kemeja putih yang dibalut tuxedo hitam moderen membuat penampilannya terlihat semakin menawan.

Tiba-tiba saja dia mengingat Gardenia yang minggu lalu datang ke apartemennya. Masih sangat jelas dalam ingatannya, tatapan kecewa yang begitu besar kepadanya. Hatinya sakit melihat kesedihan dan kekecewaan dari wanita yang disayanginya itu.

"Maafkan aku, Denia. Tapi aku mencintai Elena dan terlalu takut untuk kehilangannya," ucapnya lirih dan kembali diam menundukkan kepalanya.

Dimas tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Denia selanjutnya. Denia pasti akan sangat menderita setelah Dimas melepaskan tanggung jawabnya.

"Sayang..." Sebuah suara yang memanggilnya juga tepukan pelan dibahunya menyadarkan pria tampan itu dari keterdiamannya.

Dilihatnya melalui pantulan cermin, sosok wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu kandungnya. "Anak mamah ganteng banget yah, pantes Elena mau menikah sama kamu." 

"Mamah ngaggetin Dimas aja deh," gerutunya namun tangannya justru mengelus punggung tangan ibunya yang masih memegang bahunya.

Sarah terkekeh pelan, ia ikut menatap cermin yang memantulkan bayangannya juga putra semata wayangnya. Diusapnya lembut bahu putranya dan tersenyum kepadanya,

"Sebentar lagi kamu akan jadi suami Elena, kamu pasti akan lebih memerhatikan Dia daripada Mama. Akh... Mama cemburu, sayang..." Dimas tersenyum geli melihat tingkah ibunya.

Sarah memang suka sekali bersikap manja pada Dimas, dan Dimaspun tidak pernah keberatan dengan sikap sang ibu.

Dimas membalikan tubuhnya menghadap sarah, memeluk tubuh wanita terkasihnya itu dengan erat. Dimas tahu Ibunya sangat menyayanginya lebih dari apapun, terlebih dia terlahir sebagai putra tunggal.

"Mah, meskipun Dimas sudah menikah, Dimas akan tetap memerhatikan Mama, kok. Dimas kan anak Mama, jadi mana mungkin Dimas tidak memerhatikan Mama," ucapnya lembut membuat mata Sarah berkaca-kaca.

"Udah yah, Mama jangan sedih, atau ... nanti Dimas coba ngomong sama Elena deh biar nanti setelah kita menikah tinggalnya di sini aja, biar bisa nemenin Mama terus," lanjutnya membuat Sarah terkekeh.

Sarah meneteskan air matanya mendengar ucapan tulus dari anaknya. Dia memang menginginkan Dimas tetap tinggal bersamanya, namun dia juga tidak ingin egois— Dimas berhak membangun keluarga kecilnya sendiri.

Dielusnya rambut Dimas dengan penuh kasih sayang dan ditatapnya lekat wajah tampan putra semata wayangnya itu,

"Tidak, Nak. Kamu harus belajar hidup mandiri bersama istrimu. Memulai kehidupan keluarga kecil kalian. Mama cuma minta kamu sering-sering kesini buat tengokin Mama, yah," ucap Sarah disertai seulas senyum menenangkan.

"Hanya saja, seandainya Denia masih di sini, pasti Mama tidak akan kesepian," lanjutnya lagi. Tatapan Sarah menerawang mengingat putri cantiknya yang bawel dan selalu bisa membuat suasana rumah menjadi lebih hidup.

Deg

Dimas terdiam mendengar ucapan terakhir sang ibu. Ibunya benar, seandainya saja Denia masih di sini pasti ibunya tidak akan kesepian, namun justru kebodohannyalah yang membuat gadis itu pergi. 

"Oh, Denia ... baru kemarin kamu pergi, tapi aku sudah sangat merindukan mu," lirih dimas dalam hati.

Dimas memaksakan senyumannya dan menatap Sarah lembut. Dipeluknya erat tubuh yang semakin menua itu dengan penuh sayang dan kehangatan.

GARDENIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang